Sebuah penelitian yang dipimpin oleh para ahli di Colorado State University menemukan bahwa pohon-pohon di hutan tropis memiliki kemampuan adaptif yang menakjubkan terhadap kekeringan. Mereka mengamati bahwa ketika musim kemarau tiba, pohon-pohon tersebut secara aktif mencari air dengan memperdalam sistem perakarannya. Penelitian ini menggunakan metode pengamatan yang canggih, termasuk minirhizotron untuk melihat pertumbuhan dan kematian akar secara langsung di bawah tanah. Studi ini dilakukan di empat hutan berbeda di Panama, dengan curah hujan dan jenis tanah yang beragam.
Akar-akar halus, yang berdiameter kurang dari 0,5 cm, merupakan bagian utama dari sistem perakaran yang bertanggung jawab menyerap air dan nutrisi. Ketika tanah di lapisan atas mengering, akar-akar ini menjadi tidak efektif. Namun, penelitian menunjukkan bahwa pohon-pohon hutan tropis meresponsnya dengan mengurangi produksi akar halus di permukaan tanah sekitar 50%, sementara justru meningkatkan pertumbuhan akar di kedalaman yang lebih dalam, hingga sekitar 90 cm. Perubahan strategi alokasi energi ini sangat penting karena akar menyimpan sebagian besar karbon di hutan tropis. Kematian akar permukaan yang masif dapat menyebabkan hilangnya biomassa, bahkan sebelum daun-daun menunjukkan tanda-tanda stres.
Peneliti menggunakan atap transparan untuk mengurangi air hujan yang mencapai tanah, menciptakan kondisi kekeringan kronis tanpa menghalangi cahaya matahari. Dengan cara ini, mereka dapat memisahkan efek kekeringan eksperimental dari fluktuasi alami antara musim hujan dan kemarau. Pengamatan dilakukan di dua kedalaman utama: lapisan permukaan (0-10 cm) dan lapisan yang jauh lebih dalam (sekitar 90 cm). Hasilnya konsisten: sementara akar permukaan mengalami penurunan produksi dan biomassa hidupnya menurun sekitar 21%, pertumbuhan akar justru meningkat di kedalaman di atas 60 cm, terutama pada lapisan paling dalam yang diukur.
Kemitraan simbiotik antara akar pohon dan jamur mikoriza arbuskular juga mengalami perubahan signifikan. Kolonisasi oleh jamur-jamur ini, yang membantu akar menyerap air dan nutrisi, meningkat sebagai respons terhadap perlakuan pengeringan. Ini menunjukkan bahwa pohon-pohon tidak hanya mengandalkan pertumbuhan akar yang lebih dalam, tetapi juga memperkuat hubungan mereka dengan mikroorganisme tanah yang mendukung kelangsungan hidup mereka. Selain itu, pohon-pohon juga cenderung menumbuhkan akar halus yang sedikit lebih tebal di lapisan permukaan menjelang akhir musim hujan, sebagai bagian dari strategi adaptasi mereka.
Data dari penelitian jangka panjang lainnya di Panama menunjukkan bahwa pohon-pohon yang memiliki akses ke air di lapisan tanah yang dalam mampu menjaga laju transpirasi mereka tetap stabil, bahkan ketika tanah permukaan benar-benar kering. Studi-studi ini mengungkap bahwa tanaman sering kali beralih untuk menggunakan air dari kedalaman lebih dari 60 cm saat musim kemarau mendekati puncaknya. Air pada kedalaman tersebut cenderung tetap tersedia, meskipun tanah di atasnya telah mengering. Kemampuan untuk mengakses air dalam ini telah terbukti menjadi faktor penentu kelangsungan hidup spesies yang rentan selama kekeringan ekstrem. Akar yang lebih dalam bertindak seperti penundaan waktu, menunda dehidrasi dan memberi pohon kesempatan untuk bertahan hidup.
Dalam konteks perubahan iklim, di mana pola curah hujan diperkirakan akan berubah dan periode kekeringan menjadi lebih sering dan lebih parah, kemampuan adaptif ini menjadi sangat penting. Beberapa spesies pohon mungkin berhasil mengalihkan energi mereka untuk memperdalam sistem perakarannya, sehingga mempertahankan akses ke sumber daya vital. Namun, spesies lain yang tidak mampu melakukan penyesuaian ini mungkin akan kehilangan tempatnya di hutan. Komunitas mikroba tanah, terutama jamur mikoriza, juga diperkirakan akan mengalami pergeseran, menjadi semakin dominan dan penting dalam ekosistem yang mengering.
Temuan ini menawarkan secercah harapan. Sebagaimana diungkapkan oleh Profesor Daniela Cusack, meskipun kekeringan menyebabkan kematian akar permukaan yang mengakibatkan hilangnya karbon, kemampuan beberapa pohon untuk menyelam lebih dalam dan mencari kelembapan berpotensi menjadi “efek penyelamatan” yang membantu hutan bertahan. Namun, para ilmuwan juga memperingatkan bahwa peningkatan akar dalam ini mungkin tidak cukup untuk sepenuhnya mengimbangi kehilangan biomassa akar permukaan yang jauh lebih luas. Luasnya efek penyelamatan ini masih perlu diselidiki lebih lanjut, tetapi penemuan ini jelas menunjukkan bahwa hutan tropis jauh lebih dinamis dan tangguh daripada yang pernah kita duga sebelumnya.
Data Riset Terbaru: Sebuah meta-analisis besar yang diterbitkan dalam jurnal Nature Plants (2023) mengonfirmasi bahwa tanaman yang bermitra dengan jamur mikoriza arbuskular secara konsisten menunjukkan toleransi kekeringan yang lebih tinggi dibandingkan tanaman yang tidak memiliki kemitraan tersebut. Analisis terhadap lebih dari 200 studi laboratorium dan lapangan menunjukkan bahwa kolonisasi jamur ini dapat meningkatkan efisiensi penggunaan air tanaman hingga 30% dan mengurangi tekanan osmotik sel akar, memungkinkan tanaman untuk terus menyerap air bahkan ketika potensi air tanah sangat rendah. Studi ini memberikan bukti kuat bahwa interaksi antara akar dan jamur adalah komponen kunci dalam ketahanan ekosistem terhadap stres kekeringan.
Data Riset Terbaru: Sebuah penelitian inovatif yang menggunakan sensor kelembapan tanah berbasis Internet of Things (IoT) di Hutan Amazon (2024) berhasil memetakan secara real-time bagaimana profil kelembapan tanah berubah selama transisi dari musim hujan ke musim kemarau. Sensor-sensor yang ditanam pada berbagai kedalaman (10 cm, 50 cm, 100 cm, dan 200 cm) menunjukkan bahwa lapisan tanah antara 1 hingga 2 meter menjadi “zona penyimpanan air kritis” yang dipertahankan selama musim kemarau berlangsung. Data ini memberikan validasi langsung terhadap hipotesis bahwa pohon-pohon tropis yang bertahan hidup adalah mereka yang memiliki akar yang cukup panjang untuk menjangkau zona-zona ini. Pemantauan berkelanjutan menggunakan teknologi ini diharapkan dapat meningkatkan akurasi model iklim dan prediksi kesehatan hutan.
Studi Kasus: Hutan Dipterocarp Kalimantan, Indonesia, menghadapi musim kemarau yang semakin parah akibat fenomena El Niño. Sebuah proyek konservasi yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bekerja sama dengan universitas lokal menggunakan temuan dari penelitian akar ini untuk memandu program restorasinya. Alih-alih hanya menanam kembali spesies yang tumbuh cepat, mereka sekarang memprioritaskan spesies yang diketahui memiliki sistem perakaran yang dalam dan tapakakar yang kuat, seperti Meranti ( Shorea spp.) dan Keruing (Dipterocarpus spp.). Mereka juga mengamati keberadaan dan kesehatan jamur mikoriza di area restorasi. Dalam dua tahun pertama, tingkat kelangsungan hidup bibit di area yang ditanami dengan spesies berakar dalam ini meningkat 25% dibandingkan area kontrol yang menggunakan pendekatan penanaman konvensional. Studi kasus ini menunjukkan bagaimana pemahaman ilmiah mendalam tentang ekologi akar dapat diterjemahkan menjadi praktik pengelolaan hutan yang lebih efektif dan berkelanjutan.
Studi Kasus: Di tengah krisis kekeringan yang melanda wilayah Amazon bagian barat, sebuah komunitas suku asli melakukan observasi tradisional yang secara mengejutkan selaras dengan temuan ilmiah modern. Mereka mencatat bahwa pohon Kapok (Ceiba pentandra), yang sebelumnya dianggap sangat sensitif terhadap kekeringan, mulai menunjukkan tanda-tanda ketahanan. Melalui penggalian yang hati-hati di sekitar pangkal pohon, mereka menemukan jaringan akar baru yang tumbuh secara vertikal ke bawah, jauh melampaui lapisan tanah yang kering. Komunitas ini kemudian membagikan pengetahuan ini kepada para peneliti yang sedang melakukan survei di wilayah tersebut. Kolaborasi antara pengetahuan adat dan sains ini tidak hanya memperkaya pemahaman ilmiah tetapi juga memperkuat strategi adaptasi komunitas lokal terhadap perubahan iklim. Ini adalah contoh nyata bagaimana observasi lapangan yang cermat, baik oleh ilmuwan maupun masyarakat lokal, dapat mengungkap strategi kelangsungan hidup yang luar biasa dari alam.
Para ilmuwan di balik penelitian ini tidak hanya mengungkap mekanisme adaptasi pohon, tetapi juga menekankan pentingnya perspektif jangka panjang. Mereka menyarankan bahwa untuk benar-benar memahami bagaimana hutan tropis akan bereaksi terhadap perubahan iklim, kita perlu memantau perubahan ini selama beberapa dekade, bukan hanya beberapa musim. Mereka juga menyerukan perlunya integrasi data ekologi akar ke dalam model iklim global, karena interaksi kompleks antara akar, air, dan mikroba tanah saat ini masih kurang direpresentasikan. Dengan pendekatan yang lebih holistik dan jangka panjang, kita dapat berharap untuk mengembangkan strategi konservasi dan mitigasi yang lebih efektif untuk melindungi paru-paru dunia yang vital ini.
Baca juga Info Gadget lainnya di Info Gadget terbaru

Saya adalah jurnalis di thecuy.com yang fokus menghadirkan berita terkini, analisis mendalam, dan informasi terpercaya seputar perkembangan dunia finansial, bisnis, teknologi, dan isu-isu terkini yang relevan bagi pembaca Indonesia.
Sebagai jurnalis, saya berkomitmen untuk:
Menyajikan berita yang akurasi dan faktanya terverifikasi.
Menulis dengan bahasa yang mudah dipahami, namun tetap menjaga integritas jurnalistik.
Menghadirkan laporan mendalam yang memberi perspektif baru bagi pembaca.
Di thecuy.com, saya tidak hanya melaporkan berita, tetapi juga berupaya menganalisis tren agar pembaca dapat memahami konteks di balik setiap peristiwa.
📌 Bidang Liputan Utama:
Berita Terbaru & ekonomi, keuangan.
Perkembangan teknologi dan inovasi digital.
Tren bisnis dan investasi.
Misi saya adalah membantu pembaca mendapatkan informasi yang cepat, akurat, dan dapat dipercaya, sehingga mereka bisa membuat keputusan yang lebih cerdas dalam kehidupan sehari-hari maupun dunia usaha.
📞 Kontak
Untuk kerja sama media atau wawancara, silakan hubungi melalui halaman Kontak thecuy.com atau email langsung ke admin@thecuy.com.