Akademisi UTA’45 Menilai Putusan MK tentang Aturan Polisi di Jabatan Sipil Kurang Tepat

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Fernando Emas, seorang akademisi dari Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta, memberikan kritikan terhadap keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang meminta polisi untuk mengundurkan diri jika ingin memegang jabatan di luar institusi Polri. Menurutnya, keputusan tersebut hanya didasarkan pada keinginan masyarakat, tanpa analisis mendalam.

“MK dalam menilai UU Polri harus lebih teliti dan memahami konteks secara menyeluruh, bukannya hanya mengikuti aliran pendapat umum,” kata Fernando kepada wartawan, Sabtu (15/11/2025). Ia menilai keputusan tersebut tidak tepat karena hanya mencerminkan apalagi tidak memperhatikan aspek hukum yang sebenarnya.

Fernando menilai MK tidak memahami secara baik Pasal 8 UU Kepolisian yang diubah pasca reformasi 1998. Ia mengecam ketidakkonsistenan MK dalam memutuskan kasus ini, berbanding terbalik dengan keputusan terkait UU TNI sebelumnya. “MK harus independen dalam mengambil keputusan, tanpa terpengaruh tekanan dari pihak lain, tetapi didasarkan pada alasan hukum dan nilai-nilai konstitusional,” katanya.

Ia juga menjelaskan bahwa pembatasan terhadap TNI untuk memegang jabatan sipil adalah konstitusional, sesuai dengan reformasi. Namun, hal ini berbeda dengan kasus Polri, karena anggota polisi termasuk dalam kategori sipil. “Oleh karena itu, wajar jika Polri bisa memegang beberapa posisi sipil untuk memaksimalkan kinerja di berbagai kementerian atau lembaga,” tambahnya.

Fernando mengusulkan agar Presiden Prabowo Subianto menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) untuk mengatur kembali posisi jabatan sipil yang bisa diisi oleh anggota polisi aktif. Namun, catatan pentingnya adalah pembatasan jumlah dan jenis jabatan yang bisa diisi oleh anggota Polri.

Mahkamah Konstitusi telah mengabulkan gugatan terhadap UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Keputusan ini memaksa polisi untuk mengundurkan diri secara permanen jika ingin menjabat di luar institusi Polri. Putusan ini dibacakan di gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (13/11/2025), yang diajukan oleh Syamsul Jahidin dan Christian Adrianus Sihite.

Dalam pertimbangan, MK menyatakan bahwa Pasal 28 ayat 3 UU Polri memiliki makna sama dengan pasal 10 ayat (3) TAP MPR nomor VII/MPR/2000. Kedua ketentuan itu menegaskan bahwa anggota Polri hanya bisa menduduki jabatan di luar kepolisian setelah pensiun. Frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dihapus karena dianggap membingungkan.

Putusan lengkap yang dibacakan Ketua MK Suhartoyo antara lain adalah mengabulkan permohonan pemohon, menghapus frasa yang membingungkan, dan memuat putusan dalam Berita Negara RI. Ada pula pendapat berbeda dari dua hakim MK, yakni Daniel Yusmic P Foekh dan Guntur Hamzah.

Petitum lengkap pemohon yang dikabulkan oleh MK antara lain mengabulkan permohonan pemohon, memaknai Pasal 28 ayat (3) UU Polri, dan memuat putusan dalam Berita Negara RI.

Keputusan ini mengajak kita untuk memikirkan kembali peran dan batasan kekuasaan di berbagai institusi. Kita perlu memastikan bahwa setiap keputusan hukum didasarkan pada dasar yang kuat dan tidak hanya reaksi terhadap opini publik. Langkah selanjutnya adalah mendorong reformasi yang sehat dan berkelanjutan, sehingga setiap institutusi dapat berfungsi dengan optimal sesuai dengan peran dan tanggung jawabnya.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan