Jepang dan Filipina Perkuat Kerja Sama Militer Hadapi Tekanan China

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Latihan militer perdana antara Jepang dan Filipina digelar pada Oktober 2025, menandai langkah nyata dari pakta pertahanan yang mulai aktif sejak September sebelumnya. Kerja sama ini lahir dari Reciprocal Access Agreement (RAA), perjanjian yang ditandatangani Juli 2024 dan memungkinkan kedua negara saling menempatkan pasukan di wilayah masing-masing. Victor Andres “Dindo” Manhit, analis geopolitik dari Manila, menilai kesepakatan ini membawa kolaborasi keamanan ke level yang lebih komprehensif, tidak hanya terbatas pada angkatan darat, laut, dan udara, tetapi juga mencakup domain siber.

“Di empat domain itu, kami menantikan kolaborasi yang kuat. Jepang akan bisa membantu kami saat kami mencoba melakukan modernisasi, meskipun dengan kemampuan yang terbatas,” ujar Manhit. Langkah ini dipandang sebagai respons terhadap eskalasi ketegangan antara Filipina dan Cina di Laut Cina Selatan, sementara Jepang sendiri memiliki sengketa maritim terpisah dengan Cina di Laut Cina Timur terkait sejumlah pulau.

Sebagai bagian dari penguatan pertahanan maritim, Jepang menawarkan ekspor hingga enam kapal perang kelas Abukuma kepada Filipina, yang saat ini masih digunakan oleh Pasukan Bela Diri Maritim Jepang. Manhit meyakini masih terbuka sangat luas ruang kerja sama ke depan. “Ingat, ini baru beberapa bulan sejak perjanjian berjalan. Jadi, jika kita sudah melihat lonjakan aktivitas, terutama di bidang kerja sama maritim, kita bisa berharap akan ada lebih banyak lagi ke depannya,” katanya.

Peningkatan kerja sama militer di kawasan Indo-Pasifik didorong oleh kebangkitan ekonomi Cina, lonjakan anggaran pertahanan, serta pendekatan yang semakin ofensif di wilayah sengketa. Pada 14-15 November lalu, Filipina, Jepang, dan Amerika Serikat menggelar latihan gabungan di Laut Cina Selatan dalam kerangka Multilateral Maritime Cooperative Activity (MMCA), yang berlangsung di perairan yang oleh Manila disebut Laut Filipina Barat. Kegiatan ini dimaknai sebagai sinyal politik kuat kepada Cina.

Latihan tersebut memicu kecaman keras dari Beijing yang menyebutnya “merusak perdamaian dan stabilitas kawasan.” Ketegangan semakin memanas setelah Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi menyatakan bahwa Jepang berhak mengambil tindakan bela diri jika Cina menyerang Taiwan. Pernyataan ini dikritik keras oleh Xue Jian, Konsul Jenderal Cina di Osaka, yang dalam unggahan daring menyebut “kami hanya perlu memenggal kepala-kepala kotor mereka” sebelum dihapus.

Sebagai bentuk tekanan, Cina menghentikan impor produk laut dari Jepang dan mengimbau warganya untuk menghindari perjalanan ke negara tersebut, yang mengakibatkan pembatalan hampir 500.000 tiket pesawat. Kei Koga, profesor di Program Kebijakan Publik dan Urusan Global Nanyang Technological University (NTU) Singapura, menilai strategi Cina bertujuan memberi tekanan pada Jepang, yang juga berdampak pada sekutunya termasuk Filipina. “Saya percaya Cina melihat pernyataan PM Takaichi sebagai peluang besar untuk menekan potensi pemerintahan konservatif yang kuat di Jepang,” ujarnya kepada DW. “Dengan cara itu, Cina mungkin mencoba menciptakan jurang antara AS dan Jepang, serta antara Jepang dan negara lain, termasuk Filipina.”

Cina terus bersikeras bahwa Taiwan adalah bagian dari wilayahnya dan mengancam penggunaan kekuatan militer untuk menguasainya. Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr. pada Agustus menyatakan bahwa konflik terkait Taiwan hampir pasti akan menyeret Filipina, meskipun secara tidak langsung. Cina merespons dengan peringatan bahwa Filipina akan “bermain api” jika terlibat. Koga menilai fokus utama Manila tetap pada Laut Cina Selatan dan upaya melindungi kepentingan nasional di kawasan tersebut. “Jepang dan Amerika Serikat telah membahas kemungkinan kontingensi Taiwan dan bagaimana mereka dapat bekerja sama. Mengingat kedekatan geografis, mereka ingin membahas isu itu dengan Filipina,” katanya. “Fokus strategis Filipina adalah Laut Cina Selatan. Mereka melihat bahwa kerja sama pertahanan dapat memperkuat kemampuan mereka untuk menahan atau mencegah agresivitas Cina di sana.”

Meski demikian, Koga mencatat bahwa Filipina tetap waspada terhadap skenario konflik Taiwan, mengingat terdapat lebih dari 160.000 warga Filipina yang tinggal di sana. Namun, untuk kerja sama militer dalam keadaan darurat, Filipina dinilai belum memiliki rencana yang matang.

Studi kasus: Second Thomas Shoal, bagian dari Kepulauan Spratly, menjadi salah satu titik panas sengketa maritim antara Filipina dan Cina. Area ini secara de facto diduduki oleh Filipina secara militer, tetapi Beijing bersikeras bahwa wilayah tersebut adalah miliknya. Putusan Mahkamah Arbitrase Antarbangsa di Den Haag pada 2016 menyatakan klaim Cina tidak memiliki dasar hukum internasional, namun Cina menolak keputusan tersebut dan terus mengklaim kedaulatan. Kapal-kapal Filipina kerap menghadapi tindakan agresif dari kapal Cina di sekitar wilayah ini, termasuk pembuntutan, pengurungan, hingga serangan dengan meriam air dan sinar laser dari Penjaga Pantai Cina.

Data riset terbaru dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) 2024 menunjukkan peningkatan 37% dalam insiden maritim yang melibatkan kapal Cina di Laut Cina Selatan selama lima tahun terakhir. Sementara itu, laporan IISS (International Institute for Strategic Studies) 2025 mencatat bahwa anggaran pertahanan gabungan negara-negara Indo-Pasifik non-Cina meningkat 22% sejak 2020, sejalan dengan upaya penyeimbangan kekuatan regional.

Kolaborasi Jepang-Filipina bukan sekadar respons militer, tetapi simbol kemitraan strategis yang semakin kokoh di tengah tekanan geopolitik. Dengan mengintegrasikan kerja sama di darat, laut, udara, dan siber, kedua negara menunjukkan bahwa kedaulatan dan stabilitas kawasan harus dilindungi secara kolektif. Di tengah ketegangan yang terus memanas, langkah-langkah nyata seperti latihan gabungan, ekspor kapal perang, dan koordinasi maritim menjadi fondasi penting bagi perdamaian yang berkelanjutan. Masa depan Indo-Pasifik tidak ditentukan oleh satu kekuatan dominan, tetapi oleh jaringan aliansi yang solid, saling mendukung, dan siap menjaga kebebasan navigasi serta hukum internasional.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan