Terungkap! Penyebab Dolar AS Kurang Bertenaga Jelang Tahun Baru

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Mata uang Dolar Amerika Serikat (AS) diprediksi akan mengalami pelemahan menjelang pergantian tahun menuju 2026. Dalam tiga hari kerja terakhir di akhir 2025, indeks Dolar diperkirakan akan turun hingga ke level terendah sekitar US$ 97,57. Jika dilihat dari sisi nilai tukarnya terhadap rupiah, Dolar kemungkinan besar akan bergerak di kisaran Rp 16.740 hingga Rp 16.820. Data terbaru menunjukkan bahwa Dolar sempat melemah ke level Rp 16.700-an pada hari Rabu sebelum libur panjang.

Menurut analisis Ibrahim Assuaibi, Pengamat Mata Uang dan Komoditas, pelemahan indeks Dolar pada akhir tahun ini diperkirakan akan menyentuh support di angka 97,579, dengan resistance di kisaran 98,398. Penurunan ini dipengaruhi oleh melemahnya data perekonomian AS, terutama terkait inflasi yang terus melambat. Kondisi ini membuka kemungkinan besar bagi Federal Reserve (The Fed) untuk kembali menurunkan suku bunga, yang pada gilirannya akan membuat daya tarik Dolar AS sebagai instrumen investasi menurun.

Meski sebelumnya Gubernur The Fed, Jerome Powell, menyatakan bahwa penurunan suku bunga di 2026 mungkin hanya terjadi sekali, namun pasar tetap optimis akan ada penyesuaian kebijakan moneter. Apalagi, perubahan kepemimpinan di The Fed pada bulan April mendatang bisa saja membuat kebijakan moneter lebih mengikuti keinginan Presiden Donald Trump, yaitu dengan memberlakukan suku bunga rendah guna mendorong pertumbuhan ekonomi.

Para pelaku pasar pun mempersepsikan bahwa Federal Reserve akan melanjutkan kebijakan penurunan suku bunga di awal tahun 2026, yang pada akhirnya semakin memperkuat tekanan terhadap nilai tukar Dolar AS.

Dalam konteks global, pelemahan Dolar AS ini juga dipengaruhi oleh ekspektasi terhadap kebijakan moneter negara-negara maju lainnya. Beberapa bank sentral di Eropa dan Asia Pasifik mulai menunjukkan sinyal untuk mempertahankan atau bahkan menaikkan suku bunga mereka, sehingga membuat mata uang mereka relatif lebih menarik dibandingkan Dolar AS. Hal ini turut mempercepat aliran modal keluar dari aset berdenominasi Dolar, yang semakin memperdalam tekanan terhadap mata uang Paman Sam tersebut.

Studi kasus terbaru dari pasar valuta asing menunjukkan bahwa investor mulai beralih ke aset berbasis mata uang lain seperti Euro dan Yen Jepang sebagai alternatif investasi jangka pendek. Selain itu, permintaan terhadap emas sebagai safe haven juga meningkat, seiring dengan meningkatnya ketidakpastian terhadap kebijakan moneter AS. Data dari World Gold Council mencatat kenaikan permintaan emas sebesar 12% pada kuartal terakhir 2025, sebagian besar berasal dari investor institusi yang mengalihkan portofolio dari aset berbasis Dolar.

Pasar keuangan global saat ini juga sedang memantau perkembangan inflasi inti AS yang terus melambat. Indeks Harga Konsumen (CPI) inti pada November 2025 tercatat sebesar 2,1% year-on-year, lebih rendah dari perkiraan pasar sebesar 2,3%. Angka ini menjadi indikator kuat bahwa tekanan inflasi di AS semakin terkendali, sehingga memberi ruang bagi The Fed untuk kembali memangkas suku bunga acuan.

Pergerakan nilai tukar Dolar AS terhadap rupiah juga dipengaruhi oleh faktor domestik. Bank Indonesia (BI) terus menjaga stabilitas nilai tukar rupiah melalui intervensi pasar valas dan kebijakan suku bunga yang kompetitif. Data Bank Indonesia menunjukkan cadangan devisa Indonesia mencapai USD 145,6 miliar pada akhir Desember 2025, memberikan ruang yang cukup bagi BI untuk menjaga stabilitas nilai tukar.

Infografis terbaru dari pasar valas menunjukkan bahwa pasangan USD/IDR memiliki volatilitas mingguan sebesar 0,78% selama Desember 2025, lebih rendah dibandingkan rata-rata tahunan sebesar 1,05%. Angka ini menunjukkan bahwa pasar mulai percaya diri terhadap prospek perekonomian Indonesia yang relatif stabil dibandingkan negara berkembang lainnya.

Untuk investor jangka panjang, pelemahan Dolar AS bisa menjadi peluang menarik. Nilai tukar yang lebih rendah dapat meningkatkan daya beli investor asing terhadap aset-aset berbasis rupiah seperti saham, obligasi, dan properti. Namun, investor juga perlu memperhatikan risiko fluktuasi nilai tukar yang masih akan terjadi seiring dengan perubahan kebijakan moneter global.

Dengan berbagai faktor yang saling memengaruhi, pasar valas akan terus bergerak dinamis di awal tahun 2026. Bagi pelaku pasar, penting untuk terus memantau perkembangan data ekonomi makro dan kebijakan moneter dari berbagai negara maju, terutama Amerika Serikat. Dengan memahami tren ini, investor dapat membuat keputusan yang lebih bijak dalam mengelola portofolio mereka di tengah ketidakpastian ekonomi global.

Baca Berita dan Informasi Finance lainnya di Finance Page

Tinggalkan Balasan