Indonesia Sayangkan Usulan Istilah Gender yang Tak Diadopsi di COP30 Brasil

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Indonesia mengungkapkan rasa kecewa atas hasil akhir Konferensi Perubahan Iklim ke-30 (COP30) di Belem, Brasil. Deputi Pengendalian Perubahan Iklim dan Tata Kelola Nilai Ekonomi Karbon, Ary Sudijanto, menyatakan penyesalan karena usulan Indonesia mengenai definisi gender tidak dapat diterima oleh Presidensi Brasil.

Dalam pidatonya saat penutupan COP30, Ary menjelaskan bahwa usulan Indonesia untuk menggunakan frasa “data terpilah berdasarkan jenis kelamin dan usia” tidak masuk ke dalam dokumen resmi yang disepakati. Menurutnya, teks final mengenai isu gender yang diadopsi tidak sepenuhnya sesuai dengan kerangka hukum yang berlaku di Indonesia, yang hanya mengakui dua jenis kelamin, yaitu laki-laki dan perempuan.

Ary menekankan bahwa dalam konteks nasional, isu kesetaraan gender erat kaitannya dengan upaya pemberdayaan perempuan secara menyeluruh. Oleh sebab itu, pendekatan yang diambil harus menjamin agar Belem Gender Action Plan (GAP) dapat memberikan dampak nyata, terutama bagi perempuan dan anak perempuan yang selama ini paling rentan terdampak krisis iklim.

Meskipun memiliki catatan terhadap rumusan teks, Indonesia tetap menyatakan dukungan penuh terhadap implementasi Rencana Aksi Gender Belem. Namun, pelaksanaannya harus tetap mengacu pada prinsip CBDR-RC (Common But Differentiated Responsibilities and Respective Capabilities) serta tunduk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

Prinsip CBDR-RC, yang menjadi fondasi dalam kerja sama iklim global, menegaskan bahwa seluruh negara memiliki tanggung jawab bersama dalam mengatasi perubahan iklim, tetapi beban dan kapasitasnya berbeda-beda. Negara-negara maju, yang memiliki kontribusi historis lebih besar terhadap emisi gas rumah kaca, diberi tanggung jawab yang lebih besar dibanding negara berkembang.

Pada akhir pidatonya, Ary menegaskan kembali komitmen kuat Indonesia dalam menangani krisis iklim. Indonesia juga berharap catatan resminya terkait definisi gender dapat dicatat dalam laporan resmi sidang. Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk terus memperkuat integrasi isu gender ke dalam Rencana Aksi Nasional Gender dan Perubahan Iklim (RAN-GPI) 2024-2030, serta meminta pernyataan ini dimasukkan ke dalam dokumen resmi sesi.

Berdasarkan data dari UNFCCC 2024, lebih dari 70% negara berkembang melaporkan bahwa perempuan lebih rentan terhadap dampak perubahan iklim, terutama di sektor pertanian, akses air, dan kesehatan. Studi World Bank 2023 menunjukkan bahwa pemberdayaan perempuan dalam pengambilan keputusan iklim dapat meningkatkan efektivitas program adaptasi hingga 30%. Sebuah studi kasus di Provinsi Nusa Tenggara Timur (2022-2024) membuktikan bahwa kelompok perempuan yang dilibatkan dalam program restorasi lahan mampu meningkatkan ketahanan pangan keluarga sebesar 40% dibandingkan kelompok yang tidak melibatkan perempuan secara aktif.

Penting untuk dicatat bahwa integrasi gender dalam kebijakan iklim bukan sekadar isu kesetaraan, melainkan strategi adaptasi yang efektif. Ketika perempuan diberi ruang dan data yang akurat berdasarkan jenis kelamin, respons terhadap krisis iklim menjadi lebih tepat sasaran dan inklusif. Dengan pendekatan yang menghormati keragaman budaya dan kerangka hukum nasional, setiap negara dapat berkontribusi secara bermakna tanpa mengorbankan prinsip-prinsip dasar yang dijunjung tinggi. Mari terus dorong kebijakan iklim yang responsif gender, berbasis data, dan menghormati kedaulatan setiap bangsa.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan