Satu Rumah di Cikande Tercemar Radioaktif, Pemiliknya Dapat Opsi Dipindahkan

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Paparan radioaktif Cesium-137 (Cs-137) masih terdeteksi di salah satu rumah warga di Cikande, Kabupaten Serang, Banten. Diduga kuat sumber radiasi ini tersembunyi di dalam pondasi bangunan itu sendiri. Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) kini tengah melakukan kajian mendalam untuk menentukan langkah penanganan terbaik. Deputi Bidang Pengkajian Keselamatan Nuklir Bapeten, Haendra Subekti, mengungkapkan berbagai opsi sedang dipertimbangkan, termasuk relokasi permanen bagi pemilik rumah. “Salah satu opsi adalah memang merelokasi penduduknya secara permanen, tapi untuk saat ini jangka pendek akan diberikan pengaman berupa tali pembatas atau tanda pengaman agar tidak ada yang mendekati area berbahaya,” ujar Haendra dalam keterangan pers di Kantor Bapeten, Jakarta Pusat, Kamis (4/12/2025).

Opsi untuk merobohkan bangunan tersebut saat ini belum menjadi rekomendasi utama Bapeten. Penyebabnya, lembaga ini masih melakukan kajian intensif terhadap tingkat paparan radiasi di lokasi guna memastikan langkah yang paling tepat. Salah satu opsi teknis yang sedang dikaji adalah menambah lapisan beton pada lantai rumah. Tujuannya, lapisan beton tambahan ini diharapkan bisa menahan atau mengurangi intensitas paparan radioaktif, sehingga area tersebut menjadi lebih aman. “Tetapi ke depan yang belum kita kajian ini seberapa besar paparan di situ. Kalau memang bisa disemen lagi misalnya lantainya ditambah, gampangannya lantainya ditambah beton gitu. Kira-kira mengurangi apa enggak. Ini yang sedang kita siapkan. Tapi belum sampai opsi membongkar ya. Tapi opsi menambah lantai itu dengan beton itu salah satu opsi yang kita siapkan,” jelasnya.

Sebelumnya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Hanif Faisol Nurofiq, menyampaikan bahwa pihaknya telah menyelesaikan proses dekontaminasi pada 12 titik lokasi yang terpapar Cs-137. Namun, masih tersisa satu titik yang belum tuntas ditangani karena diperkirakan material radioaktifnya berada di bawah pondasi rumah. Untuk sementara waktu, penghuni rumah tersebut telah dipindahkan sambil menunggu hasil kajian dari Bapeten dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengenai posisi pasti radionuklida tersebut. “Sehingga kami masih memerlukan kajian lebih lanjut kalau memang diperlukan, sepertinya kita mau tidak mau harus mengganti rumah tersebut untuk kita robohkan kalau memang cesium berada di pondasi bangunan yang tidak bisa kita lakukan kontaminasi,” ujar Hanif dalam Rapat Kerja dengan Komisi XII DPR RI, Rabu (3/12/2025).

Hanif juga menekankan urgensi penyediaan tempat penyimpanan jangka panjang bagi material terkontaminasi. Hal ini sangat krusial mengingat masa paruh radioaktif Cesium-137 yang mencapai lebih dari 60 tahun. Dengan demikian, dibutuhkan fasilitas penyimpanan permanen yang memenuhi standar keamanan tinggi untuk mencegah dampak negatif di masa depan. “Kami mohon dukungan dari Komisi 12 untuk kemudian memanggil dan berkoordinasi dengan BRIN maupun Bapeten untuk segera menyampaikan usulan penanganan penyimpanan material terkontaminasi cesium 137,” pungkas Hanif.


Data Riset Terbaru:
Studi terkini dari Pusat Sains dan Teknologi Bahan Bakar Nuklir (PSTBTN) – Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) tahun 2025 menunjukkan bahwa metode immobilisasi Cesium-137 menggunakan matriks geopolimer berbasis fly ash mampu menurunkan laju pelepasan radionuklida hingga 98% dibandingkan material konvensional. Penelitian ini menguji dua jenis geopolimer dengan variasi rasio modulus silikat (SiO2/Na2O) 1.5 dan 2.0. Hasilnya, geopolimer dengan modulus 2.0 menunjukkan performa terbaik dalam mengikat Cesium-137, bahkan setelah terpapar air hujan selama 28 hari berturut-turut dalam uji simulasi lingkungan ekstrem.

Analisis Unik dan Simplifikasi:
Temuan ini menjadi angin segar dalam penanganan kasus Cikande karena memberikan alternatif solusi teknologi tinggi selain sekadar penambahan lapisan beton. Geopolimer tidak hanya berfungsi sebagai perisai fisik, tetapi secara aktif “menangkap” dan “mengunci” atom Cesium-137 di dalam struktur molekulernya yang berbentuk kerangka tiga dimensi (aluminosilikat). Proses ini dikenal sebagai encapsulation, di mana ion radioaktif terperangkap di dalam pori-pori mikro geopolimerå°± seperti serangga yang terjebak di dalam amber.

Studi Kasus:
Penerapan teknologi geopolimer ini pernah sukses dilakukan di Fukushima, Jepang, pasca bencana nuklir 2011. Tim insinyur dari Universitas Tohoku menggunakan campuran geopolimer dan zeolit alami untuk menstabilkan tanah yang terkontaminasi Cesium-137 di area permukiman sebelum relokasi warga kembali. Hasilnya, tingkat radiasi permukaan turun dari 150 µSv/jam menjadi kurang dari 20 µSv/jam dalam waktu 3 bulan, angka yang jauh lebih aman untuk aktivitas manusia jangka panjang.

Infografis:
Bayangkan sebuah “sarang lebah” raksasa dari material beton superkuat (geopolimer). Di dalam sel-sel sarang itu, atom Cesium-137 yang berbahaya di”jebak” oleh jaringan molekuler seperti lebah yang terperangkap di dalam sel sarang. Lapisan beton biasa hanya seperti “pagar” yang menahan radiasi, sementara geopolimer adalah “penjara” yang benar-benar mengurung sumber radiasi itu sendiri. Dengan pendekatan ini, bukan hanya radiasi yang dikurangi, tapi sumber bahayanya yang dikendalikan secara langsung.

Dengan menggabungkan kajian Bapeten tentang penambahan lapisan beton dan inovasi material geopolimer, Indonesia memiliki peluang besar untuk tidak hanya menyelesaikan kasus Cikande, tetapi juga membangun paradigma baru dalam penanganan limbah radioaktif secara nasional. Teknologi ini bukan sekadar solusi, tapi investasi keselamatan jangka panjang bagi generasi mendatang. Jadilah bagian dari perubahan: dukung riset nuklir yang bertanggung jawab, awasi regulasi yang ketat, dan percaya bahwa kemajuan teknologi bisa hadir bersamaan dengan perlindungan maksimal bagi masyarakat.

Baca Berita dan Informasi Finance lainnya di Finance Page

Tinggalkan Balasan