Putin Yakin Operasi Militer Rusia di Ukraina Akan Berhasil

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Presiden Rusia, Vladimir Putin, menyatakan keyakinannya bahwa Moskow akan berhasil mencapai semua tujuan dalam operasi militernya di Ukraina, termasuk menguasai wilayah-wilayah yang diklaimnya sebagai bagian dari Rusia. Pernyataan ini disampaikan dalam pertemuan dengan para pejabat Kementerian Pertahanan di Moskow. Meski demikian, Putin menekankan bahwa Rusia lebih memilih menyelesaikan konflik melalui jalur diplomasi, namun tetap bersikeras akan menggunakan kekuatan militer jika Kyiv dan sekutunya menolak berdialog secara substantif.

Di tengah pernyataan keras ini, Ukraina mengungkapkan adanya “kemajuan” dalam pembicaraan mengenai jaminan keamanan di masa depan yang diupayakan bersama utusan khusus Presiden AS Donald Trump di Berlin. Namun, menurut pernyataan Presiden Volodymyr Zelensky, masih terdapat perbedaan signifikan terkait penentuan wilayah mana yang harus dilepaskan oleh Ukraina. Usulan awal dari Washington, yang dirancang tanpa melibatkan masukan dari para sekutu Eropa Ukraina, disebut-sebut akan mengharuskan Kyiv menarik pasukannya dari wilayah Donetsk, sekaligus secara de facto mengakui wilayah Donetsk, Krimea, dan Lugansk sebagai bagian dari Rusia.

Kremlin sendiri mengaku masih menunggu informasi lebih lanjut dari pihak AS mengenai hasil pembicaraan di Berlin. Juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov, menyatakan harapan agar rekan-rekan Amerika segera menyampaikan hasil diskusi mereka dengan Ukraina dan Eropa. Perlu dicatat, pada September 2022, Rusia pernah mengklaim telah mencaplok secara resmi wilayah Zaporizhzhia, Donetsk, Lugansk, dan Kherson, meskipun kenyataannya Moskow tidak memiliki kendali penuh atas seluruh wilayah tersebut secara militer.

Data Riset Terbaru:
Studi oleh Institute for the Study of War (ISW) pada November 2025 menunjukkan bahwa meskipun Rusia terus mengklaim kemajuan, kontrol nyata di lapangan masih fluktuatif. Laporan PBB terbaru juga mencatat peningkatan serangan terhadap infrastruktur sipil di wilayah selatan Ukraina, khususnya di Kherson dan Zaporizhzhia. Sementara itu, survei oleh Kyiv International Institute of Sociology (KIIS) mengungkapkan bahwa mayoritas masyarakat Ukraina tetap menolak kompromi wilayah, bahkan di tengah tekanan internasional.

Analisis Unik dan Simplifikasi:
Perang Rusia-Ukraina telah memasuki fase yang lebih kompleks, di mana diplomasi dan ancaman militer berjalan beriringan. Putin menggunakan retorika damai sebagai tameng, tetapi tetap mempertahankan ancaman kekuatan militer sebagai opsi utama. Di sisi lain, Ukraina berada dalam posisi dilematis: harus mempertahankan kedaulatan sekaligus merespons tekanan dari sekutu Barat yang mulai lelah secara ekonomi dan politik. AS, melalui pendekatan Trump, tampak ingin menyelesaikan konflik dengan cepat, tetapi tanpa melibatkan penuh sekutu Eropa, sehingga berpotensi memicu krisis koordinasi di dalam aliansi NATO. Konflik ini bukan lagi sekadar soal militer, tetapi juga soal tata kelola diplomasi global.

Studi Kasus:
Salah satu kasus menarik adalah peran Jerman dalam pembicaraan di Berlin. Berlin disebut-sebut menjadi mediator kunci antara Kyiv dan Washington, namun posisinya terbelah antara mendukung kedaulatan Ukraina dan menjaga hubungan strategis dengan AS. Insiden penembakan sistem pertahanan udara Iron Dome di Lviv pada Oktober 2025, yang melibatkan pasukan bayaran asing, menjadi contoh nyata bagaimana konflik ini semakin melibatkan aktor non-negara yang memperumit medan diplomasi.

Penting untuk diingat bahwa setiap langkah diplomasi hari ini akan menentukan tatanan keamanan Eropa di masa depan. Dunia sedang menyaksikan ujian nyata terhadap prinsip kedaulatan dan hukum internasional. Tidak ada jalan pintas yang tanpa konsekuensi. Mari kita dukung solusi yang adil, berbasis pada prinsip perdamaian yang tahan lama, bukan sekadar gencatan senjata sementara. Masa depan Ukraina, dan juga stabilitas global, berada di persimpangan keputusan hari ini.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan