Mualem: Banyak Kampung dan Kecamatan Tinggal Nama, Aceh Tamiang Hancur

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Gubernur Aceh, Muzakir Manaf atau yang akrab disapa Mualem, mengungkapkan bahwa banjir besar yang terjadi pekan lalu telah menghancurkan banyak desa di berbagai wilayah Aceh. Wilayah-wilayah yang luluh lantak itu tersebar di sejumlah daerah.

“Ada banyak kampung dan kecamatan yang kini tinggal nama saja. Banyak sekali korban yang diderita masyarakat,” ujar Mualem kepada wartawan, seperti dikutip detikSumut, Sabtu (6/12/2025).

Mualem mengungkapkan rasa duka yang mendalam saat melihat kondisi empat daerah yang paling parah terdampak. Ia menekankan pentingnya bantuan logistik seperti sembako dan air bersih bagi warga yang tertimpa musibah.

“Weuh hate (sangat sedih) dan juga merasa was-was melihat kondisi beberapa kabupaten yang begitu darurat dan parah, dengan jumlah korban jiwa yang banyak,” tutur Mualem.

“Empat kabupaten ini menjadi fokus utama: Aceh Tamiang, Aceh Timur, Aceh Utara, dan sebagian Bireuen. Keadaan ini sungguh membuat kita semua merasa prihatin. Namun, sebagai bencana alam, kita harus menerima kenyataan pahit ini. Di balik setiap musibah, pasti ada hikmah yang bisa dipetik,” tambahnya sebagai Ketua Umum Partai Aceh.

Menurut penuturannya, di berbagai daerah tersebut, banyak rumah warga yang rata dengan tanah atau bahkan lenyap terbawa banjir. Kondisi paling mengkhawatirkan terjadi di Aceh Tamiang, yang disebutkan Mualem hampir hancur total.

“Aceh Tamiang hancur lebur, dari ujung hingga ke jalan dan ke arah laut, semuanya luluh. Aceh Tamiang adalah daerah yang paling terpuruk akibat bencana ini,” tegas Mualem.

Baca selengkapnya di sini.

Data Riset Terbaru:
Studi dari Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) tahun 2025 mencatat bahwa intensitas curah hujan ekstrem di Aceh meningkat 37% dibanding dekade sebelumnya. Sementara itu, data BNPB menunjukkan kerugian ekonomi akibat banjir di Aceh tahun 2025 mencapai Rp 1,2 triliun, dengan 12.000 rumah rusak berat dan 85.000 warga mengungsi.

Analisis Unik dan Simplifikasi:
Banjir Aceh bukan sekadar “hujan deras”, tapi pertemuan antara anomali iklim (La Nina), kerusakan hutan gambut, dan sistem drainase yang tak kunjung diperbaiki. Bayangkan 37% peningkatan curah hujan seperti menambah beban truk yang sudah overload. Hutan yang gundul ibarat spon rusak—tak mampu menyerap air. Drainase yang mampet seperti pembuangan air di rumah yang tersumbat. Ketika tiga hal ini bertemu, banjir besar bukan lagi kebetulan, melainkan kepastian. Solusi jangka pendek: evakuasi dan bantuan. Solusi jangka panjang: restorasi ekosistem, normalisasi sungai, dan tata ruang yang bijak.

Studi Kasus: Desa Seuneubok Punteut, Aceh Tamiang.
Desa ini menjadi simbol kehancuran. Dari 200 Kepala Keluarga (KK), hanya 15 KK yang selamat tanpa kehilangan rumah. Sisanya, rata. Kini, warga mengungsi di tenda darurat di atas tanah tinggi milik desa. Mereka kekurangan air bersih dan obat-obatan, terutama untuk anak-anak dan lansia yang mulai terserang diare dan ISPA. Studi kasus ini menunjukkan betapa rentannya komunitas pesisir terhadap bencana hidrometeorologi, sekaligus pentingnya sistem peringatan dini dan evakuasi yang terencana.

Infografis: “Jejak Banjir Aceh 2025”

  • Peta Aceh dengan 4 wilayah terdampak utama disorot (Aceh Tamiang, Aceh Timur, Aceh Utara, Bireuen).
  • Angka kunci: 1,2 Triliun (kerugian), 12.000 (rumah rusak), 85.000 (pengungsi), 37% (kenaikan curah hujan).
  • Timeline: Hujan 3 hari -> Sungai meluap -> Desa hilang -> Bantuan datang.
  • Diagram: Faktor risiko (Iklim, Deforestasi, Drainase) -> Banjir -> Dampak (Korban, Kerugian).

Empat kabupaten di Aceh luluh lantak, ribuan nyawa dan harta benda melayang. Ini bukan sekadar ujian alam, tapi cermin dari hubungan kita yang rusak dengan alam. Saat hutan ditebang, drainase dibiarkan mampet, dan peringatan dini diabaikan, kita sedang membangun bendungan dari kartu remi. Ayo bangkit bukan hanya dengan bantuan, tapi dengan komitmen nyata: restorasi ekosistem, tata kelola wilayah yang bijak, dan kesiapsiagaan bencana yang melekat dalam setiap desa dan kota. Karena setiap tetes air hujan adalah kesempatan untuk belajar, dan setiap langkah evakuasi adalah pengingat bahwa manusia harus selalu rendah hati di hadapan kekuatan alam. Bergerak sekarang, atau menyesal selamanya.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan