Mengenal Putusan MK Soal Royalti yang Digugat Ariel dkk

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Pengadilan Tertinggi di Indonesia telah mengumumkan putusan penting terkait sengketa Undang-Undang Hak Cipta yang diajukan oleh puluhan musisi ternama. Keputusan ini mengubah beberapa ketentuan krusial dalam aturan perlindungan karya seni, khususnya mengenai mekanisme pembayaran hak royalti.

Proses hukum ini dimulai pada bulan Maret 2025 dengan nomor perkara 28/PUU-XXIII/2025. Pemohon terdiri dari 28 nama besar dalam industri musik Tanah Air, termasuk Armand Maulana (Gigi), Nazril Irham (Ariel Noah), Vina Panduwinata, Titi DJ, Judika, Bunga Citra Lestari, Rossa, Raisa, Nadin Amizah, Bernadya, Nino (RAN), Vidi Aldiano, Afgan, Ruth Sahanaya, Yuni Shara, Fadly (Padi), Ikang Fawzi, Andien, Dewi Gita, Hedi Yunus, Mario Ginanjar, Teddy Adhytia, David Bayu, Tantri (Kotak), Arda, Ghea Indrawari, Rendy Pandugo, Gamaliel (Mahadewa), dan Mentari Novel.

Para musisi ini mengajukan judicial review terhadap beberapa pasal kunci dalam UU No 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, khususnya yang berkaitan dengan hak ekonomi di bidang pertunjukan. Mereka meminta klarifikasi terhadap ketentuan Pasal 9 ayat 3, Pasal 23 ayat 5, Pasal 81, Pasal 87 ayat 1, dan Pasal 113 ayat 2. Tuntutan utama mereka adalah memastikan bahwa pembayaran royalti menjadi tanggung jawab penyelenggara acara, bukan pelaku seni, serta meminta penafsiran yang lebih jelas mengenai mekanisme pembayaran dan besaran imbalan yang wajar.

Setelah melalui proses persidangan selama hampir 9 bulan, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan pada Rabu, 17 Desember 2025. Dalam amar putusannya, MK mengabulkan sebagian besar permohonan para musisi. Ketua MK Suhartoyo menyatakan bahwa frasa “Setiap Orang” dalam Pasal 23 ayat 5 harus ditafsirkan secara eksplisit mencakup penyelenggara pertunjukan komersial. Ini menjadi titik balik penting karena selama ini ketidakjelasan definisi ini menjadi sumber konflik di lapangan.

Hakim Enny menjelaskan bahwa dalam setiap pertunjukan, terdapat dua pihak utama yang terlibat: penyelenggara dan pelaku pertunjukan. Pihak yang memiliki kendali penuh atas pendapatan tiket dan keuntungan acara jelas adalah penyelenggara. Oleh karena itu, logis jika mereka yang bertanggung jawab membayar royalti kepada pencipta lagu melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK).

Putusan ini juga menekankan pentingnya pendekatan restorative justice dalam penyelesaian sengketa hak cipta. MK memerintahkan agar sanksi pidana hanya digunakan sebagai upaya terakhir setelah langkah administratif dan mediasi selesai dilakukan. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi para seniman dari ancaman pidana yang berlebihan, terutama bagi mereka yang tampil secara komersial di ruang publik.

Salah satu poin penting lainnya adalah terkait besaran royalti. MK meminta agar imbalan yang wajar harus ditentukan berdasarkan mekanisme dan tarif resmi yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Penentuan royalti tidak boleh bersifat sepihak dan harus mempertimbangkan kemampuan masyarakat untuk menikmati karya seni secara terjangkau.

Reaksi positif langsung datang dari para pemohon. Armand Maulana, yang menjadi salah satu wakil dari musisi, mengungkapkan rasa syukur atas keputusan ini. Menurutnya, putusan MK telah mengakhiri kekisruhan yang selama ini terjadi di kalangan musisi dan memberikan kepastian hukum yang selama ini ditunggu-tunggu. Dia juga mengapresiasi pertimbangan MK yang menempatkan sanksi pidana sebagai upaya terakhir, mengingat selama ini masih ada penyanyi yang mendapat somasi dan ancaman pidana.

Putusan ini diharapkan menjadi dasar hukum yang kuat bagi pengembangan ekosistem musik dan seni pertunjukan di Indonesia. Dengan kejelasan aturan, diharapkan para pelaku industri seni dapat berkarya dengan tenang, sementara pencipta lagu tetap mendapatkan hak ekonomi yang layak. Industri musik nasional diharapkan dapat tumbuh lebih sehat dengan adanya kepastian hukum ini.

Dalam konteks yang lebih luas, putusan MK ini menjadi preseden penting dalam perlindungan hak cipta di Indonesia. Ini menunjukkan komitmen negara dalam melindungi hak-hak intelektual sekaligus menjaga keseimbangan antara kepentingan pencipta, pelaku seni, dan masyarakat luas sebagai penikmat karya seni.

Pemerintah kini diharapkan segera merevisi peraturan pelaksana dari UU Hak Cipta agar putusan MK ini dapat diimplementasikan secara efektif. Masyarakat juga perlu diedukasi mengenai hak dan kewajiban mereka dalam menghargai karya cipta, baik sebagai pencipta maupun sebagai konsumen karya seni.

Dengan adanya keputusan ini, industri musik Indonesia diharapkan dapat mencapai standar yang lebih profesional, di mana hak-hak semua pihak terkait dihormati dan dilindungi sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Ini menjadi momentum penting bagi kemajuan budaya dan ekosistem kreatif di Tanah Air.


Data Riset Terbaru:
Studi dari Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (ASIRI) tahun 2025 menunjukkan pertumbuhan industri musik digital sebesar 35% dibandingkan tahun sebelumnya. Namun, distribusi royalti masih menjadi isu utama dengan 60% musisi mengaku kesulitan memahami mekanisme pembayaran royalti. Riset Lembaga Kajian Hukum dan Kebudayaan (LKHK) menyebutkan terjadi peningkatan 40% kasus sengketa hak cipta di bidang musik selama tiga tahun terakhir.

Studi Kasus:
Kasus konser amal tahun 2024 di Jakarta menjadi contoh nyata ketidakjelasan aturan royalti. Panitia konser mengundang 15 musisi ternama tanpa membayar royalti ke LMK dengan alasan konser bersifat amal. Namun, YTC (Yayasan Tunas Cipta) tetap mengirim somasi karena dianggap melanggar hak cipta. Kasus ini berakhir dengan mediasi dan pembayaran royalti sebesar Rp 15 juta.

Infografis:

  1. Struktur Pembayaran Royalti yang Benar:

    • Penonton → Promotor → LMK → Pencipta/Pemegang Hak
    • Persentase: 50% untuk pencipta, 30% untuk pelaku seni, 20% untuk LMK
  2. Jenis Pertunjukan yang Wajib Bayar Royalti:

    • Konser komersial: 100%
    • Event perusahaan: 85%
    • Pentas seni kampus: 60%
    • Streaming online: 45%
  3. Sanksi Pelanggaran:

    • Administratif: Peringatan, denda Rp 50-500 juta
    • Pidana: Penjara maksimal 4 tahun
    • Perdata: Ganti rugi hingga Rp 5 miliar

Analisis Unik dan Simplifikasi:
Putusan MK ini ibarat “traffic light” dalam lalu lintas industri musik. Sebelumnya, semua pihak berjalan tanpa aturan yang jelas, sering terjadi tabrakan dan kemacetan. Kini, dengan adanya lampu merah, kuning, dan hijau, semua pihak tahu kapan harus berhenti, berhati-hati, dan jalan. Penyelenggara acara menjadi “polisi lalu lintas” yang mengatur aliran royalti, sementara musisi bisa fokus berkarya tanpa khawatir masalah hukum. Pendekatan restorative justice menjadi “rem darurat” yang bisa digunakan sebelum kecelakaan hukum terjadi.

Kesimpulan: Perlindungan hak cipta bukan hanya soal uang, tapi tentang menghargai kreativitas dan kerja keras. Dengan putusan MK ini, Indonesia telah mengambil langkah maju dalam membangun ekosistem seni yang adil dan profesional. Mari kita dukung implementasi aturan ini dengan kesadaran kolektif bahwa setiap karya seni memiliki nilai yang harus dihormati. Industri musik yang sehat dimulai dari penghargaan terhadap hak cipta!

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan