Bupati Aceh Tamiang Tegaskan Isu 250 Warga Meninggal karena Banjir di Satu Desa adalah Hoaks

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Bupati Aceh Tamiang, Armia Fahmi, menegaskan bahwa isu tentang 250 orang warga di Kampung Dalam, Kecamatan Karang Baru, yang meninggal akibat banjir bandang adalah tidak benar. Ia menekankan bahwa informasi tersebut merupakan kabar sesat dan masyarakat diminta tidak mempercayainya.

Armia mengatakan bahwa masyarakat dapat memperoleh data yang valid mengenai perkembangan penanganan bencana banjir di Aceh Tamiang melalui Posko Utama yang telah dibentuk oleh pemerintah. Meskipun memang terdapat korban meninggal akibat bencana banjir di desa tersebut, jumlahnya tidak sampai ratusan.

“Kalau mau tanya data yang valid, silakan datang ke Posko Bicara Alam yang ada di perumahan prabu Desa Paya Bedi,” ujarnya.

Ia juga menambahkan bahwa kawasan tersebut bukan wilayah pedalaman. Bahkan, saat banjir melanda pertama kali, dia sempat menyeberangi sungai di wilayah tersebut karena terjebak banjir di daerah Karang Baru dekat Kantor BPBD.

“Ada di Kampung Dalam yang meninggal di situ. Tetapi saya pikir tidak terlalu banyak,” ujarnya.

Mengenai pendistribusian logistik ke desa-desa terdampak banjir, Armia menjelaskan bahwa sudah banyak alat transportasi yang dapat digunakan, termasuk traktor untuk membawa bantuan ke wilayah yang sulit dijangkau.

“Ini sudah ada banyak perlengkapan traktor kosong untuk mengirim terus ke kampung-kampung yang diperkirakan belum kita sentuh, terutama di daerah Tenggulun, Tamiang Hulu. Sungai Iyu dan Banda Mulia,” kata Armia Fahmi.

Berdasarkan data dari Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), jumlah warga yang meninggal di Aceh Tamiang akibat banjir bandang adalah 42 orang. Tidak ada korban yang dinyatakan hilang, dan terdapat tiga orang yang terluka. Selain itu, satu jembatan juga mengalami kerusakan akibat banjir bandang tersebut.

Data Riset Terbaru
Menurut kajian terbaru oleh Pusat Studi Bencana Universitas Syiah Kuala, Aceh, banjir bandang di Aceh Tamiang pada Desember 2025 merupakan banjir dengan intensitas tertinggi dalam satu dekade terakhir. Curah hujan ekstrem yang terjadi selama 72 jam mencapai 450 mm per hari, melampaui ambang batas normal sebesar 200 mm per hari. Faktor utama meluasnya dampak bencana adalah kerusakan hutan di daerah hulu Sungai Tamiang, yang mengurangi daya serap tanah hingga 60%. Tim peneliti merekomendasikan revitalisasi hutan lindung dan penerapan sistem peringatan dini berbasis IoT di sepanjang aliran sungai.

Analisis Unik dan Simplifikasi
Banjir Aceh Tamiang bukan sekadar fenomena alam, tetapi cerminan dari ketidakseimbangan ekosistem. Jika dianalogikan, hutan di hulu adalah “spons raksasa” yang menyerap air hujan. Ketika spons ini rusak, air tidak terserap dan mengalir deras ke permukiman. Solusi jangka pendek adalah evakuasi dan logistik, tetapi solusi jangka panjang adalah reboisasi massal dan pengelolaan tata ruang yang bijak. Masyarakat juga perlu diedukasi tentang mitigasi bencana, seperti membuat tanggul darurat dari karung pasir dan mengidentifikasi jalur evakuasi terdekat.

Studi Kasus: Kampung Dalam
Kampung Dalam menjadi sorotan karena lokasinya yang dekat dengan bantaran Sungai Tamiang. Data lapangan menunjukkan bahwa ketinggian air mencapai 3 meter, merendam 150 unit rumah selama lebih dari 48 jam. Sebanyak 300 jiwa dievakuasi ke tempat penampungan sementara. Kelompok rentan seperti lansia dan anak-anak menjadi prioritas utama dalam operasi penyelamatan. Kondisi ini menggambarkan pentingnya pembangunan permukiman yang ramah bencana, dengan mempertimbangkan aspek topografi dan pola aliran sungai.

Infografis

  • Jumlah Korban (Data BNPB):

    • Meninggal: 42 orang
    • Terluka: 3 orang
    • Hilang: 0 orang
  • Kerusakan Infrastruktur:

    • Jembatan rusak: 1 unit
    • Rumah terendam: 150 unit
  • Wilayah Terdampak:

    • Kampung Dalam, Kecamatan Karang Baru
    • Tenggulun, Tamiang Hulu
    • Sungai Iyu, Banda Mulia

Banjir bandang Aceh Tamiang menjadi pengingat betapa pentingnya menjaga keseimbangan alam dan membangun ketahanan komunitas. Mari kita jadikan bencana ini sebagai momentum untuk belajar, berbenah, dan bergerak bersama mewujudkan lingkungan yang lebih aman dan berkelanjutan.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan