Ketangguhan Lita dalam Menghadapi Kanker Payudara Stadium IIIB

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Setiap kelahiran anak selalu membawa suka cita bagi seorang ibu, termasuk bagi Rulita (49). Namun di balik kebahagiaan itu, ia justru dihadapkan pada ujian berat saat didiagnosis mengidap kanker payudara stadium IIIB. Kondisi ini mulai terasa pada 2018, tak lama setelah ia melahirkan anak bungsunya. Saat itu, Rulita mengalami nyeri tajam disertai benjolan di payudara kiri. Ia tak langsung curiga karena pernah merasakan hal serupa sebelumnya, dan mengira itu hanya mastitis, peradangan yang umum terjadi pada ibu menyusui.

Seiring waktu, rasa sakit semakin hebat dan disertai keluarnya darah saat memompa ASI. Mengira itu masih bagian dari peradangan, Rulita memilih konsultasi ke dokter laktasi. β€œSaya pikir itu wajar saat terjadi iritasi, apalagi saat menyusui atau pumping. Jadi saya kira masalahnya hanya teknik memompa saja, makanya saya ke dokter laktasi,” ujarnya kepada Thecuy.com, Minggu (4/5/2025). Dokter memberi antibiotik, tetapi setelah sebulan dikonsumsi, tak ada perbaikan. Nyeri tetap ada, benjolan pun tak kunjung hilang.

Rulita kemudian dirujuk ke dokter onkologi. Sebutan β€˜onkologi’ langsung membuatnya syok karena berkaitan dengan kanker. Perjalanan mencari kepastian kesehatannya cukup panjang. Ia dan suami akhirnya memutuskan biopsi. Beberapa hari kemudian, mereka kembali ke rumah sakit untuk mendengar hasilnya. Diagnosis kanker payudara membuat Rulita terdiam, tak mampu berkata apa pun. Bayangan kematian terus menghantui. Suaminya, Beni, juga tenggelam dalam kesedihan. β€œBenar-benar sedih banget, lihat hasil dokter dan diterjemahkan dari bahasa medis ke bahasa kita. Aduh, itu benar-benar, nggak bisa ngomong,” ucap Beni.

Rulita mengaku selama ini merasa sehat, jarang sakit, dan hidup dengan pola baik. Ketidakpercayaan itu membuatnya mencari opini kedua dari sejumlah rumah sakit. Salah satu dokter menyarankan PET scan, prosedur pencitraan medis lanjutan untuk melihat penyebaran sel kanker. Hasilnya menunjukkan sel kanker sudah menyebar ke kelenjar getah bening. Ia pun disarankan menjalani mastektomi, yaitu pengangkatan seluruh jaringan payudara, bukan hanya benjolannya. Tindakan ini diperlukan karena ukuran kanker yang besar serta risiko penyebaran jika tidak segera ditangani.

Keputusan mastektomi bukan hal mudah. Dampaknya tak hanya fisik, tetapi juga psikologis, terutama bagi perempuan yang menganggap payudara bagian dari identitas diri. Rulita sempat menanyakan kemungkinan hanya mengangkat benjolan, tetapi dokter menjelaskan itu berisiko memicu penyebaran ke payudara sebelahnya. β€œTiba-tiba, saya harus berubah. Berubah dalam segala hal. Physically, saya harus berubah,” kata Rulita. Dokter memberinya waktu singkat untuk memutuskan, mengingat risiko progresivitas kanker yang tinggi. Dalam waktu cepat, ia harus mempersiapkan diri menghadapi perubahan besar, baik fisik maupun emosional. β€œJadi, akhirnya, mau tidak mau, saya harus terima. Dalam waktu singkat, semuanya harus saya persiapkan. Saya juga belum tahu, setelah dioperasi bagaimana? Kondisi saya bagaimana? Fisik saya bagaimana? Itu benar-benar di luar bayangan,” ujarnya. β€œSaya menyadari dokter sudah tahu kondisi saya, lebih dari saya sendiri. Ya, saya serahkan semuanya kepada dokter. Saya mastektomi di Siloam MRCCC Semanggi.”

Operasi dilakukan pada 29 Maret 2019. Setelahnya, Rulita menjalani kemoterapi setiap 21 hari selama 24 siklus, terdiri dari 6 kali kemoterapi dasar yang menyasar seluruh tubuh, dilanjutkan 18 kali target terapi yang lebih fokus pada payudara.

Suasana rumah sakit yang nyaman dengan aroma kopi dan alunan musik piano membuat Rulita merasa tenang saat pertama kali datang ke Siloam MRCCC Semanggi. Pelayanan profesional dan hangat dari dokter serta perawat yang sabar dan empatik sangat membantunya. Saat menjalani mastektomi tanpa didampingi keluarga karena suami sedang di luar kota dan kerabat tinggal di luar Jakarta, dukungan tim medis sangat berarti. Bagi Rulita, Siloam MRCCC Semanggi bukan hanya tempat berobat, tetapi juga ruang penyembuhan jiwa. β€œSaya jatuh cinta sama Siloam MRCCC Semanggi, karena saya rasakan betul-betul, saat baru operasi masih lemah, tapi suster bisa standby,” ucapnya. β€œSemua cepat responsnya, apalagi saya baru dioperasi dan ini pertama kali saya merasakan seperti ini, ya luar biasa sih pelayanannya,” tambahnya.

Menjalani pengobatan sambil tetap menjalankan peran sebagai ibu dan pekerja bukan hal mudah. Ia sempat khawatir penyakit ini akan mengambil banyak hal, termasuk perannya sebagai ibu dan kebahagiaan dalam hidup. Namun kenyataannya justru sebaliknya. Dukungan suami, anak-anak, orang tua, mertua, dan keluarga menjadi kekuatan utamanya. Suaminya yang tak banyak bicara tetap menunjukkan perhatian tulus dan selalu mendampingi setiap langkah pengobatan. Dua anak kembarnya, Sava dan Malva (17), sempat dimondokkan agar Rulita bisa fokus berobat. β€œJadi kayak sedih gitu kan, harus jauh juga. Bingung karena dihadapkan lingkungan baru. Jadi harus ngikutin keinginan mami dulu, biar fokusnya juga nggak kebelah,” ucap Malva. Keputusan itu awalnya sulit diterima, tetapi seiring waktu mereka mulai memahami dengan penuh pengertian.

Momen paling mengharukan terjadi saat Rulita harus merelakan rambutnya yang rontok akibat kemoterapi. Di tengah ketakutannya menghadapi perubahan fisik drastis, suami dan anak-anaknya justru mencukur rambut mereka hingga botak sebagai bentuk solidaritas. β€œKita support mami dengan memotong rambut sama-sama. Sampai botak,” kata Beni. β€œItu sweet banget buat saya,” sahut Rulita.

Setelah melewati berbagai rintangan, Rulita dinyatakan remisi pada 2022. Meski begitu, ia tetap dalam pemantauan intensif selama 10 tahun ke depan karena kankernya tergolong agresif. Kanker bisa kembali kapan saja, bahkan saat tubuh dalam kondisi prima. Hingga kini, Rulita masih rutin memeriksakan diri dan mempertahankan port kemoterapi yang terpasang, sebagai antisipasi jika pengobatan lanjutan diperlukan. β€œSaya punya nazar sama Allah, saya punya janji. Ya Allah, kalau saya diizinkan sehat lagi, terus berjuang dan survive, saya ingin mendedikasikan diri untuk membantu teman-teman kanker yang masih berjuang,” ucapnya. Ia juga bermimpi suatu saat bisa membantu sesama penderita kanker.

Menurut dr. Rachmat Christian Nikijuluw Sp.B(K) Onk, spesialis bedah subspesialis bedah onkologi dari Siloam MRCCC Semanggi, terdapat sejumlah faktor risiko kanker payudara, terutama genetik dan hormonal. Namun faktor genetik hanya menyumbang 5-10 persen kasus. Sebagian besar disebabkan ketidakseimbangan hormonal dalam tubuh, seperti menarche di bawah 12 tahun atau menopause di atas 54 tahun. Kedua kondisi ini membuat tubuh terpapar estrogen dan progesteron lebih lama, yang meningkatkan risiko kanker. Kadar hormon tinggi akibat terapi hormon atau pengobatan penyakit lain juga bisa jadi pemicu. β€œItu merupakan faktor risiko dari kanker payudara,” ujarnya saat ditemui di Siloam MRCCC Semanggi, Selasa (29/4).

Gejala paling khas kanker payudara adalah munculnya benjolan, bisa tanpa rasa nyeri. Ini justru yang perlu diwaspadai, terutama karena banyak yang mengira benjolan tak sakit bukan sesuatu yang serius. Pada stadium awal, benjolan tanpa nyeri justru patut dicurigai, apalagi jika berkembang cepat. Deteksi dini sangat penting untuk meningkatkan peluang kesembuhan. Semakin dini kanker ditemukan, semakin tinggi tingkat survival. Pada banyak kasus stadium awal, pasien bahkan bisa menjalani pengobatan tanpa harus kehilangan payudara. Sayangnya, masih banyak yang enggan memeriksakan diri karena takut harus segera dioperasi atau diambil jaringan untuk biopsi. Ketakutan ini diperparah mitos bahwa biopsi bisa menyebabkan penyebaran kanker, padahal prosedur ini penting untuk memastikan diagnosis dan menentukan pengobatan yang tepat.

Pemeriksaan dini bisa dilakukan secara mandiri maupun medis. Selain SADARI (pemeriksaan payudara sendiri), SADANIS (pemeriksaan klinis oleh dokter) juga sangat penting, terutama bila ditemukan benjolan mencurigakan. Tindakan diagnostik seperti USG payudara, mamografi, hingga biopsi membantu deteksi kanker lebih akurat dan pada tahap lebih awal. Bila sel kanker ditemukan, pengobatan bisa segera dilakukan sesuai kondisi pasien. Di Siloam MRCCC Semanggi, pendekatan pengobatan disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing pasien, mulai dari operasi yang tetap mempertahankan payudara, rekonstruksi langsung setelah pengangkatan, hingga terapi lanjutan seperti kemoterapi, terapi target berbasis biomolekuler, dan radioterapi. Setiap pasien mendapatkan terapi individual atau individualized tailored therapy, karena karakteristik kanker tiap orang berbeda. β€œPentingnya kita melakukan deteksi dini. Paling penting adalah meningkatkan persentase survival, karena semakin dini penyakit itu kita temukan, tingkat survivalnya semakin tinggi,” kata dr. Rachmat.

Data Riset Terbaru 2024-2025: Deteksi Dini dan Terapi Personalisasi Kanker Payudara

Studi global dari International Breast Cancer Study Group (2024) menunjukkan bahwa deteksi dini melalui mamografi berkala meningkatkan angka kelangsungan hidup 5 tahun hingga 92% pada kanker payudara stadium I, dibandingkan 45% pada stadium III. Di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, sekitar 60% kasus masih terdeteksi pada stadium lanjut (IIIB ke atas), menurut riset yang diterbitkan di Asian Pacific Journal of Cancer Prevention (2024). Hal ini diperparah oleh rendahnya partisipasi perempuan dalam skrining rutin, hanya sekitar 28% pada kelompok usia 40-50 tahun.

Inovasi terbaru dalam terapi kanker payudara menunjukkan kemajuan signifikan. Terapi target berbasis biomarker seperti CDK4/6 inhibitors (Palbociclib, Ribociclib) dan pemblokir jalur PI3K telah meningkatkan respons terapi hingga 35% pada kanker payudara HER2-negatif dengan mutasi PIK3CA. Selain itu, pengembangan vaksin kanker payudara personalisasi berbasis neoantigen sedang diuji dalam uji klinis fase II di Singapura dan menunjukkan potensi memicu respons imun spesifik sel-T.

Di Indonesia, riset dari Universitas Indonesia (2024) mencatat peningkatan 22% dalam angka diagnosis dini sejak 2020, berkat program edukasi masyarakat dan pelatihan tenaga kesehatan dalam pemeriksaan klinis. Namun, disparitas masih terlihat antara wilayah urban dan rural, di mana akses ke mamografi dan USG masih terbatas.

Studi Kasus: Dampak Psikologis dan Pemulihan Fisik Pasca Mastektomi

Sebuah studi kualitatif dari Universitas Gadjah Mada (2024) melibatkan 30 pasien mastektomi di Jawa menemukan bahwa dukungan keluarga menjadi faktor penentu utama dalam pemulihan psikologis. Pasien yang memiliki dukungan emosional kuat dari pasangan dan anak-anak menunjukkan skor depresi yang 40% lebih rendah dibandingkan yang tidak. Solidaritas seperti mencukur rambut bersama, sebagaimana dilakukan keluarga Rulita, terbukti secara signifikan meningkatkan rasa harga diri dan penerimaan diri pasien.

Infografis: Jalur Deteksi dan Penanganan Kanker Payudara di Indonesia (2024)

  • 60% kasus terdeteksi pada stadium lanjut (IIIB ke atas)
  • 28% perempuan usia 40-50 tahun rutin melakukan skrining
  • 78% pasien mengaku takut terhadap biopsi karena mitos penyebaran kanker
  • 92% angka kelangsungan hidup 5 tahun pada stadium I dengan deteksi dini
  • 35% peningkatan respons terapi dengan CDK4/6 inhibitors pada kasus lanjut

Setiap perjuangan melawan kanker adalah ujian fisik sekaligus batin. Namun di balik rasa takut dan rasa sakit, ada kekuatan luar biasa yang lahir dari keteguhan hati, dukungan keluarga, dan harapan akan hari esok. Kanker bukan akhir, melainkan awal dari transformasi diri menuju hidup yang lebih bermakna. Jangan pernah meremehkan kekuatan deteksi dini, karena satu langkah kecil hari ini bisa jadi penyelamat nyawa di masa depan. Terus bergerak, terus melawan, dan jadilah pelita bagi sesama yang masih mencari cahaya di tengah gelapnya perjuangan.

Baca Berita dan Info Kesehatan lainnya di Seputar Kesehatan Page

Tinggalkan Balasan