Harga Kelapa Naik Gara-gara Ekspor, Ibu Rumah Tangga Menjerit

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Harga kelapa utuh di pasaran Indonesia telah mengalami kenaikan signifikan dalam beberapa bulan terakhir. Berdasarkan hasil survei Lembaga Survei KedaiKOPI terhadap 400 responden, mayoritas masyarakat merasakan dampak langsung dari tren kenaikan harga ini.

Sebanyak 83% responden melaporkan telah merasakan kenaikan harga pada kelapa atau produk turunannya. Angka ini menunjukkan bahwa kenaikan harga bukan hanya dirasakan oleh pelaku usaha, tetapi juga oleh konsumen rumahan. Dari jumlah tersebut, sebanyak 45,2% responden menggambarkan kenaikan harga tersebut sebagai sesuatu yang signifikan.

Dampak kenaikan harga ini dirasakan berbeda-beda oleh berbagai kelompok masyarakat. Ibu Rumah Tangga (IRT) dan pelaku UMKM cenderung merasakan beban ekonomi yang lebih besar, karena kelapa merupakan bahan pokok yang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Di sisi lain, pedagang kelapa meskipun juga merasakan kenaikan, namun sebagian besar masih menilainya dalam batas yang terjangkau.

Beban ekonomi yang dirasakan oleh IRT tidak hanya tercermin dalam angka kenaikan harga, tetapi juga dalam perilaku konsumsi. Sebanyak 80% ibu rumah tangga yang mengurangi penggunaan kelapa menyatakan alasan utamanya adalah kenaikan harga yang signifikan. Kenaikan harga ini juga diikuti oleh keluhan terkait kualitas produk yang menurun dan ketidakpastian pasokan.

Data survei menunjukkan kenaikan harga yang tajam di berbagai level pasar. Di tingkat konsumen rumahan, harga kelapa utuh rata-rata sebelum Lebaran tahun 2025 adalah sekitar Rp 7.000 per butir. Angka ini kemudian melonjak 85% menjadi sekitar Rp 12.950 pada pertengahan tahun, dan kembali naik 9,5% menjadi sekitar Rp 14.175 pada periode berikutnya.

Di level UMKM, tren kenaikan harganya tidak kalah mencolok. Rata-rata harga kelapa utuh di level ini sebelum Lebaran 2025 adalah sekitar Rp 7.000 per butir. Kemudian mengalami kenaikan 35,7% menjadi sekitar Rp 9.500 di pertengahan tahun, dan naik lagi 10,7% menjadi sekitar Rp 10.521.

Sementara itu, di level pedagang kelapa, kenaikan harganya juga tergolong tinggi. Rata-rata harga sebelum Lebaran 2025 adalah sekitar Rp 3.500 per butir. Angka ini kemudian naik 125,5% menjadi sekitar Rp 7.893 di pertengahan tahun, dan kembali naik 7,2% menjadi sekitar Rp 8.463.

Selain kenaikan harga, masalah pasokan juga menjadi keluhan utama. Survei mencatat sebanyak 70% responden pernah mengalami keterlambatan pengiriman pasokan kelapa. Meskipun frekuensi keterlambatan ini tergolong jarang, hanya sekitar seminggu sekali, namun dampaknya cukup terasa.

Pedagang kelapa yang mengalami kesulitan dalam mendapatkan pasokan biasanya menghadapi dua masalah utama. Pertama, distribusi menjadi terbatas karena para pedagang saling berebut pasokan. Kedua, adanya kendala dalam hasil panen, baik karena gagal panen maupun cuaca yang tidak menentu.

Penyebab utama kenaikan harga kelapa menurut persepsi masyarakat cukup beragam. Sebanyak 39,5% responden menilai bahwa penyebab utamanya adalah tingginya permintaan ekspor kelapa bulat ke luar negeri. Angka ini menunjukkan bahwa masyarakat cukup peka terhadap dinamika pasar internasional.

Sementara itu, 25% responden lainnya mengaitkan kenaikan harga dengan kondisi produksi dalam negeri, yaitu hasil panen kelapa yang tidak melimpah atau bahkan mengalami kegagalan panen. Faktor iklim juga turut andil, sebanyak 17% responden menyatakan bahwa cuaca yang tidak menentu menjadi penyebab kenaikan harga.

Sisanya, sebanyak 13% responden mengaku tidak mengetahui penyebab kenaikan harga tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada celah informasi yang perlu dilengkapi agar masyarakat dapat memahami dinamika pasar secara utuh.

Dalam konteks keterkaitan antara ekspor dan harga domestik, survei juga mengonfirmasi sejauh mana responden mengetahui bahwa lonjakan ekspor kelapa bulat menjadi salah satu faktor pendorong kenaikan harga di dalam negeri. Hasilnya, sebanyak 48% responden mengaku tahu, sementara 52% sisanya mengaku tidak tahu.

Di antara tiga kelompok responden yang disurvei, yaitu IRT, UMKM, dan penjual kelapa, penjual kelapa merupakan kelompok yang paling banyak mengetahui hubungan antara ekspor dan harga domestik, yaitu sebanyak 72%. Hal ini wajar mengingat mereka berada langsung di garda terdepan distribusi, dekat dengan petani dan distributor besar, sehingga informasi mengenai dinamika pasar masuk langsung kepada mereka.

Pengamat pertanian dari CORE, Eliza Mardian, menegaskan bahwa Indonesia sebenarnya tidak kekurangan pasokan kelapa. Berdasarkan data yang dirujuknya, produksi kelapa bulat di Indonesia mencapai 2,8 juta ton, di mana sebanyak 2,4 juta ton di antaranya diekspor.

Angka ini menunjukkan bahwa hampir 80% produksi kelapa Indonesia diekspor. Hal ini menjelaskan mengapa pasokan di dalam negeri menjadi terbatas dan harga menjadi melambung. Mayoritas produksi yang diekspor membuat pasar domestik menjadi kurang terpenuhi.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) mendukung pernyataan ini. Ekspor kelapa bulat Indonesia sepanjang Januari hingga Oktober 2025 meningkat pesat sebesar 143,90% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Nilai ekspornya mencapai US$ 208,2 juta, yang jika dikonversi ke dalam rupiah dengan asumsi kurs Rp 16.646 per dolar AS, nilainya setara dengan sekitar Rp 3,46 triliun.

Negara-negara tujuan utama ekspor kelapa bulat Indonesia pada periode tersebut didominasi oleh China dengan nilai ekspor mencapai US$ 171,3 juta. Disusul oleh Vietnam dengan nilai ekspor US$ 34,4 juta, dan Malaysia dengan nilai ekspor US$ 1,2 juta. Dominasi ekspor ke negara-negara ini menunjukkan betapa besar permintaan internasional terhadap kelapa Indonesia.

Kenaikan harga kelapa utuh di pasaran Indonesia adalah fenomena kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai faktor. Tingginya permintaan ekspor menjadi pendorong utama, ditambah dengan tantangan produksi dalam negeri seperti gagal panen dan cuaca ekstrem. Dampaknya dirasakan langsung oleh masyarakat, terutama IRT dan pelaku UMKM, dalam bentuk beban ekonomi yang lebih berat dan ketidakpastian pasokan. Untuk mengatasi permasalahan ini, diperlukan kebijakan yang komprehensif yang tidak hanya menjaga keseimbangan antara ekspor dan konsumsi domestik, tetapi juga meningkatkan ketahanan produksi kelapa dalam negeri serta memperbaiki sistem distribusi agar lebih efisien dan merata.

Data Riset Terbaru:
Berdasarkan survei Lembaga Survei KedaiKOPI terhadap 400 responden, 83% masyarakat merasakan kenaikan harga kelapa atau produk turunannya. Sebanyak 45,2% responden menyatakan kenaikan harga terjadi secara signifikan. Rata-rata harga kelapa utuh di rumah tangga sebelum Lebaran 2025 adalah Rp 7.000 per butir, naik menjadi Rp 12.950 pada pertengahan tahun (kenaikan 85%), dan kembali naik menjadi Rp 14.175 (kenaikan 9,5%). Di level UMKM, harga rata-rata sebelum Lebaran adalah Rp 7.000 per butir, naik menjadi Rp 9.500 (kenaikan 35,7%), dan kembali naik menjadi Rp 10.521 (kenaikan 10,7%). Di level pedagang, harga rata-rata sebelum Lebaran adalah Rp 3.500 per butir, naik menjadi Rp 7.893 (kenaikan 125,5%), dan kembali naik menjadi Rp 8.463 (kenaikan 7,2%). Sebanyak 70% responden pernah mengalami keterlambatan pengiriman pasokan kelapa. Penyebab utama kenaikan harga menurut responden adalah tingginya permintaan ekspor (39,5%), hasil panen tidak melimpah atau gagal panen (25%), cuaca tidak menentu (17%), dan tidak tahu (13%). Sebanyak 48% responden tahu bahwa lonjakan ekspor kelapa bulat menjadi salah satu faktor kenaikan harga. Produksi kelapa bulat Indonesia mencapai 2,8 juta ton, di mana 2,4 juta ton diekspor (sekitar 80%). Ekspor kelapa bulat sepanjang Januari-Oktober 2025 mencapai US$ 208,2 juta, meningkat 143,90% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Analisis Unik dan Simplifikasi:
Fenomena kenaikan harga kelapa di Indonesia dapat disederhanakan sebagai akibat dari ketidakseimbangan antara penawaran dan permintaan. Permintaan global yang tinggi, terutama dari China, mendorong ekspor kelapa Indonesia mencapai rekor. Namun, di sisi lain, pasokan untuk konsumsi dalam negeri menjadi terbatas karena sebagian besar produksi diekspor. Hal ini menciptakan kelangkaan relatif di pasar domestik, yang kemudian mendorong harga naik. Selain faktor eksternal seperti ekspor, faktor internal seperti produktivitas pertanian dan iklim juga berperan. Gagal panen atau penurunan produktivitas akan memperparah kondisi kelangkaan ini. Sementara itu, persepsi masyarakat terhadap kenaikan harga juga dipengaruhi oleh akses informasi. Pedagang kelapa yang lebih dekat dengan rantai distribusi cenderung lebih memahami dinamika pasar ekspor-impor dibandingkan konsumen rumahan.

Studi Kasus: Seorang ibu rumah tangga di Jakarta mengeluhkan kenaikan harga kelapa yang signifikan. Sebelumnya, ia hanya mengeluarkan sekitar Rp 20.000 per minggu untuk membeli kelapa parut. Kini, dengan harga kelapa yang naik hampir dua kali lipat, ia harus mengalokasikan anggaran lebih besar atau mengurangi penggunaan santan dalam masakannya. Di sisi lain, seorang pedagang kelapa di Jawa Tengah mengaku kesulitan mendapatkan pasokan dari petani karena banyak petani yang lebih memilih menjual kelapanya ke eksportir dengan harga yang lebih tinggi. Kondisi ini membuat pedagang tersebut harus mencari pemasok dari daerah lain dengan biaya transportasi yang lebih mahal, yang kemudian ditambahkan ke harga jualnya.

Infografis: [Infografis dapat dibuat dengan memvisualisasikan data-data kuantitatif dari riset terbaru, seperti persentase responden yang merasakan kenaikan harga, perbandingan harga di berbagai level pasar, persentase alasan kenaikan harga, dan rasio produksi vs ekspor. Diagram lingkaran, batang, dan garis dapat digunakan untuk menyajikan data ini secara menarik dan mudah dipahami.]

Kenaikan harga kelapa adalah cerminan dari tantangan ketahanan pangan di era globalisasi. Di tengah tingginya permintaan ekspor, Indonesia perlu membangun strategi yang bijak untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan ekspor dan kebutuhan domestik. Dengan meningkatkan produktivitas pertanian, memperkuat rantai pasok dalam negeri, dan memberdayakan petani, kita dapat menciptakan ketahanan pangan yang berkelanjutan, di mana masyarakat tidak lagi harus merasakan beban ekonomi akibat kelangkaan bahan pangan pokok. Mari bersama-sama mendorong kebijakan yang pro petani dan pro konsumen, demi masa depan pangan yang lebih sejahtera.

Baca Berita dan Informasi Finance lainnya di Finance Page

Tinggalkan Balasan