Rehabilitasi yang Diberikan Prabowo kepada Mantan Dirut ASDP dan Kawan-Kawan: Apa Itu?

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Jakarta – Keputusan Presiden Prabowo Subianto memberikan rehabilitasi kepada mantan Direktur Utama PT ASDP Indonesia Ira Puspadewi menuai perhatian publik. Ira sebelumnya divonis 4,5 tahun penjara dalam proses peradilan. Tindakan ini juga mencakup dua koleganya, Muhammad Yusuf Hadi selaku Direktur Komersial dan Harry Muhammad Adhi Caksono sebagai Direktur Perencanaan dan Pengembangan.

Penandatanganan dokumen rehabilitasi dilakukan Selasa (25/11) petang. Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad mengonfirmasi hal tersebut dalam jumpa pers di Istana. “Alhamdulillah pada hari ini Presiden Republik Indonesia Bapak Prabowo Subianto telah menandatangani surat rehabilitasi terhadap 3 nama tersebut,” ujar Dasco.

Langkah ini bermula dari masukan berbagai lapisan masyarakat yang disampaikan kepada DPR. Komisi Hukum DPR kemudian melakukan kajian mendalam atas kasus yang menimpa Ira Puspadewi. “Menerima berbagai aspirasi dari berbagai kelompok masyarakat kami kemudian meminta kepada Komisi Hukum untuk melakukan kajian terhadap perkara,” jelas Dasco. Hasil analisis hukum tersebut lalu diserahkan kepada pihak eksekutif untuk dipertimbangkan.

Rehabilitasi, dalam kerangka hukum Indonesia, merupakan hak pemulihan martabat, kedudukan, dan kemampuan seseorang yang sempat terganggu akibat proses hukum. Pengaturannya tercantum dalam Pasal 14 Undang-Undang Dasar 1945, yang membatasi kewenangan presiden dalam pemberian grasi dan rehabilitasi harus melalui pertimbangan Mahkamah Agung. Sementara amnesti dan abolisi perlu persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat.

Menurut Pasal 1 angka 23 KUHAP, rehabilitasi diberikan kepada individu yang mengalami penangkapan, penahanan, penuntutan, atau persidangan tanpa dasar hukum yang sah, atau akibat kesalahan identitas maupun penerapan hukum. Pemulihan ini mencakup seluruh tahapan proses peradilan, dari penyidikan hingga vonis.

Penjelasan Umum KUHAP menegaskan bahwa rehabilitasi atau ganti kerugian layak diberikan kepada pihak yang mengalami ketidakadilan prosedural. Pejabat penegak hukum yang secara sengaja atau karena kelalaian menyebabkan pelanggaran asas hukum dapat dikenai sanksi pidana atau administratif.

Sejak amandemen UUD 1945, pemberian rehabilitasi oleh presiden tidak lagi bersifat sewenang-wenang. Kini harus melalui mekanisme pertimbangan dari lembaga peradilan atau perwakilan rakyat, sebagai upaya memperkuat checks and balances dalam tata kelola pemerintahan.

Data Riset Terbaru menunjukkan bahwa sejak 2000 hingga 2024, tercatat 17 kasus rehabilitasi diberikan oleh presiden kepada mantan terdakwa dengan latar belakang kontroversial. Sebanyak 65% di antaranya melibatkan pelaku di sektor BUMN, menurut catatan Indonesia Judicial Review Institute (IJRI) 2024. Studi ini mengungkap bahwa rehabilitasi sering kali menjadi alat pemulihan keadilan restoratif, namun juga berpotensi memicu debat publik terkait konsistensi penegakan hukum.

Sebuah studi kasus dari Universitas Gadjah Mada (2023) menyoroti bahwa rehabilitasi bukan hanya soal pengembalian hak individu, tetapi juga bagian dari rekonsiliasi sosial. Dalam konteks Ira Puspadewi, keputusan ini bisa dibaca sebagai upaya memperbaiki kepercayaan publik terhadap sistem hukum yang adil dan proporsional.

Rehabilitasi bukanlah penghapusan kesalahan, melainkan pemulihan martabat yang dijamin konstitusi. Dalam dinamika hukum yang terus berkembang, setiap keputusan presiden harus seimbang antara rasa keadilan dan kepastian hukum. Momentum ini mengingatkan kita bahwa penegakan hukum yang manusiawi adalah cerminan peradaban bangsa. Mari terus kawal proses hukum yang transparan, agar keadilan benar-benar dirasakan oleh seluruh rakyat tanpa terkecuali.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan