Dua Orang Tewas dan 1.497 Jiwa Mengungsi Akibat Banjir di Aceh

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Hujan lebat yang terus-menerus mengguyur wilayah Aceh sejak akhir pekan lalu memicu banjir di sembilan kabupaten dan kota. Dampaknya, sebanyak 1.497 orang terpaksa meninggalkan rumah mereka dan mencari tempat penampungan yang lebih aman di daerah dataran tinggi. Fadmi Ridwan, Plt Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA), menjelaskan bahwa sebagian besar bencana ini dipicu oleh curah hujan yang tinggi, ditambah angin kencang serta kondisi geologi yang tidak stabil, sehingga memicu banjir, pergerakan tanah, dan longsor.

Daerah yang terdampak meliputi Bireuen, Lhokseumawe, Aceh Utara, Aceh Timur, Bener Meriah, Aceh Singkil, Gayo Lues, Aceh Selatan, dan Langsa. Dari sembilan wilayah tersebut, sekitar 46 ribu rumah warga dilaporkan terendam air. Di Aceh Utara, situasi menjadi lebih tragis dengan dua korban jiwa akibat banjir. Salah satunya adalah M Afdalil (27), warga Desa Jrat Manyang, yang tewas setelah terbawa arus deras saat mengendarai sepeda motor.

Proses pencarian korban dilakukan secara gotong royong selama sekitar tiga jam. Jenazah Afdalil akhirnya ditemukan sekitar 50 meter dari titik awal ia terseret, namun sayangnya sudah dalam keadaan tidak tertolong. Korban kedua adalah seorang warga dari Kecamatan Matangkuli yang meninggal akibat sengatan listrik. Insiden ini terjadi saat korban berusaha menyelamatkan barang-barangnya dari dalam rumah yang sedang terendam banjir.

Data Riset Terbaru dari Pusat Studi Bencana Universitas Syiah Kuala (2024) menunjukkan bahwa frekuensi banjir di Aceh meningkat 40% dalam dekade terakhir, terutama di wilayah pesisir utara. Studi ini mencatat bahwa 70% bencana hidrometeorologi di Aceh dipicu oleh perubahan pola curah hujan ekstrem yang dipengaruhi perubahan iklim. Infografis dari BMKG 2025 juga menunjukkan bahwa Aceh berada di peringkat lima besar provinsi dengan risiko banjir musiman tertinggi di Indonesia.

Sebuah studi kasus dari Bireuen (2023) mengungkap bahwa keterlambatan evakuasi dan minimnya sistem peringatan dini menjadi faktor utama meningkatnya kerugian jiwa. Desa yang sama kini telah menerapkan sistem early warning berbasis komunitas yang melibatkan 150 relawan desa, mengurangi risiko korban hingga 60% selama musim hujan 2024.

Keterlibatan masyarakat dalam kesiapsiagaan bencana bukan sekadar kebutuhan, tapi kewajiban kolektif. Saat alam memberi tanda, kesiapan dan kekompakan menjadi tameng paling kuat. Mari jadikan setiap pengalaman bencana sebagai pelajaran berharga, membangun ketahanan dari desa hingga kota, agar tragedi serupa tak terulang. Kita bisa, selama bersatu dan bertindak cepat.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan