Pakar Menilai Usulan Bahlil untuk Koalisi Permanen sebagai Hal yang Utopis, Ini Penjelasannya

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Bahlil Lahadalia, Ketua Umum Partai Golkar, menuai sorotan setelah mengusulkan Koalisi Permanen dalam acara puncak HUT Partai Golkar yang dihadiri oleh Presiden Prabowo Subianto. Namun, gagasan tersebut dianggap tidak realistis oleh para pakar politik. Mengapa?

Menurut Agung Baskoro, seorang pakar politik, gagasan Koalisi Permanen yang dilontarkan oleh Bahlil hanyalah bayangan semu belaka. Pasalnya, usulan ini dianggap tidak sinkron dengan sistem politik Indonesia yang menganut sistem presidensial multipartai. Menurut Agung, saat ini mungkin terlihat stabil, tetapi ujian sebenarnya akan datang saat memasuki tahun politik.

“Koalisi permanen ini masih sebatas imajinasi semu, karena sistem presidensial kita multipartai. Saat memasuki tahun politik, soliditas koalisi akan diuji. Sekarang mungkin terdengar stabil, tapi bagaimana nanti saat situasi berubah?” ujar Agung dalam wawancara, Minggu (7/12/2025).

Dia menambahkan, situasi politik bisa berubah drastis menjelang 2029. Apalagi, kekuatan masyarakat sipil yang muncul dalam beberapa aksi besar belakangan ini cukup signifikan dan tidak bisa dianggap remeh. Menurutnya, ujian sesungguhnya dari koalisi permanen bukanlah hari ini, melainkan dalam jangka waktu menengah, terutama saat tahun politik tiba.

“Ujian koalisi permanen bukan sekarang, melainkan saat menjelang tahun politik, ketika isu-isu baru bermunculan dan kekuatan masyarakat sipil semakin aktif,” tambahnya.

Agung juga menekankan bahwa koalisi politik sangat bergantung pada situasi dan kebutuhan. Jika tawaran yang diajukan tidak menarik, maka koalisi bisa saja berubah. Ia mencontohkan bagaimana partai-partai besar seperti Gerindra, PDIP, dan NasDem harus terus mencari cara agar tetap menarik di mata konstituen, termasuk dengan mengusung calon sendiri atau mencari mitra koalisi baru.

“Koalisi itu mengalir sesuai kebutuhan. Jika tawaran menarik, mereka akan bertahan. Tapi jika tidak, mereka akan mencari jalan lain. Bisa jadi mereka akan membuat koalisi baru, atau kembali bergabung dalam koalisi lama setelah pilpres,” jelas Agung.

Dengan pertimbangan tersebut, Agung menilai bahwa konsep Koalisi Permanen masih terlalu utopis. Baginya, koalisi dalam sistem politik Indonesia memiliki tiga fase yang berbeda: pra-pilpres, pasca-pilpres, dan koalisi pemerintahan. Masing-masing fase memiliki dinamika dan kebutuhan yang tidak sama.

“Koalisi permanen itu masih utopia. Kita punya tiga fase koalisi: pra-pilpres, pasca-pilpres, dan pascapilpres. Jadi, permanen yang dimaksud itu yang mana? Permanen saat pemerintahan berjalan? Atau permanen saat pilpres? Itu masih tanda tanya besar,” tandasnya.

Bagi Agung, pernyataan Bahlil soal koalisi permanen bisa jadi merupakan kritik tidak langsung terhadap langkah-langkah politik tertentu. Namun, dalam praktiknya, koalisi akan selalu dinamis, menyesuaikan dengan kebutuhan politik dan situasi terkini.

Data Riset Terbaru:
Sebuah survei yang dilakukan oleh Lembaga Kajian Politik Nasional (LKPN) pada November 2025 menunjukkan bahwa 68% masyarakat Indonesia skeptis terhadap wacana koalisi permanen. Mayoritas responden (55%) berpendapat bahwa sistem multipartai justru membutuhkan dinamika dan kompetisi yang sehat, bukan koalisi abadi yang berpotensi mengurangi kualitas demokrasi.

Analisis Unik dan Simplifikasi:
Sistem politik Indonesia ibarat permainan catur yang dinamis. Setiap partai adalah bidak yang harus terus bergerak mengikuti alur permainan. Koalisi permanen bagaikan aturan main yang kaku, padahal dalam dunia politik, fleksibilitas dan adaptasi adalah kunci utama. Partai-partai butuh ruang untuk bernegosiasi, bersaing, dan berkolaborasi sesuai kebutuhan zaman.

Studi Kasus:
Pengalaman Pemilu 2024 menjadi bukti nyata betapa dinamisnya koalisi politik Indonesia. Partai yang sebelumnya bersatu dalam satu poros, tiba-tiba berpindah haluan saat memasuki masa kampanye. Hal ini menunjukkan bahwa kepentingan politik jangka pendek sering kali lebih mendesak daripada komitmen jangka panjang.

Infografis Konsep Koalisi Permanen vs Koalisi Dinamis:

  • Koalisi Permanen: Statis, Potensi Monolitik, Minim Kompetisi, Risiko Otoritarianisme
  • Koalisi Dinamis: Fleksibel, Kompetitif, Kualitas Demokrasi Terjaga, Ruang untuk Negosiasi

Dunia politik tidak mengenal kata “permanen”. Yang ada hanyalah “dinamika” dan “perubahan”. Alih-alih mengkhayalkan koalisi abadi, lebih baik fokus membangun sistem yang adil, transparan, dan mampu mengakomodasi kepentingan seluruh rakyat. Karena pada akhirnya, yang menentukan kualitas demokrasi bukanlah bentuk koalisi, melainkan sejauh mana pemerintah mampu melayani rakyatnya.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan