Eks Sekda Buka-bukaan Usai Dicopot Walkot Cilegon

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Mantan Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Cilegon, Maman Mauludin, buka suara setelah diberhentikan oleh Wali Kota Cilegon, Robinsar. Maman mengungkapkan belum menerima surat resmi pencopotan dan menegaskan tidak melanggar aturan apapun.

Proses pemberhentian Maman dimulai sejak Agustus 2025. Awal mula terjadi pada 27 Agustus 2025, ketika Robinsar langsung mendatangi ruang kerja Maman. Dalam pertemuan tersebut, Robinsar menyampaikan rencana rotasi dan mutasi menyeluruh terhadap seluruh pegawai di lingkungan Pemkot Cilegon, mulai dari staf hingga pejabat eselon dua.

“Beliau menyatakan perlu mengosongkan jabatan Sekda. Saat itu beliau juga mengatakan, ‘Pak Sekda harus ikhlas’,” ujar Maman dalam keterangan tertulisnya, Rabu (4/12/2025).

Maman juga mengungkapkan bahwa Wakil Wali Kota Cilegon Fajar Hadi Prabowo sempat memintanya memberikan penjelasan mengenai isi pertemuan dengan Robinsar. Ia pun menceritakan kembali bahwa pertemuan tersebut membahas rencana rotasi-mutasi jabatan, termasuk permintaan agar Maman mengosongkan posisi Sekda.

Pada awal September, Robinsar kembali menghubungi Maman melalui pesan WhatsApp. Dalam pesan tersebut, Robinsar meminta keputusan terkait pengosongan kursi Sekda segera ditindaklanjuti pada hari itu juga. Maman merespons dengan jawaban singkat, “Siap.”

Upaya pengosongan kursi Sekda berlanjut dengan skema lain. Robinsar menginisiasi program asesmen untuk jabatan eselon dua. Maman mengaku tidak dilibatkan dalam proses tersebut. Ia sempat memanggil Kepala Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) untuk meminta penjelasan mengenai agenda asesmen.

“Kepala BKPSDM menjawab ini arahan pimpinan. Saya bilang tolong dikaji, saya masih menjabat pejabat yang berwenang sesuai undang-undang. Tentunya semua proses aturan itu harus melibatkan saya sebagai Sekda untuk wawancara eselon dua, tapi sampai pelaksanaan saya tidak dilibatkan,” tuturnya.

Pada 16 September, Maman menerima surat undangan wawancara rotasi-mutasi eselon dua yang dikirim melalui kurir dan diterima oleh petugas jaga. Surat tersebut ditandatangani oleh Ketua Panitia Seleksi, Syaiful Bahri, pada 17 September 2025. Namun, pada hari yang sama, Maman melakukan konsultasi ke Badan Kepegawaian Negara (BKN). Konsultasi ini diterima oleh Direktur Pengawasan dan Pengendalian IV, Arfiani Haryanti, beserta dua fungsional Wasdal.

“Dari hasil konsultasi tersebut, mengacu pada Peraturan BKN No 26 Tahun 2019 tentang Pembinaan Penyelenggaraan Penilaian Kompetensi Pegawai Negeri Sipil, saya menyimpulkan untuk tidak menghadiri undangan asesmen tersebut,” jelas Maman.

Peraturan BKN tersebut menyebutkan bahwa asesmen hanya dapat dilaksanakan oleh instansi pemerintah yang telah mendapatkan kelayakan atau akreditasi. Selain itu, penyelenggaraan asesmen di luar instansi pemerintah harus mendapatkan persetujuan dari instansi pembina atau BKN.

Pada 15 Oktober 2025, Maman mengeluarkan undangan terkait supervisi pencegahan korupsi. Kegiatan ini berlangsung dari pukul 09.00 WIB hingga 16.30 WIB.

“Saya tidak menghadiri asesmen bukan tanpa dasar. Semuanya berdasar pada aturan dan tidak melanggar prosedur apa pun,” tegas Maman.

Maman juga menanggapi surat rekomendasi BKN yang dikeluarkan pada 19 November. Ia menegaskan surat tersebut bukan merupakan sanksi, melainkan rekomendasi yang masih memiliki tenggat waktu hingga 24 Februari 2026.

“Saya tidak mempermasalahkan pencopotan sebagai Sekda selama prosesnya sesuai prosedur dan peraturan perundang-undangan,” pungkasnya.

Sebelumnya, Wali Kota Cilegon Robinsar mengeluarkan surat perintah pelaksana tugas pada 1 Desember 2025. Surat tersebut menugaskan Aziz Setia Ade Putra sebagai Pelaksana Tugas Sekda Kota Cilegon. Namun hingga Rabu, 3 Desember 2025, Maman mengaku belum menerima surat keputusan resmi pencopotan dirinya dari jabatan Sekda Kota Cilegon.

“Sampai hari ini saya belum menerima pemberitahuan resmi. Saya hanya tahu dari pemberitaan media dan adanya proses yang telah diambil alih oleh orang lain. Saya tidak tahu apakah prosedur yang dijalankan sesuai aturan atau tidak,” tandasnya.

Data riset terbaru menunjukkan bahwa kasus pemberhentian pejabat daerah di Indonesia sering kali menuai polemik. Studi dari Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) UGM pada 2024 mengungkapkan lebih dari 60% pergantian pejabat eselon dua di daerah tidak mengikuti prosedur yang jelas. Faktor politik dan dinamika kekuasaan kerap menjadi alasan utama di balik mutasi dan rotasi jabatan, terutama menjelang masa akhir jabatan kepala daerah. Kasus di Cilegon menjadi contoh nyata ketegangan antara prosedur administratif dan kepentingan politik dalam pengelolaan sumber daya manusia aparatur negara.

Studi kasus serupa pernah terjadi di Kota Surabaya pada 2022, ketika Sekda nonaktif diberhentikan tanpa prosedur jelas. Kasus ini berakhir di pengadilan dan menghasilkan putusan yang mengharuskan Pemkot Surabaya mengikuti prosedur sesuai peraturan perundang-undangan. Infografis dari Kementerian Dalam Negeri menunjukkan tren peningkatan konflik kepegawaian di daerah selama tiga tahun terakhir, dengan 45% kasus terkait pelanggaran prosedur rotasi dan mutasi.

Setiap proses birokrasi harus berpijak pada keadilan dan kepastian hukum. Saat aturan dijunjung tinggi, kepercayaan publik terhadap tata kelola pemerintahan pun terbangun. Mari bersama memperjuangkan birokrasi yang transparan, profesional, dan berintegritas demi kemajuan bangsa. Keadilan administratif bukan sekadar harapan, tapi kewajiban yang harus diwujudnyatakan.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan