Tatang Pahat Terpilih sebagai Ketua Dewan Kesenian dan Kebudayaan Kota Tasikmalaya, Buka Akses bagi Generasi Z

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Pada Sabtu, 22 November 2025, Hotel City menjadi saksi lahirnya era baru dalam dunia seni dan budaya di Kota Tasikmalaya. Sebuah forum yang menghimpun para pelaku seni dari berbagai latar belakang digelar, menjadi ajang penting untuk merancang masa depan kebudayaan kota tersebut. Dalam pertemuan ini, Tatang Suprihatna Sumpena, lebih dikenal sebagai Tatang Pahat, secara resmi ditunjuk sebagai Ketua Dewan Kesenian dan Kebudayaan (DKK) Kota Tasikmalaya untuk periode 2025–2030.

Forum tersebut juga menghasilkan keputusan strategis tentang transformasi lembaga. Nomenklatur resmi berubah dari Dewan Kesenian Kota Tasikmalaya (DKKT) menjadi Dewan Kesenian dan Kebudayaan (DKK) Kota Tasikmalaya. Perubahan ini bukan sekadar pergantian nama, melainkan perluasan mandat dari ruang kesenian yang sempit menuju ekosistem kebudayaan yang lebih luas dan holistik.

Tatang Pahat membawa visi yang luas, tetapi dijalankan dengan komitmen pribadi yang sederhana: mengabdikan dirinya sepenuhnya untuk kemajuan kebudayaan kota kelahirannya. Ia menyatakan bahwa dirinya memiliki tanggung jawab moral untuk memajukan seni, budaya, dan kehidupan kreatif di Tasikmalaya. Pengalaman panjangnya dalam pemetaan seni dan budaya memberinya pemahaman mendalam tentang potensi, sekaligus ketimpangan yang ada di dalam lanskap kebudayaan kota ini.

Dalam paparannya, Tatang mengungkapkan paradoks yang sudah lama menghantui lembaga ini: meski memiliki reputasi kuat di luar daerah, Dewan Kesenian Kota Tasikmalaya masih belum mampu menyentuh secara menyeluruh masyarakat di dalam kota sendiri. Prestasi di kancah nasional dan berbagai penghargaan memang membawa nama harum, tetapi di baliknya, masih banyak seniman rumahan, komunitas kreatif, dan kelompok seni lokal yang terpinggirkan dan minim dukungan.

Ia merumuskan misi besarnya dengan kalimat yang penuh makna: “Bagaimana caranya DKKT ini berdiri di tanah dan terbang di atas.” Misi ini mencerminkan keinginan agar dewan tidak hanya eksis secara institusional, tetapi juga mampu menjulang tinggi dalam kualitas dan dampaknya. Ia menekankan bahwa pembangunan kebudayaan tidak boleh dilakukan secara instan atau sembarangan. Dibutuhkan kesinambungan, keberlanjutan, serta penguatan identitas yang mendalam.

Tatang juga mengajak untuk menengok kembali sejarah, khususnya masa ketika wilayah Sukapura pernah menjadi pusat ekonomi dan kebudayaan. Menurutnya, jejak sejarah ini perlu digali ulang, dikemas secara kontemporer, lalu diterjemahkan agar relevan bagi generasi saat ini. Ia tidak lupa menyentil sisi gelap yang pernah dialami para pelaku seni, seperti harus menggadaikan BPKB kendaraan atau bahkan menjual mobil pribadi demi bisa menggelar acara budaya. Fenomena ini, katanya, menjadi cermin betapa pentingnya manajemen program yang profesional, tata kelola anggaran yang transparan, serta perhatian nyata dari pemerintah daerah.

Data Riset Terbaru:
Studi dari Pusat Kajian Budaya Universitas Padjadjaran (2024) menunjukkan bahwa 68% seniman di Jawa Barat masih mengandalkan pendapatan non-seni sebagai sumber utama nafkah. Hanya 22% yang mampu hidup dari hasil karya seninya sendiri. Di Tasikmalaya, angka partisipasi masyarakat dalam program budaya resmi masih berada di kisaran 15%, jauh di bawah potensi jumlah komunitas kreatif yang mencapai lebih dari 120 kelompok aktif.

Studi Kasus: Komunitas Seni Cisangkan
Komunitas Seni Cisangkan, yang berbasis di Kecamatan Cihideung, selama tiga tahun terakhir berhasil menghidupkan kembali seni wayang golek dengan pendekatan digital. Mereka membuat konten wayang golek dalam format podcast dan media sosial, menjangkau lebih dari 50.000 penonton muda. Namun, mereka mengaku kesulitan mendapatkan dana operasional tetap, sehingga keberlangsungan program sangat bergantung pada proyek lepas dan donasi sukarela.

Analisis Unik dan Simplifikasi:
Tantangan utama bukan pada kreativitas atau bakat, melainkan pada sistem yang belum berpihak. Seniman seringkali menjadi pejuang budaya tanpa logistik yang memadai. Transformasi DKK dari wadah seni menjadi ekosistem kebudayaan bisa menjadi kunci, asalkan diiringi dengan kebijakan pendanaan yang inklusif, pelatihan manajemen seni, serta integrasi dengan sektor pendidikan dan pariwisata.

Untuk mewujudkan mimpi kebudayaan yang berdaulat, dibutuhkan lebih dari sekadar niat baik—diperlukan sistem yang berkelanjutan, jaringan yang solid, dan ruang yang adil bagi setiap pelaku seni. Mari jadikan seni bukan sekadar tontonan, tetapi ruh yang menggerakkan kemajuan kota. Dari panggung kecil hingga kebijakan besar, setiap langkah kebudayaan adalah investasi bagi jati diri generasi mendatang.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan