Warga Papua Antre Puluhan Tahun Beli Solar, Pertamina Diminta Tambah SPBU

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Jakarta – Komisi XII DPR RI mengangkat isu krusial terkait distribusi BBM bersubsidi, khususnya solar, yang kerap memicu antrean panjang di sejumlah SPBU. Salah satu wilayah yang menjadi sorotan adalah Kabupaten Manokwari, Papua Barat, di mana warga harus mengantre berjam-jam bahkan sejak dini hari untuk mendapatkan solar.

Alfons Manibui, anggota Komisi XII DPR RI dari Fraksi Golkar, menyoroti minimnya SPBU yang melayani solar bersubsidi di Manokwari. Dari enam SPBU yang tersebar di wilayah tersebut, hanya dua yang ditunjuk sebagai Penugasan Penyalur Otorisasi (PSO). Ia menekankan pentingnya pemerataan penyaluran subsidi agar tidak terjadi antrean panjang yang memberatkan masyarakat. “Jangan hanya 1-2 SPBU yang diberi kuota solar subsidi. Harusnya dibagi merata agar antrean tidak mengular. Saya prihatin lihat warga antre dari jam 3 pagi sampai siang hari hanya untuk dapat solar,” ujarnya dalam rapat dengar pendapat, Senin (24/11/2025).

Senada, Cheroline Chrisye Makalew dari Fraksi NasDem menuturkan bahwa persoalan antrean panjang di SPBU Manokwari bukan isu baru. Ia yang berasal dari Papua Barat mengungkapkan masalah ini telah berlangsung puluhan tahun. Menurutnya, penyebab utama adalah terbatasnya jumlah SPBU PSO dan kuota harian solar yang sangat minim, hanya 10 kiloliter per hari. “Dari enam SPBU di Manokwari, hanya dua yang berstatus PSO. Saat bertemu Dirut Pertamina, saya sudah sampaikan perlunya penambahan menjadi tiga SPBU,” ujarnya.

Ia juga meminta kenaikan kuota BBM dari 10 KL menjadi 15 KL per hari. “Antrean ini bukan masalah bulan atau tahun ini saja. Sejak saya masih sekolah, sampai kini duduk di DPR, kondisinya masih sama,” tegas Cheroline.

Wahyudi Anas, Ketua BPH Migas, merespons persoalan ini dengan menyatakan pihaknya telah melakukan koordinasi intensif bersama Kementerian ESDM dan PT Pertamina Patra Niaga. Ia mengakui bahwa keterbatasan geografis dan logistik menjadi hambatan utama dalam distribusi BBM di daerah terpencil seperti Manokwari. “Kami sudah tiga kali rapat dengan Pertamina Patra dan memberi masukan ke Menteri. BPH Migas juga telah bentuk tim task force khusus untuk menangani antrean dan kelangkaan BBM,” ujarnya.

Ia menjelaskan bahwa pasokan di Terminal Bahan Bakar Minyak (TBBM) kerap terkendala karena gangguan transportasi laut dan medan geografis yang sulit. Namun, pihaknya berkomitmen untuk segera menindaklanjuti perluasan kuota dan pemerataan penyaluran. “Dengan tata kelola yang lebih merata, insyaAllah penambahan kuota di Manokwari akan segera diakomodasi. Kami akan kawal proses ini bersama Pertamina,” tambah Wahyudi.

Studi kasus di Manokwari mengungkap tantangan struktural dalam distribusi energi nasional. Data Kementerian ESDM 2024 menunjukkan bahwa wilayah Papua hanya memiliki 122 SPBU PSO dari total 1.200 SPBU se-Indonesia, sementara rata-rata kebutuhan solar harian di wilayah pesisir mencapai 18 KL per SPBU. Infografis dari Lembaga Energi Nusantara (2025) mencatat bahwa 68% antrean panjang BBM terjadi di wilayah dengan akses logistik terbatas.

Riset terbaru dari Institute for Energy Economics and Financial Analysis (2025) mengungkap bahwa disparitas distribusi BBM bersubsidi berdampak langsung pada produktivitas ekonomi lokal. Di wilayah Timur Indonesia, waktu tunggu rata-rata untuk mendapatkan solar mencapai 6-8 jam, mengakibatkan penurunan aktivitas nelayan dan petani hingga 30%.

Perlu ada transformasi sistemik dalam penataan logistik energi, bukan sekadar tambal sulam kuota. Pemerataan SPBU PSO, penguatan infrastruktur TBBM, serta penerapan teknologi monitoring real-time bisa jadi kunci mengurai masalah ini. Keterlibatan pemerintah daerah dan partisipasi masyarakat juga vital dalam memastikan distribusi energi yang adil dan berkelanjutan. Saatnya kita bergerak dari reaksi menjadi aksi, dari antrean panjang menuju ketahanan energi yang merata untuk seluruh Nusantara.

Baca Berita dan Informasi Finance lainnya di Finance Page

Tinggalkan Balasan