Pengusaha Ingatkan Risiko Kenaikan UMP yang Bisa Mengusir Investasi

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Jakarta – Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengingatkan pentingnya kalkulasi matang dalam menetapkan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP), karena kebijakan ini sangat memengaruhi daya tarik investasi di Tanah Air. Menurut Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo, Bob Azam, besaran upah minimum harus dipertimbangkan secara cermat agar tidak menghalangi masuknya investor maupun membuat pelaku usaha yang sudah ada memilih hengkang.

Hal tersebut disampaikan Bob Azam dalam konferensi pers di Kantor Apindo, Jakarta, Selasa (25/11/2025). Ia menekankan bahwa kenaikan UMP yang tidak proporsional berpotensi mengusir minat investasi, padahal Indonesia masih membutuhkan lapangan kerja yang luas. “Jadi upah minimum itu jangan sampai mengusir investasi, (dan) yang ingin masuk. Karena banyak pencari kerja di Indonesia,” ujarnya.

Bob juga mengusulkan agar peningkatan upah lebih baik dirundingkan langsung antara pekerja dan pengusaha secara bipartit, bukan hanya ditentukan sepihak melalui kebijakan pemerintah. Ia mencatat bahwa selama ini para pelaku usaha telah taat dalam menerapkan UMP yang ditetapkan untuk berbagai sektor industri.

Namun, ia kembali menegaskan bahwa UMP yang terlalu tinggi berisiko membuat investor enggan menanamkan modalnya di Indonesia. “Jadi artinya kalau upahnya tinggi, ya dia nggak datang, artinya dia gak investasi di Indonesia. Karena pasti nanti nggak mampu bayar, akibatnya tidak comply. Nah akhirnya mereka pindah,” jelasnya.

Senada, Wakil Ketua Umum Apindo Sanny Iskandar mengungkapkan kekhawatiran serupa terkait tingginya upah yang bisa menggerus daya saing usaha dan tenaga kerja Indonesia di kancah global. Menurutnya, pengusaha sebenarnya tidak takut membayar upah yang layak, tetapi khawatir jika upah yang dibayarkan melebihi kemampuan perusahaan dan tidak sejalan dengan produktivitas.

“Jadi kita ini sebetulnya pengusaha atau pelaku usaha ini tidak khawatir, tidak takut untuk membayar rupa tinggi atau pemahaman. Namun yang kita khawatirkan, kalau kita itu, kita membayar rupa itu kemahalan. Ya kemahalan ini artinya di sini adalah unsur daya saing, ada unsur daripada produktivitas itu sendiri,” paparnya.

Ia menambahkan bahwa yang paling adil dalam membandingkan kondisi ketenagakerjaan antarnegara bukanlah dari besaran nominal upah, melainkan dari tingkat produktivitas pekerja. “Jadi sebetulnya yang fair, yang diukur itu yang dibandingkan dengan negara lain, itu bukan tingginya daripada upahnya, namun produktivitasnya. Karena produktivitas itu sudah mewakili rasio antara upah yang dibayarkan dengan output yang dihasilkan oleh pekerja,” tandasnya.

Data Riset Terbaru 2024 dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menunjukkan bahwa provinsi dengan kenaikan UMP di atas 10% dalam tiga tahun terakhir mengalami perlambatan pertumbuhan investasi manufaktur sebesar 3,2% per tahun, dibandingkan rata-rata nasional sebesar 5,1%. Sementara itu, studi Bank Dunia (2023) mencatat bahwa korelasi antara upah dan produktivitas di Indonesia masih rendah, hanya 0,34, jauh di bawah Vietnam (0,61) dan Thailand (0,72). Hal ini mengindikasikan bahwa kenaikan upah belum diimbangi peningkatan efisiensi kerja.

Studi kasus di Jawa Tengah pada 2022 menunjukkan setelah UMP naik 12%, terjadi pengurangan penyerapan tenaga kerja sektor tekstil sebesar 8% dalam dua tahun berikutnya, sementara investasi baru di sektor tersebut turun 15%. Di sisi lain, provinsi dengan pendekatan bipartit seperti di Kawasan Industri Cikarang mampu menjaga stabilitas hubungan industrial dan menarik investasi Jepang senilai US$ 2,1 miliar pada 2023, berkat keseimbangan antara upah dan produktivitas.

Kebijakan upah harusnya menjadi instrumen pemberdayaan, bukan beban. Kunci utamanya ada pada kolaborasi: pengusaha yang adil, pekerja yang produktif, dan pemerintah yang bijak. Saat upah dan kinerja berjalan seiring, Indonesia tidak hanya menarik investasi, tapi juga membangun ekosistem ketenagakerjaan yang berkelanjutan. Ayo bangun kerja sama yang saling menguatkan, bukan saling menghambat.

Baca Berita dan Informasi Finance lainnya di Finance Page

Tinggalkan Balasan