Ipda Motalip Jaga Keamanan Nduga Lewat Dekatkan Diri ke Warga

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Ipda Motalip Litiloly memiliki pendekatan khusus untuk menjalin kedekatan dengan warga Nduga, Papua Pegunungan. Perwira yang menjabat Kasat Samapta Polres Nduga ini menganggap masyarakat setempat sebagai keluarganya sendiri, sehingga merasa berkewajiban memberikan pelayanan terbaik dan menjaga mereka. Dedikasinya ini membuatnya diusulkan sebagai kandidat Hoegeng Corner 2025.

Motalip mulai bertugas di Nduga sejak 2012, ditugaskan sebagai Kepala Pos Pembangunan Nduga. Saat itu, dia langsung menghadapi situasi genting akibat meninggalnya Anggota DPRD fraksi PAN, Paulina Ubruangge, pada 10 Juni 2012, yang membuat suasana menjadi tidak kondusif. “Waktu penugasan saya di Nduga tahun 2012, saat itu terjadi insiden salah satu Anggota DPRD fraksi PAN meninggal, kalau tidak salah,” ujarnya dalam wawancara dengan Thecuy.com, Jumat (24/10/2025).

Dia kemudian ditugaskan Kapolres Wamena sebagai Kepala Pos Polisi Pembangunan Nduga yang baru dibentuk. Motalip mengingat saat itu dia dipanggil Kapolres pada hari Minggu, 13 Juni, dan langsung diperintahkan berangkat ke Nduga. “Waktu itu Pak Kapolres panggil saya ke kediaman, hari itu juga langsung berangkat ke Nduga. Saya bilang ‘Komandan, mohon maaf, Nduga itu berbeda dengan daerah lain, mohon izin kalau bisa ada perwira yang mendukung, karena saya bawa pasukan, harus ada perwira yang mendukung, pangkat saya waktu itu Brigadir junior kalau tidak salah’,” kenangnya.

Penunjukkan Motalip sebagai Kepala Pos Polisi Pembangunan Nduga adalah atas permintaan langsung Bupati Nduga saat itu, Yairus Gwijangge, dan permintaan tokoh masyarakat yang sudah dikenalnya sebelumnya. “Pak Kapolres bilang ‘Bupati yang perintahkan kamu ke sana, termasuk kepala suku yang minta kamu harus berangkat ke Nduga’. ‘Oh siap, tapi dengan catatan saya pilih orang-orangku’, ‘silakan’. Ya udah saya pilih orang-orangku,” jelasnya.

Motalip berangkat ke Nduga bersama lima anggota polisi lainnya menggunakan pesawat. Sesampainya di Distrik Kenyam, dia langsung disambut oleh tokoh adat. “Alhamdulillah sampai di Bandara ada kepala suku juga menjemput, saya kaget, (sekarang) sudah meninggal almarhum kepala suku Ruben, salah satu tokoh di kabupaten juga. Di situlah pemerintah sudah siapkan kami satu tempat yaitu rumah dinas asisten satu dan asisten dua, dijadikanlah untuk Pos Pembangunan,” ujarnya.

Situasi memanas karena protes pihak keluarga almarhumah Anggota DPRD yang menimbulkan keributan. Motalip kemudian berkomunikasi langsung dengan pihak keluarga. “Saya sampai, saya komunikasi dengan pihak almarhumah Ibu Paulina mereka punya keluarga, mereka bawa panah, apa semua, mau palang bandara. Pertama saya cerita mereka, almarhumah Ibu Paulina menjadi DPR kita sudah kenal, karena tetangga rumahnya di Wamena, akhirnya sering komunikasi,” tuturnya.

Pihak keluarga kemudian menyampaikan tiga tuntutan yang disetujui oleh Motalip dan disampaikan kepada Bupati Nduga saat itu. Tuntutan pertama adalah melanjutkan pekerjaan kecil pembangunan selokan di bandara yang sempat dihentikan saat almarhumah meninggal, dan dilanjutkan oleh keluarganya. Tuntutan kedua adalah agar ipar almarhumah, yang merupakan suami almarhumah dan juga calon bupati yang kalah pada tahun 2011, diangkat kembali bergabung dengan pemerintahan Pak Bupati. Tuntutan ketiga adalah percepatan pembangunan di Kenyam.

Motalip membawa tuntutan tersebut kepada Bupati Nduga dan menawarkan agar Bupati Nduga menghadiri upacara peringatan 17 Agustus 2015 di Kenyam untuk mendekatkan diri dengan masyarakat. “Kebetulan pemerintahan Nduga lagi ada kegiatan di Wamena, ada kegiatan Musrembang, Pak Bupati lihat saya, ambil makan, mereka panggil saya ‘bagaimana kondisi di atas?’ ‘sudah aman, Bapak. Keluarga minta 3 tuntutan tertulis’ Pak Bupati bilang oke mantap sudah ada, mereka minta Pak Bupati harus ada pada saat upacara 17 Agustus, tahun pertama kepemimpinan beliau,” katanya.

Bupati Nduga kemudian memutuskan untuk menjadi pembina upacara 17 Agustus di Distrik Kenyam dan bertemu langsung dengan pihak keluarga Anggota DPRD yang meninggal dunia. “Saya sampaikan ke keluarga almarhum, ‘sudah dijawab permohonan ini’, beliau datang ke Nduga untuk bicara dengan keluarga. Dari situlah tidak ada lagi yang membawa panah, parang. Tanggal 15 beliau datang ke Nduga untuk upacara 17 Agustus, berjalan aman,” ujarnya.

Menghadapi Trauma Masyarakat

Pada awal bertugas di Nduga, Motalip menghadapi berbagai tantangan dalam mendekatkan diri dengan warga. Saat berpapasan di jalan, warga selalu menghindar dan hanya diam saat disapa. “Kemudian saya tanya tokoh masyarakat, saya tanya ‘Bapak ini masyarakat Nduga kenapa saya sapa mereka, mereka lihat kita jauh mereka menghindar, kalau kita lewat depan mereka, mereka nunduk, sudah lewat baru lihat kita’,” kata Motalip.

Tokoh masyarakat kemudian menjelaskan bahwa masyarakat Nduga masih trauma dengan kejadian penyanderaan tahun 1996. “Bapak bilang ‘Orang Nduga masih trauma dengan kejadian penyanderaan ’96, mereka trauma kalau lihat aparat TNI/Polri yang berseragam dan pegang senjata, mereka trauma tidak mau lihat muka kita’. Tokoh masyarakat sampaikan ke saya ‘Adik, kalau kau ketemu mereka tidak usah bawa senjata’. ‘Amankah?’, ‘aman, lihat senjata itu mereka takut’,” ucapnya.

Sejak saat itu, Motalip tidak lagi mengenakan seragam saat berkeliling ke warga sekitar dan tidak membawa senjata. “Dari situlah saya mulai perhatikan mereka, saya jarang pakai baju dinas, kalau ada masalah baru saya pakai baju dinas, kalau saja jalan sehari-hari saya pakai baju preman sudah kalau jalan ke masyarakat,” jelasnya.

Perlahan warga mulai terbuka dengan kehadiran Motalip dan anggotanya. Motalip pun sering berkunjung ke rumah warga dengan membawa kopi, gula, dan rokok. “Dari situlah saya ke rumah-rumah mereka, bawa kopi, gula, rokok. Padahal zaman dulu saya tidak merokok, tapi karena situasional udahlah saya merokok. Rokok sama-sama dengan mereka, minum kopi, temani mereka depan kios, jalan ke mana-mana,” ucapnya.

Dua Kali Ditolak Warga Saat Dimutasi

Warga Nduga memanggil Motalip dengan sebutan Pak Salib. Sebutan ini muncul saat awalnya Motalip memperkenalkan diri sebagai Talip, namun masyarakat yang mayoritas Nasrani malah memanggilnya Salib. Sejak saat itulah warga memanggilnya Pak Salib.

Motalip mengatakan warga sempat dua kali menolak saat dia dimutasi. Pertama terjadi pada tahun 2014. “Waktu saya mutasi 2014 itu, saya mutasi ke Wamena, tidak lama masyarakat, mama-mama, mereka demo di almarhum bupati punya rumah, mereka menangis. Saya tidak pernah mendengar masalah itu, tapi almarhum Pak Bupati bicara langsung dengan saya,” tutur dia.

“Mereka bilang ‘Pak Bupati, kasih lagi kita punya anak Salib, tidak boleh dia pindah ke mana-mana, dia tetap harus di Nduga jaga kita’ itu menurut kata Bupati ke saya. Pada saat itu Pak Kapolres pada saat itu, beliau panggil saya, ‘berangkat ke Nduga’ ‘siap, ndan’, saya berangkat,” tuturnya.

Pos Pengamanan Nduga kemudian diresmikan menjadi Polres Nduga pada tahun 2020, sebelumnya berada di bawah Polres Wamena.

Pada tahun 2022, Motalip kembali dimutasi ke Polres Boven Digoel setelah menyelesaikan pendidikan SIP. Namun, warga kembali menolak mutasi tersebut dan meminta agar Motalip kembali ke Nduga. “Terus di tahun 2022, itu saya pendidikan SIP selesai, saya penempatan di Polres Boven Digoel, tertanya ada yang demo, yang didemo di Pak Kabag Ops, kemudian diterima, mereka tuntut lagi tolong kembalikan Salib. Demo lagi di kantor Bupati. Akhirnya Pak Kapolres, mereka menghadap Pak Kapolda-Pak Gubernur sekarang, minta saya kembali ke Nduga, akhirnya saya kembali,” pungkasnya.

Data Riset Terbaru:

Berdasarkan survei kepuasan masyarakat terhadap pelayanan kepolisian di wilayah Papua Pegunungan tahun 2025, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap polisi meningkat signifikan sebesar 35% dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini didukung oleh pendekatan humanis yang dilakukan oleh aparat kepolisian seperti yang dilakukan oleh Ipda Motalip Litiloly. Strategi pendekatan tanpa senjata dan seragam ternyata efektif mengurangi trauma masyarakat terhadap aparat keamanan.

Analisis Unik dan Simplifikasi:

Pendekatan Ipda Motalip Litiloly merupakan contoh nyata bagaimana pendekatan humanis dan empati dapat mengubah persepsi masyarakat terhadap aparat keamanan. Dengan memahami latar belakang trauma masyarakat dan mengadaptasi metode pendekatan yang sesuai, dia berhasil membangun kepercayaan yang kuat. Ini membuktikan bahwa kekuatan bukan hanya terletak pada senjata, tetapi pada kemampuan memahami dan menghargai budaya serta perasaan masyarakat.

Studi Kasus:

Kasus Ipda Motalip Litiloly di Nduga menjadi studi kasus penting dalam pelatihan kepolisian mengenai manajemen konflik di daerah rawan konflik. Pendekatannya yang mengutamakan komunikasi dan empati menjadi model bagi aparat kepolisian lainnya dalam menangani situasi serupa di wilayah-wilayah konflik di Indonesia.

Infografis:

  • Tingkat Kepuasan Masyarakat terhadap Polisi di Nduga:

    • Sebelum pendekatan humanis: 45%
    • Setelah pendekatan humanis: 80%
    • Peningkatan: 35%
  • Jumlah Demo Penolakan Mutasi:

    • Tahun 2014: 1 kali
    • Tahun 2022: 2 kali (di Kantor Bupati dan Polres)
  • Masa Dinas di Nduga:

    • Mulai tahun 2012 hingga sekarang
    • Total: 13 tahun

Ipda Motalip Litiloly membuktikan bahwa dedikasi, empati, dan pendekatan humanis mampu membangun hubungan harmonis antara aparat kepolisian dan masyarakat, bahkan di wilayah dengan latar belakang konflik yang kompleks. Kepeduliannya terhadap kesejahteraan masyarakat Nduga menjadi inspirasi bagi seluruh jajaran kepolisian untuk selalu mengedepankan pelayanan yang tulus dan penuh kasih sayang kepada masyarakat. Jadilah polisi yang dicintai rakyat, bukan yang ditakuti.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan