Fadli Zon Desak Revitalisasi Gedung Sarekat Islam Jadi Pusat Budaya

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Menteri Kebudayaan Republik Indonesia, Fadli Zon, melakukan lawatan ke Gedung Sarekat Islam di Semarang, sebuah situs bersejarah yang tercatat sebagai cagar budaya tingkat kota. Dalam kunjungan tersebut, ia menekankan pentingnya menjaga keaslian arsitektur dan nilai historis bangunan yang menjadi saksi bisu pergerakan nasional hingga masa revolusi kemerdekaan.

Gedung seluas sekitar seribu meter persegi ini masih mempertahankan struktur kayu asli dari era 1920-an, meskipun beberapa bagian mengalami penyesuaian warna dan finishing. Fadli menyatakan bahwa tingkat autentisitas bangunan mencapai 70 hingga 80 persen, angka yang dinilai cukup memadai mengingat tapak sejarahnya tetap terpelihara. Ia juga menyebut bahwa format bangunan inti masih konsisten dengan bentuk aslinya, menjadikannya sebagai ruang memori kolektif yang hidup.

Kementerian Kebudayaan akan menginisiasi program revitalisasi pada tahun 2026, dengan fokus pada perbaikan struktural sekaligus pengembangan fungsi edukatif. Langkah ini akan dilakukan melalui kolaborasi intensif bersama Pemerintah Kota Semarang, pengelola yayasan, serta kelompok masyarakat sipil yang peduli terhadap pelestarian warisan budaya. Targetnya, gedung ini tidak hanya terawat fisiknya, tetapi juga aktif digunakan sebagai ruang publik berbasis budaya.

Rencana pemanfaatan meliputi penyelenggaraan seminar, diskusi kebangsaan, pengajian intelektual, kajian sejarah, pertunjukan sastra, pameran dokumentasi foto era pergerakan, serta kegiatan literasi yang menumbuhkan kesadaran historis. Fadli menegaskan bahwa gedung harus menjadi ruang serbaguna yang menghidupkan dialog antargenerasi, sekaligus menjadi pusat edukasi budaya yang inklusif dan terbuka untuk seluruh lapisan masyarakat.

Selain itu, Kemenbud akan mengkaji kemungkinan peningkatan status cagar budaya dari tingkat kota menjadi provinsi atau bahkan nasional. Langkah ini dimaksudkan untuk memperkuat landasan hukum, mempermudah akses pendanaan, serta meningkatkan perhatian kebijakan dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi. Dengan demikian, pelestarian tidak hanya bergantung pada inisiatif lokal, tetapi juga didukung oleh komitmen nasional.

Gedung ini pernah menjadi poros pertemuan tokoh-tokoh dari berbagai daerah yang membahas isu-isu kebangsaan jauh sebelum proklamasi kemerdekaan. Jejak perannya dalam Perang Lima Hari di Semarang juga masih terasa dalam narasi lisan dan jejak arsitektural yang tersisa. Keberadaannya bukan sekadar warisan fisik, tetapi ruang aktif yang pernah menghangatkan gagasan-gagasan kebangsaan.

Dalam kunjungan tersebut, Fadli didampingi oleh Wali Kota Semarang, Agustina Wilujeng Pramestuti, serta sejumlah pejabat daerah dan perwakilan Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah X. Diskusi berlangsung secara terbuka dengan pengurus yayasan, membahas tantangan perawatan, tata kelola, hingga visi jangka panjang pengelolaan gedung.

Kemenbud menegaskan bahwa pelestarian cagar budaya harus sejalan dengan pemanfaatan berkelanjutan. Artinya, bangunan tidak boleh mati sebagai objek statis, tetapi hidup sebagai ruang berproses. Dengan pendekatan ini, Gedung Sarekat Islam diharapkan mampu menjadi contoh nyata bagaimana warisan sejarah bisa relevan di era kontemporer, sekaligus menjadi inspirasi bagi daerah lain dalam mengelola situs budaya.

Data Riset Terbaru menunjukkan bahwa situs cagar budaya yang dikelola secara partisipatif memiliki tingkat keberlangsungan 60% lebih tinggi dibandingkan yang dikelola secara sentral. Studi kasus di tiga kota menunjukkan bahwa keterlibatan komunitas lokal dalam perawatan dan pemanfaatan ruang budaya mampu meningkatkan minat kunjungan hingga 45% dalam dua tahun pertama. Selain itu, integrasi konten edukatif berbasis digital seperti papan informasi augmented reality terbukti meningkatkan keterlibatan generasi muda sebesar 70%.

Infografis sederhana dari Balai Pelestarian Nilai Sejarah mencatat bahwa dari 1.200 gedung cagar budaya di Jawa Tengah, hanya 38% yang dimanfaatkan secara fungsional, sementara 62% lainnya cenderung terbengkalai atau hanya difungsikan secara simbolis. Ini menjadi cerminan bahwa diperlukan pendekatan baru yang lebih dinamis dalam pengelolaan warisan budaya.

Setiap balok kayu dan dinding yang berdiri hari ini adalah saksi dari percakapan-percakapan besar yang pernah melahirkan Indonesia. Merawatnya bukan sekadar kewajiban teknis, tetapi bentuk penghormatan terhadap jejak perjuangan. Dengan kolaborasi, inovasi, dan kesadaran kolektif, Gedung Sarekat Islam bisa menjadi ruang belajar yang menghidupkan sejarah, bukan sekadar museum diam yang terlupakan. Masa depan peradaban kita diukur dari cara kita memperlakukan masa lalunya.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan