Angka Nikah Dini Menurun, Bupati Trenggalek Soroti Peran Kunci Desa dalam Pencegahan

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Pemerintah Kabupaten Trenggalek mengambil langkah tegas dalam menangani maraknya pernikahan anak dengan memperketat persyaratan pernikahan. Upaya ini terbukti efektif, ditandai dengan penurunan jumlah perkawinan anak selama lima tahun terakhir. Bupati Trenggalek, Mochamad Nur Arifin, menyampaikan bahwa pada tahun 2021, angka perkawinan anak di bawah usia 19 tahun mencapai 7,67 persen, menjadikan Trenggalek sebagai salah satu daerah dengan angka tinggi di Jawa Timur.

Sebagai respons, pemerintah daerah meluncurkan program Desa Nol Perkawinan Anak. Program ini mewajibkan calon pengantin yang belum mencapai usia 19 tahun untuk mengajukan izin ke sejumlah instansi, termasuk Pengadilan Agama, Kantor Kementerian Agama, dan Dinas Sosial P3A Trenggalek. Proses ini melibatkan asesmen menyeluruh mengenai kesiapan mental, kondisi ekonomi, serta kesiapan orang tua. Jika hasil evaluasi menyimpulkan ketidaksiapan, izin tidak akan dikeluarkan.

Peran desa dalam program ini sangat krusial. Kepala desa memiliki wewenang untuk mengeluarkan formulir N1, dokumen penting dalam proses pernikahan yang harus diserahkan ke Pengadilan Agama. Tanpa tanda tangan kepala desa, proses pernikahan tidak dapat dilanjutkan. Keterlibatan desa dinilai sebagai kunci keberhasilan program.

Nur Arifin melaporkan perkembangan positif sejak program dimulai. Pada 2022, sejumlah kecamatan menunjukkan penurunan signifikan. Contohnya, Kecamatan Panggul yang sebelumnya hampir 5 persen kini turun ke angka koma, Munjungan dari 6 persen menjadi satu koma, dan Kampak dari 5 persen turun ke angka koma.

Ia menekankan bahwa pernikahan bukan sekadar penyatuan dua insan, tetapi juga menyangkut kesiapan membangun keluarga yang mandiri dan berkelanjutan. Dengan menikah di usia matang, risiko keretakan rumah tangga, penelantaran anak, dan perputaran kemiskinan antargenerasi dapat dikurangi. Namun, tantangan masih ada, terutama kasus “married by accident” akibat pergaulan bebas dan kehamilan di luar nikah. Hal ini disebabkan kurangnya pengawasan terhadap remaja.

Untuk itu, diperlukan sinergi seluruh elemen masyarakat dalam mencegah perkawinan anak. Kolaborasi antarinstansi, peran aktif kepala desa, serta partisipasi keluarga dan komunitas menjadi fondasi penting dalam mewujudkan Trenggalek bebas perkawinan anak.

Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (2023), angka perkawinan anak di Indonesia masih mencapai 11,1 persen, dengan Jawa Timur berada di atas rata-rata nasional. Studi dari UNICEF (2022) menunjukkan bahwa pernikahan dini berdampak pada putus sekolah, kesehatan reproduksi, dan peningkatan risiko kekerasan dalam rumah tangga. Kasus di Trenggalek menjadi contoh nyata bahwa intervensi berbasis komunitas dan regulasi lokal mampu menekan angka tersebut secara signifikan.

Infografis dari KPAI (2024) mencatat bahwa 60 persen kasus perkawinan anak terjadi karena kehamilan di luar nikah, sementara 30 persen dipicu oleh tekanan ekonomi dan 10 persen karena tradisi. Program Desa Nol Perkawinan Anak di Trenggalek berhasil menurunkan angka ini hingga 80 persen dalam empat tahun, berkat pendekatan holistik yang melibatkan asesmen psikologis, pendampingan ekonomi, dan edukasi pranikah.

Bayangkan generasi muda yang tumbuh dengan pendidikan utuh, kesiapan mental matang, dan masa depan yang direncanakan. Bukan terjebak dalam pernikahan dini yang menghambat potensi hidup mereka. Setiap desa bisa menjadi benteng pertama melindungi masa depan anak. Mulai dari pengawasan, edukasi, hingga dukungan ekonomi keluarga. Trenggalek membuktikan perubahan dimungkinkan ketika semua pihak bergerak bersama. Yuk, jadikan pencegahan perkawinan anak bukan sekadar program, tapi gerakan bersama untuk Indonesia yang lebih tangguh.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan