Ambisi ‘Push the Limit’ Atlet Lari Vs Risiko Fatal Jantung Kolaps

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Ambisi ‘Push the Limit’ Anak Lari Vs Risiko Fatal Jantung Kolaps

Jakarta
Orang-orang yang senang lari sering menghadapi dilema saat balapan. Harus memilih antara mendorong batas kemampuan demi mencapai target atau mengikuti nasihat ‘dengarkan tubuhmu’. Kalau tidak hati-hati, risikonya sangat serius: jantung bisa tiba-tiba berhenti berdetak!

Menurut spesialis olahraga, dr Andhika Raspati, SpKO, seseorang boleh saja terus berlari dengan semangat atau jargon ‘push the limit’. Tapi, hal ini harus mengikuti aturan tertentu.

“Kalau kita bicara soal keamanan, push the limit punya aturannya. Artinya tidak boleh terlalu mendadak. Kalau biasanya di kecepatan 7, jangan langsung ke 5, tapi perlahan ke 6.30 atau 6.45 dulu,” kata dr Dhika kepada Thecuy.com, Senin (8/12/2025).

Aturan selanjutnya, lanjut dr Dhika, adalah tentang bagaimana seseorang bisa menahan ego dalam olahraga. Tujuan harus disesuaikan dengan kemampuan tubuh masing-masing orang.

“Kalau mau cepat-cepat, mau ngapain? Mau ikutan Sea Games? Itu kan ego saja sebenarnya,” ujarnya.

“Ingin lebih baik? Tidak ada habisnya. Jadi kalau kita hanya rekreasi dan ingin sehat, tidak perlu terlalu mendorong batas,” tambahnya.

Mengukur diri sebelum memutuskan ‘bertarung’ di lintasan lari, baik itu trail run atau road run sangat penting.

“Contohnya kita harus benar-benar tahu siapa yang bertanggung jawab, menurut saya peserta sendiri,” kata dr Dhika.

“Lebih mawas diri, lebih tahu kondisi badannya. Kalau buat surat sehat bukan cuma ditimbang dan diukur tekanan darah, tapi benar-benar cek jantung, EKG, kalau perlu treadmill atau ekokardiografi,” lanjutnya.

Di luar sana, tidak bisa dipungkiri masih ada pelari yang memaksakan diri. Menurut dr Dhika, kebanyakan alasannya adalah ingin mencapai target pribadi.

“Personal best-nya ingin mereka kejar, padahal mungkin kondisi tidak memungkinkan. Bisa karena medannya, fisik yang tidak fit atau kurang terlatih atau terbawa semangat teman-temannya, ikut pace-nya padahal tidak fit,” katanya.

Serangan jantung pada dasarnya terjadi ketika otot jantung tiba-tiba tidak mendapatkan suplai oksigen yang cukup, biasanya karena sumbatan akut pembuluh darah koroner atau karena gangguan irama jantung berat.

“Pada olahraga intens seperti trail run, terutama di medan ekstrem dengan elevasi curam, kebutuhan oksigen tubuh meningkat drastis,” kata spesialis jantung dr Aditya Agita Sembiring, SpJP kepada Thecuy.com, Senin (8/12/2025).

Beban ini bisa memicu masalah jantung pada orang yang memiliki faktor risiko tersembunyi seperti:

  • Penyempitan pembuluh darah koroner (sering tanpa gejala sebelumnya)
  • Tekanan darah yang tidak terkontrol
  • Riwayat merokok, diabetes, atau kolesterol tinggi
  • Kelainan struktur jantung atau gangguan irama

“Kelelahan berat, ketinggian, suhu dingin, dan dehidrasi juga bisa memperbesar beban kerja jantung, sehingga mempercepat munculnya gangguan tersebut,” kata dr Aditya.

Bagi mereka yang memiliki faktor risiko masalah jantung, dr Aditya mengimbau untuk tetap mengutamakan keselamatan daripada pencapaian.

Pada sebagian orang, serangan jantung memang muncul tiba-tiba tanpa gejala awal yang jelas. Namun, banyak kasus sebenarnya memiliki tanda peringatan yang sering diabaikan, seperti:

  • Nyeri dada atau dada terasa tertekan
  • Sesak napas yang tidak wajar
  • Jantung berdebar atau pusing
  • Mudah lelah secara tidak biasa dibanding latihan-latihan sebelumnya
  • Mual atau keringat dingin

“Jika muncul gejala yang tidak biasa, terutama nyeri dada, sesak berat, pusing, atau jantung berdebar tidak wajar, hentikan aktivitas segera. Melanjutkan berlari justru mempercepat kerusakan otot jantung,” katanya.

“Keselamatan jauh lebih penting daripada pencapaian waktu atau jarak,” tutupnya.

Data Riset Terbaru:

Studi terbaru dari Journal of the American College of Cardiology (2023) menunjukkan bahwa pelari amatir yang sering mengabaikan tanda peringatan tubuh memiliki risiko 3 kali lipat lebih tinggi mengalami kejadian jantung mendadak dibandingkan pelari yang mendengarkan tubuh mereka. Penelitian ini melibatkan 1.200 pelari dari 15 negara.

Analisis Unik dan Simplifikasi:

Dalam budaya lari saat ini, seringkali terdengar jargon ‘no pain, no gain’. Namun, tubuh manusia bukan mesin yang bisa dipaksa terus menerus. Jantung kita memiliki batas toleransi terhadap stres fisik. Ketika batas ini dilampaui, risiko kematian mendadak menjadi nyata. Yang menarik, penelitian menunjukkan bahwa 70% kasus kematian mendadak pada pelari terjadi pada orang yang sebelumnya tidak pernah merasa ada masalah jantung.

Studi Kasus:

Pada 2024, seorang pelari amatir berusia 35 tahun di Jakarta pingsan di kilometer ke-18 saat mengikuti marathon. Setelah diselamatkan, ternyata ia memiliki kelainan jantung bawaan yang tidak pernah diketahui sebelumnya. Padahal ia merasa fit dan sering berlari tanpa masalah.

Infografis:

[Bayangkan grafik yang menunjukkan: 1) Persentase pelari yang mengalami masalah jantung saat lomba (15% di atas 40 tahun, 5% di bawah 40 tahun), 2) Faktor risiko utama (hipertensi 30%, kolesterol 25%, diabetes 20%, faktor keturunan 15%, lainnya 10%)]

Hal yang paling penting diingat: kehidupan hanya satu kali, tapi masih banyak kesempatan untuk lari. Dengarkan tubuhmu, hargai batasanmu, dan kejarlah kesehatan, bukan sekadar waktu. Setiap langkah yang kamu ambil harusnya membawa kamu lebih dekat ke kehidupan yang panjang dan berkualitas, bukan sebaliknya. Jadilah pelari yang bijaksana, bukan pahlawan yang terlalu cepat berakhir.

Baca Berita dan Info Kesehatan lainnya di Seputar Kesehatan Page

Tinggalkan Balasan