Peningkatan Kasus ‘Gray Divorce’: Penyebab Perceraian Usai Pernikahan Puluhan Tahun

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Perceraian di usia senja atau dikenal sebagai ‘gray divorce’ kembali menjadi sorotan setelah gugatan Atalia Praratya terhadap Ridwan Kamil mencuat ke publik. Meski keduanya telah menjalani pernikahan selama puluhan tahun, langkah hukum ini terdaftar di Pengadilan Agama Bandung dengan sidang pertama dijadwalkan 17 Desember 2025. Panitera Dede Supriadi membenarkan proses tersebut, namun alasan spesifik di balik gugatan masih menjadi misteri.

Istilah gray divorce merujuk pada pemisahan pasangan usia 50 tahun ke atas yang umumnya telah menjalin ikatan pernikahan jangka panjang. Berbeda dengan perceraian usia muda yang sering dipicu perselingkuhan atau masalah keuangan, fenomena ini lebih kompleks karena melibatkan akumulasi tekanan bertahun-tahun. Psikolog Chivonna Childs, PhD mencatat tren ini mengalami lonjakan dua kali lipat sejak 2010, dipengaruhi oleh peningkatan harapan hidup dan perubahan paradigma sosial.

Faktor pendorong utama mencakup ketimpangan minat dan tujuan hidup antar pasangan, stagnasi hubungan, serta keinginan memperbaiki kualitas hidup. Perubahan peran setelah anak-anak mandiri (empty nest syndrome) sering memicu refleksi diri akan kebutuhan pribadi yang terabaikan. Fleksibilitas finansial perempuan modern dan kesadaran kesehatan mental turut mengurangi ketergantungan dalam hubungan tidak sehat.

dr Imran Pambudi dari Kemenkes RI menekankan bahaya kebiasaan berpura-pura bahagia demi menjaga citra keluarga. Penyangkalan ketidakpuasan justru menjadi ‘bom waktu’ yang merusak hubungan secara perlahan. Ia menyarankan pendekatan jujur antar pasangan untuk menghadapi konflik, terutama saat memasuki fase transisi besar seperti pensiun atau perubahan dinamika rumah tangga.

Data riset terbaru Universitas Michigan 2024 mengungkap 34% pasangan gray divorce menyatakan ketidakcocokan visi hidup sebagai alasan utama, disusul 22% karena kebutuhan pertumbuhan pribadi. Studi serupa dari Jepang menunjukkan peningkatan kasus dari 8,2% (2010) menjadi 14,7% (2023) pada kelompok usia 50-64 tahun.

Infografis tren global menunjukkan Amerika Serikat mencatat angka tertinggi dengan 40% perceraian melibatkan pasangan usia 50+, sementara negara Eropa seperti Jerman dan Swedia mengalami kenaikan signifikan sebesar 18% dalam dekade terakhir. Faktor ekonomi makro seperti krisis pensiun dan perubahan pola kerja pasca pandemi turut mempercepat fenomena ini.

Menghadapi realitas baru ini, penting bagi masyarakat memahami bahwa memilih kebahagiaan bukanlah tindakan egois. Setiap hubungan membutuhkan perawatan intensif, terutama saat memasuki fase transisi kehidupan. Komunikasi terbuka, evaluasi berkala, dan keberanian mengakui ketidaknyamanan menjadi kunci menjaga kesehatan hubungan jangka panjang. Bagi yang berada di persimpangan, pertimbangkan bahwa keputusan sulit hari ini bisa menjadi fondasi ketenangan di masa tua.

Baca Berita dan Info Kesehatan lainnya di Seputar Kesehatan Page

Tinggalkan Balasan