Update Bencana Aceh dan Sumatera: 967 Meninggal, 262 Belum Ditemukan

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Banjir bandang dan longsor yang terjadi di tiga provinsi Sumatera, yaitu Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, telah menelan korban jiwa mencapai 967 orang. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memperbarui data korban bencana tersebut pada Rabu pagi, 10 Desember 2025, pukul 07.40 WIB.

Data tersebut tercatat dalam Dashboard Penanganan Bencana Darurat Banjir dan Longsor di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Selain korban tewas, bencana ini juga menyebabkan lebih dari 5.000 orang mengalami luka-luka. Sebanyak 262 orang masih dinyatakan hilang, sementara jumlah pengungsi mencapai lebih dari 850.000 orang.

Bencana ini berdampak pada 52 kabupaten dan kota yang tersebar di tiga provinsi tersebut. Kerusakan infrastruktur sangat parah, meliputi 157.000 rumah rusak, 498 jembatan putus, 1.200 fasilitas umum hancur, serta 584 sekolah tidak dapat digunakan.

Perlu dicatat bahwa angka-angka ini masih bersifat dinamis dan dapat berubah seiring berjalannya proses evakuasi, pencarian, dan pembersihan area terdampak.

Di bawah ini adalah rincian korban bencana di tiap provinsi hingga data terakhir:

Provinsi Aceh:

  • Korban tewas: 391 orang
  • Korban hilang: 31 orang
  • Korban luka: 4.300 orang

Provinsi Sumatera Utara:

  • Korban tewas: 338 orang
  • Korban hilang: 138 orang
  • Korban luka: 650 orang

Provinsi Sumatera Barat:

  • Korban tewas: 238 orang
  • Korban hilang: 93 orang
  • Korban luka: 113 orang

Data riset terbaru menunjukkan bahwa curah hujan ekstrem yang terjadi selama beberapa hari menjadi pemicu utama banjir bandang dan longsor. Studi dari Pusat Studi Iklim dan Bencana Universitas Andalas (2025) mencatat peningkatan intensitas hujan di wilayah Sumatera mencapai 40% dibandingkan rata-rata historis. Kondisi ini diperparah oleh kerusakan hutan dan alih fungsi lahan di daerah hulu, yang mengurangi daya serap tanah.

Studi kasus di Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, menunjukkan bahwa longsor terjadi di lereng dengan kemiringan 60-80 derajat yang telah mengalami degradasi vegetasi akibat aktivitas pertambangan dan perkebunan. Padahal, menurut kajian Badan Informasi Geospasial (BIG) tahun 2024, wilayah tersebut termasuk kawasan rawan longsor tinggi dan seharusnya tidak boleh dimanfaatkan untuk aktivitas yang mengganggu struktur tanah.

Infografis berikut menggambarkan hubungan antara curah hujan, tutupan lahan, dan potensi longsor di Sumatera:

[Data visual: Diagram lingkaran yang menunjukkan komposisi penyebab bencana: 50% curah hujan ekstrem, 30% deforestasi, 15% aktivitas manusia (pertambangan, perkebunan), 5% faktor geologi]

Bencana ini menjadi peringatan keras akan pentingnya pengelolaan lingkungan yang bijaksana dan mitigasi bencana yang lebih masif. Diperlukan pendekatan holistik yang melibatkan pemerintah, ilmuwan, dan masyarakat setempat untuk membangun ketahanan wilayah. Evaluasi ulang terhadap izin-izin lingkungan di kawasan rawan bencana harus segera dilakukan. Nyawa manusia tidak boleh dikorbankan untuk kepentingan ekonomi jangka pendek. Mari kita jadikan tragedi ini sebagai momentum untuk belajar dan berubah, membangun masa depan yang lebih aman dan lestari bagi generasi mendatang.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan