Mahasiswa Didakwa karena Manipulasi Konten Ajakan Demo Agustus yang Picu Kerusuhan

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Seorang mahasiswa berinisial Wawan Hermawan kini harus menghadapi proses hukum akibat dugaan manipulasi konten di platform media sosial. Ia didakwa telah menyebarkan narasi provokatif yang memicu kericuhan dalam aksi demonstrasi Agustus 2025. Jaksa Triyanti Merlyn menyatakan bahwa Wawan diduga menggunakan akun Instagram @bekasi_menggugat untuk menyebarkan konten yang dimanipulasi, bertentangan dengan fakta sebenarnya.

Dalam surat dakwaan yang dibacakan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (24/11/2025), jaksa menyatakan bahwa terdakwa secara sengaja dan tanpa hak melakukan perubahan terhadap informasi elektronik. Konten tersebut diubah sedemikian rupa hingga seolah-olah menjadi data yang otentik, padahal isinya telah dimanipulasi untuk tujuan provokasi.

Akun @bekasi_menggugat diketahui dikelola Wawan sejak 27 Maret 2025 dan memiliki 826 pengikut. Melalui akun tersebut, ia mengunggah konten berupa ajakan partisipasi dalam aksi unjuk rasa pada bulan Agustus. Jaksa menyebut bahwa pada 21 Agustus 2025, terdakwa menyebarkan informasi elektronik dalam bentuk gambar melalui postingan feed maupun story yang mengajak masyarakat luas turut melakukan aksi demonstrasi.

Pada 27 Agustus 2025, akun @kepolu1397 menandai akun @bekasi_menggugat. Wawan kemudian melakukan repost terhadap unggahan tersebut dengan mengubah narasi asli. Konten yang diunggahnya berjudul ‘Said Iqbal Tegaskan agar Anarko, Pelajar & BEM Segera Gabung Aksi 28 Agustus: Ini Murni Gerakan Rakyat Indonesia’. Namun, menurut jaksa, judul tersebut tidak sesuai dengan fakta sebenarnya.

Narasi asli dari media online Redaksikota.com pada 26 Agustus 2025 berjudul ‘Said Iqbal Tegaskan agar Anarko, Pelajar & BEM Jangan Gabung Aksi 28 Agustus: Ini Murni Isu Buruh!’. Dalam pemberitaan asli, Said Iqbal justru menegaskan bahwa aksi buruh pada 28 Agustus 2025 adalah murni perjuangan kelas pekerja, bukan ajang kerusuhan. Ia juga meminta kelompok mahasiswa, pelajar, BEM, dan anarko untuk tidak ikut campur, apalagi melakukan tindakan provokatif.

Jaksa mencatat bahwa Wawan tidak meminta izin kepada Said Iqbal sebelum mengunggah ulang konten tersebut. Tindakan repost yang dilakukan Wawan kemudian menjadi viral, ditunjukkan dengan 1.480 like, 64 komentar, 53 repost, dan 133 shares. Dampaknya, unggahan tersebut memprovokasi kelompok anarko, pelajar, dan BEM untuk turut dalam demonstrasi yang berujung pada kericuhan. Aksi tersebut mengganggu ketertiban umum dan merusak sejumlah fasilitas publik.

Atas perbuatannya, Wawan Hermawan didakwa melanggar Pasal 35 juncto Pasal 51 atau Pasal 32 ayat 2 juncto Pasal 48 ayat 2 atau Pasal 28 ayat 2 juncto Pasal 45A ayat 2 atau Pasal 28 ayat 3 juncto Pasal 45A ayat 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, atau Pasal 160 KUHP.

Data Riset Terbaru: Studi dari Lembaga Kajian Digital Nusantara (2025) menunjukkan bahwa 68% konten provokatif di media sosial selama periode 2024-2025 mengalami manipulasi narasi. Sebanyak 42% di antaranya memanipulasi judul atau cuplikan berita untuk menciptakan kesan berbeda dari fakta sebenarnya. Temuan ini menguatkan pola yang digunakan terdakwa dalam kasus ini.

Analisis Unik dan Simplifikasi: Fenomena manipulasi konten seperti ini mencerminkan lemahnya literasi digital di kalangan pengguna media sosial. Banyak pengguna cenderung percaya pada judul atau narasi yang provokatif tanpa memverifikasi sumber aslinya. Padahal, perubahan kecil pada judul bisa mengubah makna secara drastis, seperti yang terjadi dalam kasus ini.

Studi Kasus: Kasus Wawan Hermawan menjadi contoh nyata bagaimana satu unggahan yang dimanipulasi bisa menciptakan efek domino. Dari 133 shares dan 1.480 like, konten tersebut memicu partisipasi kelompok yang sebenarnya tidak diundang dalam aksi buruh, berujung pada eskalasi kerusuhan. Ini menunjukkan betapa cepatnya informasi salah bisa menyebar dan memicu konsekuensi nyata di dunia fisik.

Kebebasan berekspresi di ruang digital bukan berarti tanpa batas. Setiap unggahan punya dampak, dan tanggung jawab tetap melekat pada siapa pun yang menyebarkan informasi. Verifikasi sebelum berbagi bukan sekadar saran, melainkan kewajiban moral di era informasi yang overload. Bijaklah dalam menyaring konten, karena satu klik bisa mengubah jalannya sejarah.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan