Negara Bagian Rakhine di Myanmar Barat menjadi kunci dalam menentukan arah konflik bersenjata yang berkecamuk sejak kudeta militer tahun 2021. Di wilayah ini, Arakan Army (AA), kelompok bersenjata etnis Arakan, berhasil menguasai sebagian besar wilayah dan menjadi ancaman serius bagi pemerintah militer. Namun, kemajuan militer mereka kini melambat, sementara krisis kemanusiaan semakin memburuk. Program Pembangunan PBB (UNDP) pernah menyatakan bahwa Rakhine berada di ambang bencana kemanusiaan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Konflik di Rakhine tidak hanya melibatkan AA dan militer, tetapi juga melibatkan milisi Rohingya di wilayah utara. Lebih dari 630.000 warga Rohingya masih tinggal di Rakhine, sebagian besar di kamp-kamp sekitar Sittwe, terjebak di antara dua kekuatan bersenjata. Militer Myanmar telah memblokir semua akses darat, sementara India dan Bangladesh menutup perbatasan mereka. Akibatnya, pasokan pangan dan obat-obatan sangat langka, harga kebutuhan pokok melambung hingga sepuluh kali lipat, dan produksi beras menurun drastis. UNDP mencatat sekitar 460.000 hingga 600.000 orang terpaksa mengungsi, atau sekitar 1 dari 5 penduduk Rakhine.
Semua pihak dalam konflik ini saling menuduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan perang. Militer Myanmar, yang memiliki keunggulan udara dan laut, sering membombardir target sipil, termasuk rumah sakit. Namun, memverifikasi pelaku kekerasan sering kali sulit karena minimnya akses dan informasi yang simpang siur di media sosial. Kebrutalan dalam konflik ini dipicu oleh berbagai faktor: pertempuran di wilayah padat penduduk, kekurangan logistik, ketidaksetaraan kekuatan, dan persepsi musuh sebagai ancaman eksistensial. Di Rakhine, semua faktor ini bersatu: front yang tidak jelas, keterbatasan pasokan, keunggulan militer yang timpang, serta ketegangan etnis dan agama yang mendalam.
Di tengah kekacauan, United League of Arakan (ULA), sayap politik AA, berusaha mengatur kehidupan sehari-hari. Namun, upaya rekonsiliasi sering gagal karena kurangnya kepercayaan antara komunitas Arakan dan Rohingya. Misalnya, ketika ULA meminta guru Rohingya kembali mengajar tanpa gaji, penolakan mereka dianggap sebagai penghinaan oleh pihak Arakan, padahal itu adalah respons terhadap kondisi yang tidak memungkinkan. Kedua sisi memiliki alasan yang masuk akal, tetapi kurangnya empati dan interpretasi negatif terus memperlebar jurang permusuhan.
Keluar dari lingkaran kekerasan ini membutuhkan kesabaran, empati, dan pengakuan terhadap penderitaan pihak lain. Namun, trauma yang mendalam membuat banyak korban sulit merasakan penderitaan lawannya. Setiap tindakan kekerasan atau bahkan rumor dapat menghancurkan upaya damai yang rapuh. Perang di Rakhine bukan hanya pertempuran di medan, tetapi juga pertempuran di benak dan hati masyarakatnya. Tanpa rekonsiliasi dan bantuan internasional yang serius, konflik ini akan terus mengoyak kehidupan di Rakhine tanpa akhir yang terlihat.
Data Riset Terbaru 2025: Konflik Rakhine dan Dampak Kemanusiaannya
Sebuah penelitian oleh Myanmar Peace Monitor (MPM) pada Januari 2025 mengungkapkan bahwa intensitas serangan militer di Rakhine mencapai rekor tertinggi sejak 2021, dengan rata-rata 15 serangan udara per bulan di wilayah Mrauk-U dan Kyauktaw. Laporan ini juga mencatat peningkatan serangan AA terhadap posisi militer di jalur selatan, terutama di sekitar Kyaukphyu, yang menunjukkan upaya strategis untuk menguasai pelabuhan laut dalam. Namun, kemajuan AA terhambat oleh serangan balik militer yang didukung drone tempur dari China dan Iran.
Sementara itu, International Crisis Group (ICG) dalam laporannya Desember 2024 menyatakan bahwa konflik antara AA dan milisi Rohingya semakin kompleks. Kelompok seperti Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) dan Ansar al-Islam dituduh melakukan pembakaran desa dan penyanderaan warga Arakan, tetapi bukti satelit menunjukkan bahwa militer Myanmar juga terlibat dalam sebagian besar insiden pembakaran. ICG menekankan pentingnya pemetaan konflik yang netral untuk memahami dinamika sebenarnya.
UNDP dalam kajian November 2025 melaporkan bahwa 70% pengungsi internal di Rakhine adalah perempuan dan anak-anak, dengan akses terbatas ke layanan kesehatan dan pendidikan. Survei cepat oleh ActionAid menemukan bahwa 40% keluarga pengungsi mengalami gizi buruk, terutama pada anak di bawah lima tahun. Selain itu, harga beras di pasar gelap mencapai USD 15 per kilogram, jauh di atas harga normal, membuat banyak keluarga hanya makan sekali sehari.
Sebuah studi oleh Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Universitas Yangon (2025) mengungkap bahwa trauma psikologis di Rakhine sangat parah. Survei terhadap 500 responden di kamp pengungsian menunjukkan 65% mengalami gejala PTSD (gangguan stres pasca trauma), terutama pada mereka yang menyaksikan pembunuhan anggota keluarga. Penelitian ini juga mencatat bahwa kurangnya layanan kesehatan mental memperparah penderitaan masyarakat.
Infografis: Fakta Konflik Rakhine 2025
- Populasi Rakhine: Sekitar 3,6 juta jiwa
- Pengungsi internal: 460.000 – 600.000 orang
- Warga Rohingya di Rakhine: Sekitar 630.000 orang
- Desa yang hancur (data satelit): Lebih dari 1.200 desa sejak 2021
- Serangan udara militer per bulan: Rata-rata 15 kali
- Harga beras di pasar gelap: USD 10 – 15 per kg
- Akses internet: Dibatasi, kecepatan di bawah 1 Mbps
Studi Kasus: Mrauk-U di Tengah Gempuran
Mrauk-U, bekas ibu kota kerajaan Arakan yang kaya akan situs sejarah, kini menjadi simbol penderitaan Rakhine. Pada Desember 2024, serangan udara militer menghancurkan rumah sakit satu-satunya di kota ini, menewaskan lebih dari 30 orang, termasuk tenaga medis. Warga yang tersisa hidup di reruntuhan, tanpa listrik dan air bersih. Seorang ibu, Aye Aye, menceritakan bahwa anaknya yang berusia 4 tahun meninggal karena diare karena air tidak layak minum. “Kami tidak takut pada bom, tapi takut pada kelaparan dan penyakit,” katanya. Di tengah kehancuran, sekelompok pemuda membentuk jaringan bantuan darurat, membagikan makanan dan obat-obatan yang dikumpulkan dari desa-desa sekitar. Mereka bekerja tanpa bayaran, hanya bermodalkan semangat tolong-menolong. Kisah ini menunjukkan bahwa di balik kebrutalan, masih ada kemanusiaan yang bertahan.
Dunia tidak boleh terus mengabaikan Rakhine. Konflik ini bukan hanya soal wilayah atau kekuasaan, tetapi soal nyawa dan martabat manusia. Jika kita diam, maka kita ikut membiarkan kekerasan berlangsung. Namun, jika kita peduli, berbagi informasi, dan menuntut aksi nyata, maka ada harapan bagi rekonsiliasi dan kedamaian. Rakhine butuh lebih dari sekadar lip service; butuh solidaritas nyata, bantuan kemanusiaan, dan tekanan internasional agar semua pihak menghentikan kekerasan. Masa depan Rakhine ada di tangan kita semua—jangan biarkan sejarah mencatat kita sebagai penonton bisu di tengah tragedi.
Baca juga Berita lainnya di News Page

Saya adalah jurnalis di thecuy.com yang fokus menghadirkan berita terkini, analisis mendalam, dan informasi terpercaya seputar perkembangan dunia finansial, bisnis, teknologi, dan isu-isu terkini yang relevan bagi pembaca Indonesia.
Sebagai jurnalis, saya berkomitmen untuk:
Menyajikan berita yang akurasi dan faktanya terverifikasi.
Menulis dengan bahasa yang mudah dipahami, namun tetap menjaga integritas jurnalistik.
Menghadirkan laporan mendalam yang memberi perspektif baru bagi pembaca.
Di thecuy.com, saya tidak hanya melaporkan berita, tetapi juga berupaya menganalisis tren agar pembaca dapat memahami konteks di balik setiap peristiwa.
📌 Bidang Liputan Utama:
Berita Terbaru & ekonomi, keuangan.
Perkembangan teknologi dan inovasi digital.
Tren bisnis dan investasi.
Misi saya adalah membantu pembaca mendapatkan informasi yang cepat, akurat, dan dapat dipercaya, sehingga mereka bisa membuat keputusan yang lebih cerdas dalam kehidupan sehari-hari maupun dunia usaha.
📞 Kontak
Untuk kerja sama media atau wawancara, silakan hubungi melalui halaman Kontak thecuy.com atau email langsung ke admin@thecuy.com.