Pernyataan Wakil Ketua DPR Menimbulkan Kontroversi, Tagar #prayforahligizi Melanda Medsos

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Jakarta – Kata kunci #prayforahligizi menjadi tren di media sosial setelah video pernyataan Wakil Ketua DPR RI, Cucun Ahmad Syamsurijal, tersebar luas. Video tersebut direkam saat Rapat Konsolidasi Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, yang membahas program Makan Bergizi Gratis (MBG).

Dalam potongan video yang viral, ada beberapa pernyataan yang menimbulkan reaksi keras. Salah satunya adalah pengucapan bahwa ahli gizi tidak diperlukan dalam program MBG, sehingga lulusan SMA bisa menggantikan posisi tersebut setelah pelatihan dan sertifikasi selama tiga bulan. Cucun juga menyebut salah satu peserta diskusi sebagai “arogan” karena membahas kebijakan MBG.

Selain itu, ia menyatakan bahwa persyaratan tenaga ahli gizi dianggap terlalu ketat. Oleh karena itu, dia mengusulkan untuk mengganti istilah “ahli gizi” menjadi “tenaga yang menangani gizi” agar rekrutmen dapat lebih fleksibel dan dapur MBG tidak mengalami kekurangan tenaga.

Pernyataan tersebut dianggap merendahkan pendidikan ahli gizi, mengabaikan kompetensi ilmiah yang diperoleh selama bertahun-tahun di kampus, dan menurunkan martabat profesi ini yang memiliki peran penting dalam penanganan stunting dan kesehatan masyarakat.

Tak heran jika video tersebut memuncak reaksi. Ahli gizi menganggap analogi tersebut tidak tepat, sebab gizi tidak hanya tentang pengawasan makanan, tetapi juga melibatkan penilaian kebutuhan nutrisi, manajemen keamanan pangan, perhitungan kalori, risiko alergi, hingga evaluasi status gizi anak secara sistematis.

Wacana ini bermula dari pernyataan Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana, tentang kesulitan merekrut ahli gizi untuk SPPG. Laporannya mencatat bahwa beberapa dapur MBG mengalami kekurangan tenaga gizi karena jumlah lulusan gizi tidak selalu sesuai dengan kebutuhan di lapangan.

Oleh karena itu, ide muncul untuk membuka peluang bagi tenaga non-gizi seperti tata boga, boga kesehatan, atau jurusan kesehatan masyarakat. Wacana ini kemudian berkembang menjadi pembahasan regulasi yang memungkinkan lulusan non-gizi mengisi posisi ahli gizi.

Ketika Wakil Ketua DPR merespons pernyataan tersebut dalam acara yang viral, publik menganggapnya sebagai pengabaian terhadap keilmuan gizi, sehingga isu ini cepat merebak.

Data menunjukkan bahwa Indonesia memiliki banyak lulusan gizi setiap tahun, dengan ratusan hingga ribuan sarjana yang lulus dari sekitar 80 program studi gizi di seluruh Indonesia. Jadi, klaim bahwa ahli gizi “langka” tidak benar, melainkan lebih mungkin masalah distribusi, pola rekrutmen, dan sistem kerja yang membuat profesi ini kurang diminati.

Publik semakin mempertanyakan alasan di balik wacana pelonggaran regulasi dan mengapa solusi yang muncul justru menggantikan ahli gizi dengan tenaga non-gizi.

Gelombang kritik terhadap pernyataan Wakil Ketua DPR itu tidak hanya datang dari para ahli gizi atau akademisi, tetapi juga dari beberapa tokoh publik yang ikut bersuara di media sosial.

Dr. Tan Shot Yen, seorang pakar kesehatan, menjadi salah satu yang keras menolak pernyataan tersebut. Dia membandingkan wacana mengganti ahli gizi dengan lulusan SMA yang telah mengikuti pelatihan tiga bulan dengan “meminta petugas ground handling untuk menerbangkan pesawat hanya karena telah mengikuti pelatihan singkat.” Perbandingan ini langsung menjadi viral dan memicu tagar #prayforahligizi.

Persatuan Ahli Gizi Indonesia (PERSAGI) juga memberikan tanggapan resmi. Mereka menegaskan bahwa profesi ahli gizi memiliki standar kompetensi yang tidak bisa digantikan oleh pelatihan singkat. PERSAGI menyoroti bahwa perhitungan kebutuhan gizi ribuan anak, pengawasan dapur besar, dan manajemen keamanan pangan bukan pekerjaan administratif, tetapi tugas profesional yang memerlukan pendidikan formal dan magang klinis yang jelas.

Di luar lingkaran profesi gizi, dua tokoh publik juga membahas isu ini melalui Instagram mereka. Rocky Gerung, misalnya, mengkritik dengan unggahan, “Kalau ahli gizi bisa diganti anak SMA kursus 3 bulan, harusnya anggota DPR bisa diganti anak TK magang 3 hari.”

Sementara itu, Charles Honoris, Wakil Ketua Komisi IX DPR, juga mengungkapkan kekhawatiran bahwa MBG bukan hanya tentang menghidupi, tetapi memastikan makanan benar-benar bergizi dan aman. Ia menjelaskan peran penting ahli gizi dan risiko jika mereka tidak terlibat dalam program ini. Ia mendukung BGN untuk melibatkan ahli gizi dalam mendukung program MBG.

Setelah kritikan dari berbagai pihak, Cucun meminta maaf dan mengajak PERSAGI serta BGN untuk berdiskusi di DPR dalam rangka penguatan program MBG melalui kerjasama dengan PERSAGI dan BGN.

Dalam klarifikasi, ia mengaku bahwa ungkapan dalam video tidak bermaksud merendahkan profesi gizi. Menurutnya, dia hanya berdiskusi tentang solusi jangka pendek jika tenaga gizi tidak mencukupi dalam implementasi MBG. Jika ada tenaga non-gizi yang direkrut, harus melalui pelatihan yang panjang dan uji kompetensi, bukan pelatihan tiga bulan tanpa standar.

Namun, klarifikasi ini belum sepenuhnya meredakan keresahan publik karena kontroversi ini sudah terlanjur meluas.

Studi kasus terkini menunjukkan bahwa program-program gizi yang sukses di negara lain selalu melibatkan ahli gizi profesional. Misalnya, di beberapa negara Asia Tenggara, kehadiran ahli gizi dalam pengelolaan program gizi nasional telah memastikan pemberian nutrisi yang tepat dan aman bagi anak-anak. Pengalaman ini membuktikan bahwa kompetensi ahli gizi tidak bisa digantikan dengan pelatihan singkat atau non-formal.

Infografis yang relevan dengan topik ini bisa menunjukkan perbandingan antara tugas ahli gizi dan tenaga non-gizi dalam pengelolaan program gizi. Visualisasi ini akan membantu publik memahami perbedaan kompetensi dan pentingnya peran ahli gizi dalam menjamin keamanan dan kualitas pangan.

Tidak ada solusi mudah dalam menghadapi tantangan gizi di Indonesia, tetapi langkah yang tepat adalah menghargai profesi ahli gizi dan memberikan peluang yang adil bagi mereka. Program MBG harus menjadi peluang untuk memperbaiki distribusi sumber daya manusia gizi, bukan meredamnya. Mari kita dukung upaya untuk meningkatan kesadaran akan pentingnya nutriisi dalam mengembangkan generasi yang sehat dan berkembang optimal.

Pengalaman yang ada menunjukkan bahwa investasi dalam pendidikan dan pelatihan ahli gizi akan membawa manfaat jangka panjang bagi masyarakat. Jangan biarkan pandangan sempit merusak potensi program gizi yang seharusnya berdampak positif.

Baca Berita dan Info Kesehatan lainnya di Seputar Kesehatan Page

Tinggalkan Balasan