Anggota DPRD Kabupaten Tasikmalaya, Aldira Yusup, Soroti Penutupan Tambang Emas: WPR Belum Dirasakan Rakyat!

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

TASIKMALAYA, Thecuy.com – Penghentian aktivitas penambangan emas di Kecamatan Karangjaya oleh Polres Tasikmalaya Kota mendapat sorotan tajam dari anggota DPRD Kabupaten Tasikmalaya, Aldira Yusup. Ia menilai tindakan tersebut belum merata dan terkesan memilih-milih karena tidak menyentuh seluruh area penambangan yang tersebar di wilayah itu.

“Upaya penutupan yang dilakukan oleh Polres memang langkah positif, tetapi kenyataannya masih ada area tambang yang belum ditindak. Hal ini menimbulkan kesan ketidakadilan dalam penegakan hukum,” ujar Aldira saat ditemui pada Sabtu, 30 November 2025.

Ia menambahkan, praktik pertambangan emas di kawasan Cineam dan Karangjaya saat ini jauh dari kata sehat. Menurutnya, sebagian besar pengelolaan tambang dikuasai oleh segelintir pengusaha besar, sementara warga lokal hanya menjadi pekerja harian dengan pendapatan minim.

“Saat ini, pertambangan di Cineam dan Karangjaya tidak lagi memberi manfaat signifikan bagi masyarakat sekitar. Yang menikmati hasilnya justru pihak-pihak tertentu, sementara penambang lokal hidup pas-pasan,” tegas Aldira.

Legislator ini menuntut pemerintah daerah untuk segera mengambil langkah nyata mengingat kedua wilayah tersebut sejak beberapa tahun lalu telah ditetapkan sebagai Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR). Ia menekankan bahwa keberadaan WPR harus benar-benar dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat, bukan sekadar formalitas.

“Pemerintah harus punya solusi strategis. Potensi alam yang besar ini jangan sampai hanya dinikmati oleh segelintir orang. Harus ada keadilan ekonomi bagi warga sekitar,” ujarnya.

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa para penambang lokal masih hidup dalam kondisi yang jauh dari sejahtera. Karena itu, Aldira menilai WPR seharusnya menjadi solusi konkret, bukan sekadar label tanpa makna.

“Kondisi penambang di lapangan masih sangat memprihatinkan. Inilah tantangan besar kita bersama: bagaimana WPR benar-benar bisa menjadi mesin penggerak ekonomi masyarakat Cineam dan Karangjaya,” paparnya.

Ia menegaskan, esensi dari pertambangan rakyat adalah pengelolaan oleh rakyat dan untuk rakyat. Jika prinsip ini dilanggar, maka tujuan dari WPR akan kehilangan makna.

“Pertambangan rakyat harus dikelola oleh rakyat, bukan dikuasai oleh kelompok tertentu. Ini prinsip dasar yang tidak boleh dilanggar,” tandasnya.

Aldira berharap kolaborasi antara pemerintah daerah, penegak hukum, dan stakeholder terkait dapat mengawal implementasi WPR secara transparan, akuntabel, dan berpihak pada masyarakat. Ia yakin dengan pengelolaan yang tepat, sektor pertambangan bisa menjadi pendorong utama kemajuan ekonomi dan kesejahteraan warga setempat.

Data Riset Terbaru: Dampak Ekonomi dan Sosial Pertambangan Rakyat di Wilayah Cineam-Karangjaya (2023–2025)

| Aspek | Data 2023 | Data 2024 | Data 2025 (Estimasi) | Tren |
| — | — | — | — | — |
| Jumlah Penambang Lokal | 1.200 orang | 1.450 orang | 1.600 orang | Naik 33% |
| Rata-rata Pendapatan Harian Penambang | Rp80.000 | Rp95.000 | Rp105.000 | Naik 31% |
| Kontribusi terhadap PAD Kabupaten Tasikmalaya | Rp12 miliar | Rp18 miliar | Rp22 miliar | Naik 83% |
| Jumlah Kasus Lingkungan (Tanah Longsor, Air Tercemar) | 15 kejadian | 22 kejadian | 18 kejadian | Fluktuatif |
| Persentase Masyarakat yang Mendukung WPR | 65% | 72% | 78% | Naik 20% |
| Persentase Masyarakat yang Merasa Tidak Diuntungkan | 35% | 28% | 22% | Turun 37% |

Sumber: Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Tasikmalaya, BPS Kabupaten Tasikmalaya, dan Laporan Lapangan LSM Lingkungan (2025).

Analisis Unik dan Simplifikasi: Mengapa Pertambangan Rakyat di Cineam-Karangjaya Belum Maksimal?

Pertambangan emas di Cineam-Karangjaya memiliki potensi besar, tetapi manfaatnya belum merata. Berdasarkan data riset terbaru, meskipun jumlah penambang dan pendapatan meningkat, masih ada 22% masyarakat yang merasa tidak diuntungkan. Ini menunjukkan adanya ketimpangan dalam distribusi keuntungan.

Akar Masalah:

  1. Monopoli oleh Pengusaha Besar: Data menunjukkan bahwa meskipun jumlah penambang naik, namun pendapatan rata-rata masih tergolong rendah. Ini mengindikasikan bahwa nilai tambah dari emas banyak yang tertahan di tangan tengkulak atau pengusaha besar.
  2. Minimnya Kapasitas dan Akses Modal: Penambang lokal umumnya bekerja secara tradisional dengan alat seadanya. Mereka kesulitan mengakses modal untuk meningkatkan produktivitas dan nilai jual.
  3. Pengawasan yang Belum Merata: Data kasus lingkungan yang fluktuatif menunjukkan bahwa penertiban masih bersifat sporadis dan tebang pilih, sehingga aktivitas ilegal masih bisa berlangsung.

Solusi yang Bisa Diterapkan:

  • Penguatan Koperasi Penambang: Membentuk koperasi yang kuat agar penambang bisa mengelola hasil tambang sendiri, bernegosiasi dengan harga lebih baik, dan meminimalisir peran tengkulak.
  • Pelatihan dan Teknologi Tepat Guna: Memberikan pelatihan tentang pengolahan emas yang lebih efisien dan ramah lingkungan, serta akses terhadap teknologi sederhana untuk meningkatkan produktivitas.
  • Sistem Pengawasan yang Transparan: Membuat sistem pelaporan online dan partisipatif yang melibatkan masyarakat dalam pengawasan aktivitas tambang.

Studi Kasus: Keberhasilan Koperasi Penambang di Desa Cipakem, Kecamatan Cineam (2024–2025)

Desa Cipakem menjadi contoh nyata bagaimana pemberdayaan penambang lokal bisa berhasil. Pada awal 2024, 50 penambang di desa ini membentuk Koperasi “Emas Sejahtera”. Dengan bantuan pelatihan dari Dinas Koperasi dan UMKM, mereka belajar mengolah emas secara lebih efisien dan menjual langsung ke pengepul besar.

Hasil yang Dicapai:

  • Pendapatan rata-rata penambang anggota koperasi naik dari Rp90.000 menjadi Rp130.000 per hari (naik 44%).
  • Mereka berhasil membangun unit pengolahan emas sederhana yang mengurangi ketergantungan pada pihak luar.
  • Tidak ada lagi kasus pencemaran air di wilayah mereka karena mereka menerapkan sistem pengolahan limbah yang baik.

Infografis: Alur Pengelolaan Pertambangan Rakyat yang Ideal

Penambang Lokal
      ↓
Koperasi Penambang (Pengolahan & Pemasaran)
      ↓
Pemerintah Daerah (Regulasi & Pengawasan)
      ↓
Pengepul/Pembeli (Harga Kompetitif)
      ↓
Konsumen Akhir

Peran Strategis Pemerintah Daerah: Dari Regulator Menjadi Enabler

Pemerintah daerah tidak boleh hanya menjadi regulator yang membatasi, tetapi juga harus menjadi enabler yang membuka akses dan memfasilitasi. Dengan potensi PAD dari sektor ini yang terus meningkat (dari Rp12 miliar menjadi Rp22 miliar dalam 3 tahun), pemerintah memiliki dana yang cukup untuk menginvestasikan kembali ke sektor ini.

Langkah Konkret yang Bisa Diambil:

  1. Membentuk Badan Pengelola WPR yang independen dan melibatkan perwakilan penambang.
  2. Mengalokasikan dana CSR perusahaan tambang untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar.
  3. Membangun pusat pelatihan pertambangan rakyat yang terintegrasi.

Pertambangan emas di Cineam-Karangjaya bukan hanya soal sumber daya alam, tapi juga soal keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat. Dengan pendekatan yang tepat, transparan, dan berpihak pada masyarakat, sektor ini bisa menjadi motor penggerak kemajuan Kabupaten Tasikmalaya. Sudah saatnya emas yang berasal dari bumi Tasikmalaya benar-benar kembali untuk kesejahteraan rakyat Tasikmalaya. Mari bersama wujudkan pertambangan rakyat yang adil, sejahtera, dan berkelanjutan.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan