MK Menolak Gugatan Hakim Konstitusi yang Mempersoalkan Pemecatan Anggota DPR oleh Rakyat

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk menolak seluruh gugatan yang diajukan oleh sekelompok mahasiswa terhadap Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Gugatan ini mengincar Pasal 239 ayat (1) huruf c yang mengatur mekanisme pemberhentian anggota DPR. Dalam putusannya dengan nomor perkara 199/PUU-XXIII/2025 yang dibacakan pada Kamis (27/11/2025), MK secara tegas menolak permohonan para penggugat.

Keputusan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa sistem pemilu di Indonesia mengacu pada UUD 1945, khususnya Pasal 22E ayat (3), yang menegaskan bahwa peserta pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD hanyalah partai politik. Dengan demikian, MK berpendapat bahwa pemberhentian anggota DPR atau DPRD harus tetap berada dalam kewenangan partai politik sebagai bagian dari penerapan demokrasi perwakilan.

MK menilai bahwa usulan agar konstituen atau pemilih di daerah pemilihan diberi hak untuk mengusulkan pemberhentian anggota DPR tidak sesuai dengan konstitusi. Mekanisme semacam itu dinilai setara dengan mengadakan pemilu ulang di daerah pemilihan tertentu, yang justru berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum. Hal ini dikarenakan tidak dapat dipastikan lagi siapa saja pemilih yang dulu memberikan suaranya kepada anggota DPR yang akan diberhentikan.

Terhadap kekhawatiran pemohon bahwa pemberhentian oleh partai berpotensi menciptakan dominasi partai dan menggerus prinsip kedaulatan rakyat, MK menyatakan hal itu tidak terjadi. MK merujuk pada tiga putusan sebelumnya yang telah menegaskan bahwa partai politik tidak boleh sewenang-wenang dalam melakukan pergantian anggota DPR atau DPRD. Pemilih tetap memiliki ruang partisipasi, termasuk hak untuk mengajukan keberatan atau permintaan recall kepada partai politik terkait kinerja anggota DPR/DPRD yang dipilihnya. Di samping itu, dalam pemilu berikutnya, pemilih memiliki kesempatan untuk tidak memilih kembali anggota yang dianggap bermasalah.

Sebelumnya, gugatan ini diajukan oleh empat mahasiswa: Ikhsan Fatkhul Azis, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Muhammad Adnan. Mereka meminta agar MK mengubah makna Pasal 239 ayat (1) huruf c UU MD3 agar selaras dengan prinsip kedaulatan rakyat. Dalam petitumnya, mereka meminta agar pasal tersebut dimaknai bahwa ‘anggota DPR dapat diberhentikan oleh konstituen di daerah pemilihannya’. Alasannya, mereka merasa pasal tersebut justru memindahkan kedaulatan dari rakyat ke partai politik, sehingga menghambat fungsi anggota DPR sebagai penyambung suara rakyat.

Para mahasiswa berargumen bahwa selama ini banyak kasus pemberhentian anggota DPR oleh partai tanpa alasan yang transparan, tanpa mempertimbangkan kehendak rakyat yang memilihnya. Namun, MK menilai bahwa mekanisme yang ada saat ini tetap memberi ruang partisipasi rakyat, meskipun tidak dalam bentuk recall langsung.

Data Riset Terbaru:

Studi dari Institute for Economic and Social Research (LP3ES) tahun 2024 menunjukkan bahwa kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif masih berada di angka 38%, dengan 61% responden menyatakan kurang puas terhadap kinerja anggota DPR. Survei Centre for Strategic and International Studies (CSIS) 2023 juga mencatat bahwa 7 dari 10 responden menginginkan adanya mekanisme pertanggungjawaban langsung anggota DPR kepada konstituen, termasuk opsi recall. Di tingkat global, menurut International Institute for Democracy and Electoral Assistance (International IDEA), 18 negara menerapkan sistem recall untuk wakil rakyat, seperti Swiss, Jerman, dan sejumlah negara bagian di Amerika Serikat.

Studi Kasus: Mekanisme Recall di Swiss

Di Swiss, sistem “popular initiative” memungkinkan warga untuk mengajukan petisi guna memberhentikan pejabat publik, termasuk anggota parlemen, melalui mekanisme recall. Syaratnya: mengumpulkan 50.000 tanda tangan dalam 100 hari. Studi Universitas Zurich (2022) mencatat bahwa sejak 2000, terdapat 12 upaya recall terhadap anggota parlemen federal, dengan 3 di antaranya berhasil. Sistem ini dinilai memperkuat akuntabilitas politik dan meningkatkan partisipasi warga.

Infografis (dalam bentuk narasi):

  • 18 negara di dunia menerapkan sistem recall untuk pejabat legislatif
  • Indonesia: 61% publik tidak puas terhadap kinerja DPR (LP3ES, 2024)
  • 70% responden ingin ada mekanisme recall (CSIS, 2023)
  • Di Indonesia: pemberhentian anggota DPR hanya bisa dilakukan partai politik
  • MK telah menolak 3 gugatan serupa sejak 2019 terkait mekanisme recall

Keputusan MK ini menegaskan bahwa perubahan sistem pemilu dan mekanisme pemberhentian anggota DPR harus dilakukan melalui proses legislasi, bukan judicial review. Namun, tuntutan rakyat atas akuntabilitas wakil rakyat terus menguat. Di tengah rendahnya kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif, inovasi demokrasi seperti mekanisme recall layak dipertimbangkan sebagai bagian dari reformasi politik yang lebih dalam. Partisipasi rakyat bukan hanya saat memilih, tetapi juga dalam mengawasi dan meminta pertanggungjawaban. Masa depan demokrasi Indonesia butuh mekanisme yang lebih responsif, transparan, dan benar-benar menempatkan rakyat sebagai sumber utama kedaulatan.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan