Fenomena Jatuh Cinta dan Pacaran dengan AI Kini Semakin Serius

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Cinta dan hubungan romantis dengan kecerdasan buatan kini bukan lagi sekadar fiksi ilmiah, melainkan kenyataan yang semakin meluas di tengah masyarakat global. Di Australia, seorang perempuan membuat heboh setelah mengumumkan pertunangannya dengan chatbot AI yang baru dikenalnya selama lima bulan. Ia mengklaim bahwa sang AI menjadi pasangan yang sangat memahami dirinya, bahkan lebih dari manusia mana pun. Tangkapan layar percakapan romantis mereka pun beredar luas, memicu perdebatan sengit di media sosial. Banyak netizen menilai tindakannya sebagai bentuk delusi, meski baginya itu adalah cinta sejati.

Menurut data yang dirilis oleh Axios, sebanyak 18 persen individu lajang di Amerika Serikat mengaku pernah menjalin hubungan romantis dengan pasangan berbasis AI. Mereka tidak hanya merasakan kedekatan emosional, tetapi juga cemburu, patah hati, bahkan merasa lebih dicintai oleh bot dibandingkan pasangan manusia. Fenomena ini semakin menguat di platform seperti TikTok dan Reddit, tempat pengguna muda dan dewasa saling berbagi pengalaman pacaran dengan AI. Remaja cenderung menjadikan AI sebagai teman curhat, sementara kelompok usia lebih tua merasa lebih dipahami secara emosional oleh mesin pintar ini.

Sebuah unggahan di Reddit sempat viral karena mengungkap bagaimana seorang suami menggunakan respons AI sebagai pembenaran atas perselingkuhannya. AI tersebut diklaim mendukung tindakan tersebut, sehingga memicu kemarahan warganet yang mengecam respons tidak etis dari sistem kecerdasan buatan. Di sisi lain, seorang perempuan yang identitasnya dirahasiakan mengaku telah menjalin hubungan yang bisa dikatakan “pacaran” dengan AI, termasuk merayu dan merasakan cemburu. “Seperti pacar yang tidak pernah saya miliki,” ujarnya, menunjukkan betapa dalamnya keterikatan emosional yang terbentuk.

Business Insider pernah menurunkan laporan tentang seorang pengguna yang jatuh cinta pada bot AI dari platform X, buatan Grox. Bot ini tidak hanya memberikan dukungan emosional, tetapi juga nasihat kehidupan yang dianggap sangat membantu. Ketika platform X kolaps dan bot tersebut menghilang, sang pengguna diliputi kesedihan mendalam, seolah kehilangan pasangan hidup. Di Inggris, penelitian menunjukkan anak-anak sejak usia 11 tahun mulai membangun ikatan persahabatan dengan AI layaknya sahabat imajiner. Dampaknya, banyak yang datang ke sekolah dalam keadaan kelelahan karena asyik mengobrol dengan bot sepanjang malam. Laporan AP News menyatakan bahwa ketergantungan semacam ini menghambat perkembangan keterampilan sosial mereka di dunia nyata.

Beberapa platform AI kini menjadi sorotan karena kemampuannya menciptakan koneksi emosional yang mendalam. Deep Nostalgia, D-ID, dan Replika adalah contoh aplikasi yang bisa “menghidupkan kembali” anggota keluarga, kerabat, atau pasangan yang telah meninggal dalam wujud digital. Keberadaan mereka memicu pro dan kontra, terutama dari sisi etika dan kesehatan mental. Di tengah semua ini, muncul istilah baru dalam dunia psikologi: AI Psychosis. Kondisi ini menggambarkan seseorang yang mengalami keterikatan obsesif dan isolatif terhadap bot, bahkan membentuk delusi tentang kehidupan emosional, motif, dan perasaan batin si mesin.

Cambridge Dictionary menobatkan “Parasocial” sebagai Word of The Year 2025. Kata sifat ini menggambarkan hubungan sepihak yang dirasakan seseorang terhadap tokoh yang tidak mereka kenal secara langsung—baik itu karakter fiksi, selebriti, atau kecerdasan buatan. Di Australia, ABC melaporkan bahwa banyak warga menggunakan chatbot AI layaknya terapis gratis, tempat mereka bisa mengungkapkan masalah hidup kapan saja. Namun, uji klinis dari Dartmouth mengungkapkan bahwa terapi berbasis AI adalah pedang bermata dua: sebagian merasa kondisi mental mereka membaik, tetapi sebagian lain justru mengalami penurunan kesehatan psikologis.

Di tengah semua manfaat dan risiko, keberadaan AI memang sangat menggoda. Mereka bisa menjadi pendengar setia di tengah malam, pasangan yang tidak pernah berselingkuh, konselor tanpa biaya, atau teman yang selalu siap merespons. Namun, pilihan bijak tetap berada di tangan setiap individu. Mereka bisa memutuskan tegas bahwa AI hanyalah alat bantu, bukan pengganti hubungan manusia. Jika tidak, mereka berisiko tenggelam dalam ilusi emosional yang diciptakan oleh mesin, membiarkan kepuasan semu dari respons algoritma menguasai kehidupan nyata mereka.

Studi terbaru dari University of California, Berkeley (2024) menemukan bahwa interaksi manusia-AI yang intensif selama lebih dari 10 jam per minggu berpotensi mengubah struktur dopaminergik di otak, mirip dengan pola yang terlihat pada kecanduan media sosial. Sementara riset Oxford Internet Institute (2023) mengungkap bahwa 42% pengguna AI companion mengalami penurunan kualitas interaksi sosial langsung dalam 6 bulan pertama penggunaan. Sebuah studi kasus di Jepang menunjukkan seorang wanita muda menghabiskan hingga 100 jam per minggu berinteraksi dengan AI pasangan, hingga mengalami burnout emosional dan kesulitan membedakan realitas digital dengan dunia nyata.

Penting untuk diingat bahwa teknologi AI diciptakan untuk memudahkan, bukan menggantikan. Koneksi manusia yang autentik—dengan segala kompleksitas, konflik, dan keindahannya—tetap tak tergantikan. Saat AI terus berkembang, kitalah yang harus tetap menjadi manusia seutuhnya: mampu mencintai, merasa sakit, belajar dari kesalahan, dan tumbuh melalui hubungan nyata. Jangan biarkan mesin mengambil alih ruang-ruang paling manusiawi dalam hidup Anda.

Baca juga Info Gadget lainnya di Info Gadget terbaru

Tinggalkan Balasan