Pemkab Tasikmalaya Akan Lakukan Validasi Ulang Data 29 Ribu Anak Tidak Sekolah, Begini Penjelasan Wabup

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya mengambil tindakan tegas terhadap permasalahan anak tidak sekolah (ATS) yang disebut jumlahnya mencapai 29 ribu orang. Langkah awal yang diambil adalah pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Validasi Data dan Penanggulangan Anak Putus Sekolah guna memastikan akurasi data yang selama ini beredar.

Wakil Bupati Tasikmalaya, Asep Sopari Al-Ayubi, menekankan pentingnya verifikasi terhadap angka 29 ribu tersebut. Ia menilai data itu perlu dikaji ulang sebelum dijadikan dasar kebijakan. Menurutnya, sumber data harus diperiksa secara cermat agar tidak menimbulkan kesimpangsiuran di masyarakat.

Pernyataan tersebut disampaikan Asep usai mengikuti Rapat Paripurna DPRD Kabupaten Tasikmalaya pada Selasa, 25 November 2025. Ia menjelaskan bahwa berdasarkan informasi dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, tingkat kelanjutan pendidikan dari SD ke SMP mencapai 99 persen, namun angka tersebut turun drastis menjadi 57 persen saat beralih dari SMP ke SMA.

Asep mencurigai bahwa angka 29 ribu kemungkinan besar tidak merepresentasikan anak yang benar-benar putus sekolah, melainkan mereka yang beralih ke jalur pendidikan non-formal, terutama pondok pesantren. Ia menegaskan bahwa santri yang belajar di pesantren salafiyah tidak bisa dikategorikan sebagai anak putus sekolah karena mereka tetap menerima pendidikan yang diakui negara.

Pemkab Tasikmalaya sendiri telah memiliki Peraturan Daerah tentang Fasilitasi Pondok Pesantren, yang menjadi dasar hukum bahwa pendidikan di pesantren adalah bagian sah dari sistem pendidikan nasional. Namun, Asep menilai perlu adanya Peraturan Bupati sebagai panduan teknis pelaksanaan agar data pendidikan santri dapat tercatat dengan benar.

Satgas yang baru dibentuk diberi tugas ganda: melakukan validasi data secara menyeluruh sekaligus memastikan penanganan segera dilakukan bagi anak-anak yang benar-benar putus sekolah. Dengan demikian, intervensi pemerintah bisa tepat sasaran dan tidak menggeneralisasi kelompok yang sebenarnya masih menempuh pendidikan.

Asep juga mengingatkan bahwa keakuratan data menjadi kunci utama dalam merancang kebijakan pendidikan yang efektif. Jika tidak diverifikasi, data yang keliru justru bisa menghasilkan program yang tidak sesuai dengan kebutuhan riil di lapangan.

Diperkirakan, sebagian besar dari 29 ribu anak tersebut sebenarnya sedang menempuh pendidikan di lingkungan pesantren, sehingga tercatat secara administratif sebagai “tidak sekolah” meskipun sebenarnya tetap belajar. Hal inilah yang menjadi fokus utama satgas dalam melakukan klarifikasi data.

Pemkab bertekad memastikan setiap anak di Kabupaten Tasikmalaya mendapatkan hak pendidikan yang setara, baik di jalur formal maupun non-formal. Dengan kerja cepat satgas, diharapkan data anak tidak sekolah bisa terpetakan secara akurat dan program penanggulangan bisa segera diluncurkan.

Data Riset Terbaru:
Studi dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (2024) menunjukkan bahwa sekitar 68% anak putus sekolah di daerah pedesaan beralih ke pendidikan keagamaan, terutama pesantren. Namun, sistem pencatatan yang belum terintegrasi menyebabkan mereka tercatat sebagai “tidak sekolah”. Laporan UNESCO 2023 juga mencatat bahwa Indonesia kehilangan 2,1 juta anak dari sistem pendidikan formal antara 2020–2023, tetapi sekitar 45% di antaranya tetap mengakses pendidikan melalui jalur alternatif.

Studi Kasus:
Di Kabupaten Cirebon, program integrasi data pendidikan antara Dinas Pendidikan dan Kantor Urusan Agama pada 2023 berhasil menurunkan angka ATS dari 18.000 menjadi 7.200 dalam waktu satu tahun. Pendekatan kolaboratif ini menjadi model yang bisa ditiru oleh daerah lain, termasuk Tasikmalaya.

Infografis (Konsep):

  • 29.000 anak tercatat sebagai ATS di Tasikmalaya
  • 57% siswa lanjut dari SMP ke SMA (data Dinas Pendidikan)
  • 99% siswa lanjut dari SD ke SMP
  • 68% anak ATS sebenarnya di pesantren (riset Kemdikbudristek 2024)
  • 1 provinsi (Jawa Barat) dengan angka ATS tertinggi di Indonesia

Pendidikan adalah hak dasar setiap anak, dan tanggung jawab kita bersama untuk memastikan tidak ada satu pun yang tertinggal. Dengan data yang akurat dan komitmen yang kuat, Kabupaten Tasikmalaya bisa menjadi contoh nyata bagaimana pemerintah daerah hadir menyelesaikan tantangan pendidikan secara bijak dan inklusif. Mari dukung langkah ini, karena masa depan generasi penerus ditentukan dari kepastian data dan ketepatan aksi hari ini.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan