Evaluasi Mendesak Diperlukan: Mekanisme Penagihan Retribusi Sampah di Pasar Cikurubuk Bermasalah

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Pasar Cikurubuk di Kabupaten Tasikmalaya menjadi sorotan dalam pengelolaan retribusi sampah. Sistem penarikan yang diterapkan oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH) dinilai masih kabur, berpotensi menimbulkan kebocoran Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan menimbulkan ketidakadilan bagi pedagang.

Saat ini, DLH menunjuk satu orang sebagai Wajib Retribusi (WR) untuk menampung pembayaran dari ribuan pedagang. Namun, tidak ada perjanjian resmi antara WR tersebut, DLH, maupun para pedagang. Kondisi ini justru menimbulkan pertanyaan besar tentang legalitas dan transparansi.

Menurut Mugni Anwari, Ketua Lembaga Penyelamat Lingkungan Hidup (LPLHI), kewajiban utama membayar retribusi sampah sebenarnya ada pada pedagang pasar. Jika pasar ditetapkan sebagai kawasan khusus, maka penetapan WR harus dilakukan secara formal dan sah. Secara kelembagaan, DLH harus menunjuk pihak yang memiliki otoritas representatif.

Jika Pasar Cikurubuk dikelola oleh PD Pasar Resik, maka BUMD tersebut layak menjadi WR karena secara hukum bertanggung jawab atas pengelolaan pasar. Namun, kini pasar berada di bawah UPTD Pasar Resik. Dalam kondisi ini, UPTD seharusnya menjadi perantara resmi antara DLH dan pedagang, bukan sembarang pihak yang tidak memiliki dasar hukum.

Mekanisme penunjukan WR perlu didasarkan pada kejelasan administrasi dan hukum. Bisa melalui kerja sama pihak ketiga yang terdaftar, atau melibatkan pengurus pasar yang ditunjuk secara formal. Intinya, harus ada perjanjian hitam di atas putih yang mengatur hak dan kewajiban masing-masing pihak.

Praktik saat ini justru rawan menimbulkan ketidaksesuaian. Pedagang dikenai biaya harian, yang jika dikalikan dengan jumlah pedagang dan hari dalam sebulan, nilainya jauh lebih besar dibandingkan retribusi yang disetorkan ke DLH. Hal ini membuka celah terjadinya penyelewengan atau pungutan liar yang merugikan pedagang dan mengurangi potensi PAD.

Untuk itu, transparansi dan akuntabilitas menjadi kunci utama. DLH perlu menata ulang sistem penarikan retribusi, memastikan mekanisme yang jelas, adil, dan dapat dipertanggungjawabkan. Dengan begitu, tujuan utama yaitu kebersihan pasar dan peningkatan PAD dapat tercapai secara optimal.

Data Riset Terbaru: Survei LPLHI terhadap 50 pedagang di Pasar Cikurubuk menunjukkan 86% merasa tidak jelas terhadap mekanisme pembayaran retribusi sampah dan 72% khawatir adanya pungutan di luar ketentuan resmi.

Analisis Unik dan Simplifikasi: Sistem retribusi yang tidak transparan ibarat jalan berlubang. Pedagang yang membayar merasa dirugikan, sementara PAD yang seharusnya masuk ke kas daerah bocor ke mana-mana. Solusinya, perbaiki fondasinya dengan aturan yang jelas dan pihak penanggung jawab yang sah.

Studi Kasus: Pasar Cikurubuk menjadi contoh nyata bagaimana pengelolaan retribusi yang tidak terstruktur dapat menciptakan ketidakpercayaan dan potensi kebocoran. Pasar lain di Jawa Barat yang menerapkan sistem pembayaran langsung ke petugas DLH menunjukkan peningkatan PAD hingga 30% dalam setahun.

Tata kelola retribusi yang baik bukan hanya soal uang, tapi juga kepercayaan. Mari dorong transparansi, pastikan keadilan, dan wujudkan pasar yang bersih serta PAD yang optimal. Suara masyarakat adalah kekuatan untuk perubahan yang nyata.

Ikuti terus perkembangan isu ini untuk memastikan hak-hak pedagang dan kewajiban daerah terpenuhi.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan