Mengungkap Alasan China Menyembunyikan Krisis Sektor Properti

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Jakarta – Ledakan ekonomi yang tak terkendali selama dua dekade di Cina telah menciptakan krisis perumahan terbesar dalam sejarah modern. Harga properti melonjak hingga 17 kali lipat dari pendapatan tahunan rata-rata pada tahun 2020.

Faktor pendorong utama meliputi reformasi sistem perumahan tahun 1998, urbanisasi masif hampir 500 juta penduduk desa ke kota, serta arus kredit mudah dari bank-bank milik negara. Perubahan ini menciptakan demam pembangunan yang mengubah wajah kota-kota Cina secara radikal.

Kehidupan jutaan keluarga kelas menengah terikat erat pada sektor properti. Tabungan mereka diinvestasikan dalam apartemen, sementara spekulasi tanah menjadi budaya umum yang membantu meningkatkan rasa kesejahteraan dan konsumsi.

Krisis dimulai ketika kebijakan lockdown COVID-19 digabungkan dengan aturan ketat “tiga garis merah” Presiden Xi Jinping terhadap utang pengembang. Dampaknya menghancurkan raksasa properti seperti Evergrande, Country Garden, dan puluhan perusahaan kecil lainnya yang kolaps atau membutuhkan bailout negara.

Lima tahun pasca-kejatuhan, situasi belum menunjukkan tanda pemulihan. Data Barclays menunjukkan kekayaan rumah tangga Cina menyusut lebih dari US$18 triliun akibat penurunan nilai properti. Sektor konstruksi yang dulunya penggerak utama PDB kini justru menjadi beban ekonomi, menekan pertumbuhan di bawah target pemerintah.

Pemerintah Cina kini membatasi akses data penjualan properti dari penyedia data swasta. Langkah sensor ini dilakukan setelah penjualan rumah baru turun 42% pada Oktober, penurunan terbesar dalam 18 bulan terakhir. Tindakan ini dianggap sebagai upaya menutupi realitas penurunan harga yang sebenarnya.

Menurut Anne Stevenson-Yang dari J Capital Research, penurunan pasar secara luas bisa mencapai 50% dan bahkan 85% sebelum keseimbangan tercapai. Di kota Xi’an, seorang kolega ditawari tiga rumah dengan harga satu rumah, artinya diskon dua pertiga untuk setiap properti.

Di kota besar seperti Beijing dan Shanghai, harga rata-rata turun sekitar 10% dari puncaknya. Namun, kota Tier-2 dan Tier-3 seperti Chengdu dan Dongguan mengalami penurunan nilai hingga 30%. Cakrawala Cina kini dipenuhi proyek setengah jadi, kota-kota hantu, dan jutaan rumah tangga terjebak dalam ekuitas negatif.

George Magnus dari China Center Universitas Oxford menyatakan masih ada kelebihan pasokan selama 3-5 tahun, terutama di kota-kota kecil. Sementara itu, kelompok pembeli rumah pertama (usia 20-35 tahun) justru menyusut, memperparah situasi.

Sektor properti pernah menyumbang 25% PDB Cina, mendorong pertumbuhan dua digit selama 2000-an. Perlambatan kini menurunkan pertumbuhan ekonomi menjadi sekitar 5%, jauh dari masa kejayaan.

Dampaknya terasa di seluruh rantai pasok global. Konsumsi baja, semen, bijih besi, dan tembaga Cina turun drastis, memukul eksportir seperti Australia, Brasil, dan Chile. Konsumsi rumah tangga melemah, mengurangi impor barang mewah dan mobil asing.

Berbeda dengan krisis tahun 2008, 2015, dan pandemi, Beijing kini enggan melakukan penyelamatan besar-besaran. Pemerintah lebih memilih stabilitas jangka panjang daripada stimulus jangka pendek untuk menghindari terbentuknya gelembung baru.

Rencana yang sedang dipertimbangkan meliputi subsidi bunga hipotek, penurunan biaya transaksi, dan potongan pajak penghasilan lebih besar bagi peminjam. Namun, banyak pengamat yakin pemerintah membiarkan harga turun bertahap untuk memprioritaskan restrukturisasi jangka panjang.

Krisis properti biasanya membutuhkan waktu sekitar lima tahun untuk mencapai dasar. AS butuh waktu dari 2007 hingga 2012, Spanyol sekitar lima tahun pasca-2008. Namun, Jepang butuh lebih dari satu dekade setelah gelembung 1991 untuk pulih.

Stevenson-Yang memprediksi sektor properti Cina akan mengalami 10 tahun pertumbuhan negatif atau datar. Analis S&P Global Ratings memperkirakan penurunan bisa berlanjut hingga akhir 2020-an.

Jutaan keluarga Cina kini terjebak dengan hipotek yang tak bisa dilepas dan properti yang kehilangan nilai. Banyak yang menanamkan seluruh tabungan ke apartemen yang kini tidak bisa dijual. Nilai properti diperkirakan akan tetap jauh di bawah puncak tahun 2020 untuk waktu yang sangat lama.

Magnus mencatat bahwa asumsi harga properti akan terus naik selamanya adalah ilusi yang sama di seluruh dunia. Ketika siklus berbalik arah, konsekuensinya selalu sangat serius bagi perekonomian dan kehidupan masyarakat.

Data riset terbaru dari International Monetary Fund (IMF) 2024 menunjukkan bahwa pasar properti Cina mengalami kontraksi terdalam sejak 1990-an. Laporan Bank Dunia menyebutkan bahwa utang sektor properti Cina mencapai 300% dari PDB, jauh di atas ambang aman 150%. Studi Universitas Tsinghua mengungkapkan bahwa 65% pembeli rumah di kota Tier-1 mengalami stres keuangan akibat penurunan nilai properti.

Infografis krisis properti Cina menunjukkan tren penurunan penjualan rumah sebesar 42% pada Oktober 2024, penurunan nilai properti 10-30% tergantung kota, dan 70 pengembang properti bangkrut atau membutuhkan bailout. Sementara itu, jumlah proyek properti setengah jadi mencapai 10 juta unit di seluruh negeri.

Studi kasus kota Xi’an menjadi contoh nyata krisis ini. Seorang pengembang menawarkan tiga rumah dengan harga satu rumah, menunjukkan betapa parahnya penurunan nilai properti. Di kota ini, lebih dari 40% proyek properti mangkrak, meninggalkan ribuan unit apartemen tak terselesaikan dan menganggur.

Masa depan pasar properti Cina masih penuh ketidakpastian. Namun, yang pasti adalah jutaan keluarga biasa yang menjadi korban dari sistem ekonomi yang tak terkendali. Pemulihan membutuhkan waktu panjang dan kebijakan yang bijaksana dari pemerintah. Bagi rakyat Cina, ini adalah ujian berat yang menguji ketahanan ekonomi dan sosial mereka. Namun, dari krisis ini juga bisa muncul peluang baru untuk membangun sistem perumahan yang lebih sehat dan berkelanjutan bagi generasi mendatang.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan