Soeharto: Peran dan dampak tak terlupakan dalam sejarah Indonesia

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Setiap generasi di tanah air ini memiliki tugas untuk menghadapi tantangan zaman masing-masing. Generasi saat ini sedang giat berjuang melawan korupsi sambil beradaptasi dengan era komunitas super cerdas era society 5.0. Tetapi, tantangan yang dihadapi generasi sebelumnya pastilah berbeda.

Pada dekade 1960-an, dunia terpolisi oleh konflik ideologi. Dalam situasi tersebut, Soeharto dan teman-temannya sebagai anggota TNI berperan penting dalam mempertahankan dan mengukuhkan Pancasila sebagai landasan negara dan ideologi bangsa. Kini, kisah perjuangan mereka untuk menjaga Pancasila tetap relevan bisa menjadi pelajaran bagi generasi sekarang.

Catatan sejarah juga mengungkapkan bahwa meskipun Pancasila berhasil diperkuat, masyarakat belum langsung merasakan kesejahteraan yang seharusnya. Yang tampak adalah ketidakpastian dan kerusakan di sektor ekonomi.

Untuk memberikan kepastian, pada 12 Maret 1967, melalui TAP MPRS Nomor XXIII/MPRS/1967, seluruh elemen bangsa yang mewakili MPRS sepakat untuk menunjuk Soeharto sebagai pejabat presiden. Pada waktu itu, MPRS berperan sebagai lembaga tertinggi negara. Bersama dengan teknokrat dan diplomat hebat, Soeharto fokus membangun ketertiban umum dan persatuan sebagai dasar pembangunan ekonomi negara.

Kepemimpinan nasional kemudian dijalankan secara resmi melalui ketetapan MPRS No. XLIV/MPRS/1968 pada 27 Maret 1968. TAP ini mengangkat Soeharto sebagai Presiden RI. Selain memastikan stabilitas nasional dan ketertiban umum, ia juga mengutamakan pembangunan ekonomi.

Bersama para ahli ekonomi, Soeharto merancang rencana pembangunan nasional. Ide-ide ini dibahas dan dikembangkan oleh beberapa teknokrat seperti Widjojo Nitisastro, Emil Salim, Ali Wardhana, Frans Seda, J.B. Sumarlin, Saleh Afiff, Subroto, dan Mohammad Sadli. Dari proses panjang ini, lahir konsep dan strategi pembangunan nasional yang dikenal dengan nama Repelita atau Rencana Pembangunan Lima Tahun. Repelita mengandung Trilogi Pembangunan, meliputi stabilitas, pertumbuhan, dan pemerataan. Fokus pembangunan meliputi sektor pertanian, infrastruktur, dan perumahan rakyat, sering disebut Perumnas.

Pembangunan lima tahun pertama (Pelita) dimulai 1 April 1969 dan berakhir 31 Maret 1974. Repelita selalu diperbarui setiap lima tahun. Sejarah mencatat adanya Pelita II, Pelita III, dan program Pembangunan Jangka Panjang (PJP) Pertama.

Untuk mendukung bisnis dan menciptakan lapangan kerja, Soeharto dan timnya merancang Undang-Undang Nomor 1/1967 tentang penanaman modal asing (UU PMA). Penerapan UU ini membantu meningkatkan produktivitas ekonomi.

Salah satu aspek penting dalam Repelita adalah perhatian pemerintah pada pembangunan desa dan masyarakat, khususnya petani. Soeharto percaya bahwa pembangunan harus menjangkau desa agar sektor pertanian dapat mencapai swasembada pangan. Ini melahirkan berbagai program, seperti Bimas (Bimbingan Massal) dan pembangunan pertanian. Akibatnya, aktivitas ekonomi di desa meningkat, dan kebutuhan akan layanan perbankan pun berkembang.

Bank didorong masuk desa supaya mudah diakses oleh petani. Dari ini, lahir berbagai inisiatif populis yang langsung membantu komunitas petani. Masyarakat mengenal Koperasi Unit Desa (KUD), Program Kupedes (Kredit Umum Pedesaan), Kredit Usaha Tani (KUT) sejak 1985, hingga Simpanan Pedesaan (Simpedes). Kupedes, yang disalurkan melalui BRI, menjadi mekanisme penyediaan kredit untuk mendukung kegiatan ekonomi desa, termasuk pertanian. Kewirausahaan di desa pun berkembang pesat.

Untuk mendukung pembangunan bisnis di kota, Soeharto meminta bank milik negara untuk menyediakan fasilitas kredit yang mudah. Dari ini, pada 1973 lahir Kredit Investasi Kecil dan Kredit Modal Kerja Permanen (KIK/KMKP).

Pada masa itu, tercatat sekitar 9.000 KUD dengan 13,4 juta anggota. KUD, misalnya, diberi tugas menyediakan pupuk, sarana produksi, memasarkan hasil pertanian, hingga melayani simpan-pinjam untuk petani. Hasilnya, desa dan produktivitas petani berkontribusi nyata, seperti terwujudnya swasembada beras pada 1984.

Soeharto juga membangun komunikasi dengan petani dan nelayan melalui program Kelompencapir (kelompok pendengar, pembaca, dan pemirsa). Program ini dijalankan melalui RRI, TVRI, dan koran masuk desa. Lewat program ini, Soeharto memasyarakatkan pembangunan, termasuk Keluarga Berencana (KB). Sementara petani bisa menyampaikan aspirasi mereka. Tidak mengherankan jika dalam setiap sidang kabinet ekonomi, Soeharto dan menterinya membahas harga beras, tomat, bawang, dan cabe. Semua ini karena ia peduli dengan pengendalian inflasi.

Pendidikan dasar pun tidak luput perhatiannya. Ia menerbitkan Inpres No.10/1974 tentang pembangunan sekolah dasar. Hingga 1994, dibangun lebih dari 150.000 unit sekolah SD Inpres.

Untuk mencegah penyebaran ideologi lain, pemerintah menyosialisasikan nilai Pancasila ke seluruh masyarakat. Soeharto menginisiasi Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Aspek lain yang menarik adalah cara Soeharto memilih pemimpin seperti gubernur, bupati, atau walikota. Ia cenderung memilih figur yang sudah melalui program di Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas). Walaupun tidak ada peraturan yang memaksanya, pada masa itu, siapa pun yang ingin menjadi pemimpin umum selalu mengikuti program di Lemhannas.

Demikianlah ringkasan pengabdian Soeharto, Presiden Kedua RI, yang selama lebih dari tiga dekade dinobatkan sebagai “Bapak Pembangunan Indonesia” oleh MPR melalui TAP MPR No. IV/MPR/1983. Gelar ini diberikan atas prestasi pembangunan ekonomi dan infrastruktur yang signifikan melalui program Repelita.

Sejarah Indonesia kini memasuki babak baru yang penuh makna. Pada 25 September 2024, MPR RI periode 2019-2024, dipimpin Bambang Soesatyo, merekatkan langkah historis dengan mencabut tiga Ketetapan MPR yang selama ini menjadi catatan kelam sejarah republik. Dalam satu langkah politik yang menyatukan semua fraksi dan kelompok DPD, MPR RI memulihkan nama baik tiga Presiden RI: Soekarno, Soeharto, dan Abdurrahman Wahid.

TAP MPR yang dicabut adalah TAP MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintah dari Soekarno, TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, serta TAP MPR Nomor II/MPR/2021 tentang Pertanggungjawaban Presiden KH Abdurrahman Wahid.

Keputusan ini disahkan dalam Sidang Akhir MPR 2019-2024 dengan hadirnya lebih dari dua pertiga anggota MPR. Sebelumnya, keputusan ini telah melalui rapat intensif, termasuk Rapat Gabungan Pimpinan MPR dengan seluruh fraksi dan kelompok DPD pada 23 September 2024, yang menandai konsensus nasional.

Dari situ, lahir kesepakatan politik yang langka. Semua fraksi MPR dan kelompok DPD setuju untuk mengakhiri perdebatan panjang tentang tiga Presiden itu. Berdasarkan ketetapan MPR untuk memulihkan nama baik mereka, muncul inisiatif untuk menganugerahi Soeharto gelar Pahlawan Nasional.

Gelar ini bukan sekadar simbol, melainkan penghargaan atas kontribusi yang tidak dapat diragukan-ragukan. Seperti manusia lain, Soeharto pun memiliki kekurangan, tetapi kelemahan itu tidak bisa menghilangkan nilai-nilai pengabdiannya kepada bangsa. Ia muncul saat Indonesia terperangkap dalam konflik ideologi. Ia berjuang untuk mempertahankan Pancasila dan melanjutkan amanah sebagai Presiden dengan membangun secara holistik melalui Repelita. Ia layak dikenang sebagai pahlawan nasional.

Bambang Soesatyo, sebagai penyandang jabatan penting dalam MPR dan DPR, memiliki pengalaman luas dalam dunia hukum dan politik. Ia juga aktif sebagai dosen di beberapa universitas.

Setiap generasi memiliki peran yang berbeda dalam membentuk masa depan negara. Dari perjuangan Soeharto hingga keputusan MPR yang recent, kita melihat betapa pentingnya persatuan dan refleksi untuk membangun masa depan yang lebih baik. Soeharto tidak hanya seorang pejabat, tetapi simbol semangat pembangunan dan keterbukaan dalam memelihara identitas bangsa. Kita harus memanfaatkan pelajaran sejarah ini untuk membangun Indonesia yang lebih kuat dan adil.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan