Langka, Pejabat di Kabupaten Tasikmalaya Mengaku Tidak Mampu!

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Jarang sekali seorang pejabat berani mengungkapkan kejujuran yang tegas seperti ini: “Saya tidak mampu melaksanakan tugas.” Pernyataan ini bukan berasal dari pengamat, LSM, atau komentar di media sosial, melainkan dari seorang pejabat eselon III di Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya, Deni Mulyadi, Kepala Bidang Jalan dan Jembatan. Ia mengajukan pengunduran diri bukan karena pensiun atau terlibat kasus, tetapi karena merasa tidak sanggup menjalankan amanah jabatannya.

Surat pengunduran diri tersebut telah diajukan secara tertulis sejak 10 Desember 2025 dan telah sampai ke meja Bupati Tasikmalaya. Deni sendiri mengakui hal ini saat dikonfirmasi melalui pesan WhatsApp. “Iya, saya sudah mengajukan. Karena ketidakmampuan melaksanakan tugas,” ujarnya singkat. Pernyataan ini terdengar sederhana, namun di dunia birokrasi, kejujuran seperti ini tergolong langka. Biasanya, pejabat lebih memilih bertahan hingga akhir, bahkan sambil mengeluh atau menyalahkan sistem. Namun, Deni memilih jalan yang berbeda: mundur.

Meskipun begitu, pengunduran diri ini masih bersifat usulan dan belum disetujui oleh atasan. Secara administratif, ia masih menjabat. “Kalau ditolak, ya tetap menjabat,” ujarnya datar. Tidak ada drama atau tekanan. Ia juga menegaskan bahwa tidak ada masalah pencairan anggaran, semua administrasi telah ditandatangani, dan program tetap berjalan. Seolah ingin menegaskan bahwa mundurnya bukan untuk menghindari pekerjaan yang macet.

Di internal dinas, pengajuan ini dibenarkan oleh Penata Laksana Jalan dan Jembatan Terampil, Wildan Nuruzzaman, yang memastikan surat pengunduran diri memang ada dan tinggal menunggu keputusan pimpinan daerah. Di BKPSDM, surat tersebut juga sudah diterima, bermaterai, dan diproses melalui sistem i-Mut BKN, tinggal menunggu pertek untuk mengetahui apakah diterima atau ditolak.

Pernyataan seorang pejabat yang mengaku tidak mampu ini membawa makna yang dalam. Apakah beban pekerjaan terlalu berat, sistem terlalu rumit, atau ekspektasi jabatan terlalu tinggi? Atau justru ini adalah bentuk kejujuran yang sudah lama hilang di dunia birokrasi?

Data Riset Terbaru:
Studi dari Institute for Economic and Social Research (LPEM FEB UI) tahun 2024 menunjukkan bahwa 68% pejabat di Indonesia merasa stres akibat beban kerja yang tidak seimbang dengan kapasitas SDM. Sementara itu, survei Transparency International 2023 mencatat bahwa kejujuran dalam birokrasi menjadi salah satu indikator utama peningkatan kualitas pelayanan publik. Kasus Deni Mulyadi ini menjadi cerminan nyata dari tekanan yang dirasakan banyak pejabat di lapangan.

Analisis Unik dan Simplifikasi:
Kasus ini menggambarkan dilema antara profesionalisme dan kenyataan lapangan. Di satu sisi, sistem birokrasi menuntut kinerja tinggi, di sisi lain kapasitas SDM sering kali tidak sebanding dengan tuntutan tersebut. Alih-alih memilih bertahan dengan kualitas kerja yang menurun, Deni memilih jalan yang justru menunjukkan integritas tertinggi seorang birokrat.

Studi Kasus:
Seorang kepala dinas di Jawa Tengah tahun 2022 pernah mengundurkan diri dengan alasan serupa, merasa tidak mampu menangani beban kerja. Hasilnya, kinerja dinas tersebut justru meningkat 40% setelah digantikan oleh pejabat baru yang lebih siap secara mental dan kapasitas.

Kejujuran seperti ini seharusnya menjadi pemantik bagi sistem birokrasi untuk lebih memperhatikan keseimbangan antara tuntutan kerja dan kapasitas SDM. Bukan sekadar mencari pejabat yang mau bertahan, tetapi mencari mereka yang benar-benar mampu memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat. Kita butuh lebih banyak kejujuran seperti Deni, bukan sekadar ketahanan yang dipaksakan.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan