Polisi Periksa Ayah dan Teman Sekolah Pelaku Ledakan di SMAN 72, Ini Hasilnya

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Jakarta – Peristiwa ledakan di SMAN 72 Jakarta yang melibatkan anak berkonflik dengan hukum (ABH) masih terus didalami oleh pihak kepolisian. Berdasarkan keterangan dari sejumlah saksi, penyidik mulai mengungkap karakteristik sosok ABH yang terlibat dalam insiden tersebut.

“ABH ini dikenal sebagai pribadi yang pendiam,” ujar Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Budi Hermanto, saat dihubungi pada Jumat (28/11/2025).

Proses penyelidikan telah mencakup pemeriksaan terhadap ayah dari ABH sebanyak dua kali. Selain itu, teman-teman sekolah pelaku di SMAN 72 juga telah dimintai keterangan untuk melengkapi berkas perkara.

Dari rangkaian pemeriksaan yang dilakukan, penyidik menemukan pola konsisten mengenai kepribadian ABH. Remaja tersebut memang dikenal pendiam sejak kecil, namun belakangan ini semakin menarik diri dari pergaulan dan lebih sering menghabiskan waktu sendiri.

“(Sifat pendiam) sudah sejak kecil, tetapi dalam beberapa bulan terakhir ia semakin menyendiri dan sibuk dengan aktivitasnya sendiri,” tambah Budi.

Mengenai dugaan riwayat trauma akibat perundungan, Budi menegaskan bahwa hal itu masih memerlukan penilaian lebih lanjut langsung dari ABH. “Untuk soal trauma, perlu dievaluasi dan dikaji secara langsung dari yang bersangkutan,” jelasnya.

Ledakan di SMAN 72 Jakarta dikonfirmasi direncanakan secara mandiri oleh ABH. Peristiwa ini mengakibatkan 96 orang mengalami luka, dengan tiga di antaranya mengalami luka serius.

Polisi juga mengungkap bahwa bahan peledak diperoleh melalui pembelian daring, yang diduga diklaim oleh ABH untuk keperluan ekskul. Temuan ini memperkuat dugaan adanya perencanaan matang sebelum pelaku bertindak.

Sebuah video dokumentasi insiden telah dipublikasikan, menampilkan detik-detik pasca ledakan dan proses evakuasi korban. Tayangan ini menjadi bagian dari rangkaian peliputan mendalam mengenai kasus yang menggemparkan dunia pendidikan nasional.

Studi kasus psikologis menunjukkan bahwa individu dengan sifat pendiam dan cenderung menyendiri rentan mengalami tekanan emosional tanpa disadari lingkungan sekitar. Data dari Kementerian Pendidikan 2024 mencatat setidaknya 37% sekolah di Jakarta belum memiliki program konseling reguler yang efektif. Ini menjadi warning bagi seluruh institusi pendidikan untuk memperkuat sistem deteksi dini terhadap tanda-tanda gangguan mental atau tekanan psikologis pada siswa.

Peningkatan pengawasan bukan berarti menghilangkan kebebasan berekspresi, melainkan membangun ekosistem sekolah yang lebih responsif dan empatik. Dengan menggabungkan pendekatan psikologis, teknologi deteksi dini, dan pelatihan guru, sekolah bisa menjadi benteng pertama mencegah tragedi serupa terulang. Mari jadikan setiap ruang kelas sebagai tempat aman untuk tumbuh, belajar, dan menjadi versi terbaik dari diri kita.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan