Korban Bencana Aceh Menangis di Depan Prabowo: Rumah Saya Hanyut Terbawa Sungai

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Presiden Prabowo Subianto mengunjungi lokasi bencana banjir dan tanah longsor di Kecamatan Juli, Bireuen, Aceh. Ia menyapa para pengungsi di tenda darurat.

Berdasarkan pantauan Thecuy.com, Minggu (7/12/2025), kedatangan Prabowo terjadi pada pukul 12.20 WIB. Ia langsung menemui warga yang terdampak bencana.

Aksi kepedulian ditunjukkan dengan mencium kening seorang balita yang sedang digendong ibunya. Presiden juga menjadi pendengar bagi keluh kesah masyarakat yang kehilangan tempat tinggal.

“Rumah saya sudah dibawa sungai, Bapak. Tidak ada lagi rumah saya,” ucap seorang warga sambil menangis.

Prabowo terlihat serius mendengarkan setiap cerita yang disampaikan. Antusiasme warga terlihat saat mereka berebut untuk bersalaman dengan kepala negara.

Selain menyapa warga, Prabowo juga memastikan ketersediaan makanan di dapur umum. Sebelum meninggalkan lokasi, ia sempat menikmati hidangan bersama para pengungsi.

“Menu makannya ikan tongkol,” ujar Prabowo.

Kunjungan ini merupakan yang kedua kalinya ke Aceh dalam rangka penanganan bencana. Sebelumnya, pada 1 Desember 2025, Prabowo telah meninjau kondisi di Kutacane, Aceh Tenggara.


Data Riset Terbaru:
Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) hingga Desember 2025, Aceh menjadi salah satu provinsi dengan risiko banjir dan longsor tertinggi di Indonesia. Faktor utama penyebabnya adalah curah hujan ekstrem dan kerusakan hutan di kawasan hulu. Studi dari Pusat Studi Bencana Universitas Syiah Kuala (2024) menunjukkan bahwa 60% longsor di Aceh dipicu oleh perubahan penggunaan lahan. Sementara itu, riset dari BMKG (2025) mencatat peningkatan intensitas hujan di kawasan Aceh sebesar 15% selama dekade terakhir.

Analisis Unik dan Simplifikasi:
Bencana alam seperti banjir dan longsor sering kali dianggap sebagai musibah yang tak terelakkan. Namun, di balik fenomena alam tersebut, terdapat peran manusia yang turut memperburuk situasi. Kerusakan ekosistem hutan, alih fungsi lahan sembarangan, serta kurangnya sistem drainase yang memadai menjadi faktor pemicu utama. Untuk memahami kompleksitas ini, kita perlu melihatnya dari dua sisi: alam dan ulah manusia. Dengan pendekatan ini, penanganan bencana tidak hanya bersifat reaktif (menangani saat terjadi), tetapi juga preventif (mencegah sejak dini).

Studi Kasus:
Kasus banjir di Bireuen tahun 2025 menjadi gambaran nyata dari dampak perubahan iklim dan kerusakan lingkungan. Sebelum terjadinya banjir, kawasan hulu mengalami deforestasi luas untuk perluasan lahan pertanian. Hal ini menyebabkan daya serap tanah menurun drastis. Saat hujan deras mengguyur, air tidak mampu meresap ke dalam tanah dan langsung mengalir deras ke daerah rendah, menyebabkan banjir bandang. Studi kasus ini menunjukkan betapa pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem untuk mencegah bencana.

Infografis (Konsep Visual):
Bayangkan sebuah diagram yang menggambarkan alur penyebab banjir:

  1. Hulu: Hutan gundul -> Tanah tidak mampu menyerap air -> Air mengalir deras.
  2. Tengah: Sungai meluap -> Permukiman terendam.
  3. Hilir: Air menggenang -> Warga mengungsi.

Diagram ini memvisualisasikan hubungan sebab-akibat antara kerusakan hutan dan banjir di permukiman.

Kehadiran Presiden di tengah musibah ini memberikan semangat dan harapan bagi para korban. Namun, yang lebih penting adalah tindakan nyata untuk membangun ketahanan bencana. Mari kita jadikan setiap musibah sebagai pembelajaran berharga. Jangan hanya menunggu bantuan, tetapi mulailah dari diri sendiri untuk menjaga lingkungan, merawat hutan, dan membangun sistem peringatan dini yang efektif. Dengan begitu, kita tidak hanya menjadi korban, tetapi juga pelaku perubahan menuju masa depan yang lebih aman dan berkelanjutan.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan