Milenial Menuntut Pengakuan sebagai Generasi Pemuda dalam Mengenai Makna Kewarganegaraan

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Di ibu kota negara, usaha milenial yang berupaya untuk dianggap sebagai pemuda mengalami kegagalan setelah ditolak oleh Mahkamah Konstitusi. Pengadilan tersebut menolak gugatan yang mengajukan perubahan definisi pemuda dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan. Gugatan dengan nomor perkara 178/PUU-XXIII/2025 disidang di Jakarta, dan pemohon dalam kasus ini meliputi Husnul Jamil, Syafiqurrohman, Hamka Arsad Refra, serta Isbullah Djalil.

Dalam gugatan yang diajukan, mereka meminta agar usia pemuda yang semula 16-30 tahun diubah menjadi 16-40 tahun. Namun, Mahkamah Konstitusi menolak permohonan tersebut. Hal ini berarti generasi milenial, yang lahir antara 1981-1996, tidak termasuk dalam kategori pemuda menurut hukum.

Suhartoyo, Ketua Mahkamah Konstitusi, menegaskan bahwa gugatan tersebut tidak dapat diterima. Menurutnya, para pemohon tidak memiliki wewenang hukum yang cukup untuk mengajukan permohonan tersebut. Mahkamah Konstitusi membenarkan bahwa pemohon tidak dapat membuktikan bahwa mereka mewakili Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) secara sah. Sehingga, permohonan mereka tidak dapat dipertimbangkan lebih lanjut.

Dalam gugatan mereka, pemohon berpendapat bahwa pembatasan usia pemuda hingga 30 tahun menciptakan diskriminasi terhadap warga usia 31-40 tahun. Mereka menganggap warga di rentang usia tersebut masih dapat dikategorikan sebagai pemuda secara sosiologis, biologis, dan psikologis. Selain itu, pemohon menitikberatkan bahwa warga usia 31-40 tahun dihambat untuk bergabung dalam organisasi kepemudaan yang dilindungi negara.

Pemohon juga menyoroti bahwa PBB dan UNESCO menetapkan bahwa kategori youth atau pemuda dapat mencapai usia 35 tahun, bahkan di beberapa negara sampai 40 tahun. Mereka menilai bahwa pembatasan usia hanya hingga 30 tahun tidak memiliki dasar ilmiah dan proporsional, sehingga menimbulkan diskriminasi usia.

Menurut riset terkini, banyak negara telah mengadopsi pengertian yang lebih fleksibel tentang usia pemuda, dengan beberapa yurisdiksi menentukan batas bawahan hingga 40 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa definisi pemuda bisa berbeda-beda tergantung pada konteks sosial dan budaya setempat. Dalam konteks ini, upaya milenial untuk memperluas definisi pemuda mungkin tidak hanya bermaksud untuk memastikan hak-hak mereka, tetapi juga untuk memastikan bahwa mereka masih dianggap sebagai bagian dari kelompok pemuda yang produktif dan aktif dalam masyarakat.

Studi kasus yang dilakukan oleh berbagai lembaga menunjukkan bahwa banyak milenial di berbagai negara mengalami tantangan serupa dalam mendapatkan pengakuan hukum yang sesuai dengan perubahan sosial dan teknologis yang cepat. Dalam era digital, batas usia seringkali tidak lagi relevan untuk menentukan potensi dan kontribusi seseorang dalam masyarakat. Inilah tantangan bagi sistem hukum untuk terus beradaptasi dengan perubahan dinamis dalam struktur masyarakat.

Dalam menghadapi keputusan ini, milenial diharapkan untuk terus mengadvokasi perubahan yang lebih inklusif dalam definisi kepemudaan. Meskipun ada kebatasan hukum saat ini, ini tidak berarti mereka tidak dapat berkontribusi secara signifikan dalam berbagai bidang. Keberaneka-ragaman pandangan dan pendekatan yang berbeda dalam mendefinisikan pemuda justru dapat menjadi pelajaran berharga bagi masyarakat dan pengambil keputusan dalam merumuskan kebijakan yang lebih adil dan progresif.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan