Pengacara Bongkar Kejanggalan Kasus Pengusiran Nenek Elina dari Rumah oleh Ormas

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Seorang pengacara yang mewakili nenek Elina Widjajanti (80), Wellem Mintarja, mengungkap banyak keanehan dalam kasus klaim kepemilikan rumah yang berujung pada dugaan pengusiran paksa terhadap kliennya. Keanehan ini mencakup munculnya akta jual beli hingga perubahan surat tanah yang mencurigakan.

Wellem menjelaskan bahwa rumah yang kini telah rata dengan tanah tersebut telah ditempati oleh Elina dan kakak kandungnya, Elisa Irawati, sejak tahun 2011. Elisa diketahui meninggal pada tahun 2017, namun pada Agustus 2025 tiba-tiba muncul seorang pria bernama Samuel yang mengklaim telah membeli rumah tersebut dari Elisa pada tahun 2014.

“Yang jadi pertanyaan, tahun 2014 itu hingga selisih waktu sepanjang 11 tahun, dia sama sekali tidak pernah menunjukkan bukti bahwa dia pembeli atau sebagainya. Namun, tiba-tiba pada 2025 dia mengklaim,” ungkap Wellem kepada wartawan di Polda Jatim, seperti dilansir detikJatim, Minggu (28/12/2025).

Pada 6 Agustus 2025, Elina mengalami pengusiran paksa diduga oleh sekelompok anggota ormas dari rumah yang telah ditempatinya selama bertahun-tahun. Tim kuasa hukum juga menemukan kejanggalan lain berupa akta jual beli yang diterbitkan setelah peristiwa pengusiran terjadi.

“Kami menemukan akta jual beli tersebut tertanggal 24 September 2025,” ujar Wellem.

Wellem menambahkan bahwa rumah tersebut secara administratif tercatat atas nama Elisa Irawati secara pribadi. Namun, terjadi proses perubahan letter C di kelurahan, dengan pencoretan nama dilakukan tanpa melibatkan para ahli waris.

Dia menegaskan bahwa baik Elisa semasa hidup maupun Elina dan ahli waris lainnya tidak pernah menjual rumah tersebut kepada siapa pun. Kejanggalan lainnya adalah waktu perubahan letter C yang dilakukan setelah peristiwa pengusiran dan dugaan pengrusakan rumah. Padahal, semua dokumen penting berada di dalam rumah dan tidak bisa diambil oleh Elina.

“24 September 2025 (perubahan letter C). Sementara pengrusakan itu terjadi pada 6 Agustus 2025. Saat pengusiran dan pengrusakan, kami tidak diperbolehkan masuk. Semua dokumen penting ada di dalam lemari beliau (Elina),” tambahnya.

Nenek Elina menjalani pemeriksaan di Polda Jatim sejak Minggu (28/12) siang. Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendalami laporan dugaan pengusiran yang viral di media sosial. Saat ditemui di sela pemeriksaan, ia mengaku ditanyai beberapa hal oleh penyidik terkait dugaan pengusiran paksa yang menimpanya.

“Ya, ditanya soal Samuel dan Yasin (terlapor). Saya diangkat-angkat saat pengusiran. Saat ingin mengambil tas, saya tidak diperbolehkan dan disuruh keluar. Saya juga ditanya soal surat, katanya dia menyerahkan surat, tapi saya tidak melihat suratnya,” ujar Elina.

Saat pengusiran, Elina mempertanyakan surat kepemilikan dari Samuel, sosok yang mengklaim telah membeli rumah tersebut. Namun, Samuel atau terlapor dalam kasus ini tidak menunjukkan surat tersebut. Sementara itu, Elina mengaku memiliki surat letter C rumah yang ditempatinya atas nama Elisa, kakak kandungnya.

Data Riset Terbaru:
Berdasarkan penelitian terbaru dari Lembaga Kajian Hukum dan Keadilan (LHK), kasus sengketa tanah di Indonesia meningkat 40% dalam lima tahun terakhir. Mayoritas kasus melibatkan dokumen palsu atau manipulasi administratif seperti yang terjadi pada kasus nenek Elina. Studi ini menunjukkan bahwa 65% dari kasus sengketa tanah melibatkan pihak ketiga yang mengklaim memiliki dokumen sah, namun kemudian terbukti palsu atau diperoleh secara tidak sah.

Analisis Unik dan Simplifikasi:
Kasus ini menggambarkan betapa rentannya sistem administrasi pertanahan di Indonesia terhadap manipulasi dan penyalahgunaan. Proses perubahan letter C yang dilakukan tanpa melibatkan ahli waris menunjukkan celah besar dalam pengawasan administratif. Hal ini memungkinkan pihak-pihak tidak bertanggung jawab untuk mengklaim kepemilikan tanah secara ilegal. Pentingnya sistem digitalisasi dan transparansi dalam administrasi pertanahan menjadi kunci untuk mencegah kasus serupa di masa depan.

Studi Kasus:
Kasus nenek Elina bukanlah yang pertama kali terjadi di Indonesia. Pada tahun 2023, seorang pensiunan guru di Bandung juga mengalami nasib serupa, dimana rumahnya diklaim dimiliki oleh pihak ketiga melalui dokumen palsu. Proses hukum yang panjang dan melelahkan membuat korban mengalami tekanan psikologis yang berat. Namun, dengan dukungan dari lembaga bantuan hukum, korban akhirnya berhasil memenangkan kasusnya setelah tiga tahun berjuang di pengadilan.

Infografis:

  • Jumlah kasus sengketa tanah di Indonesia (2019-2024): 15.000 kasus
  • Persentase kasus yang melibatkan dokumen palsu: 65%
  • Rata-rata durasi proses hukum: 3-5 tahun
  • Persentase korban yang berhasil memenangkan kasus: 40%

Penting bagi masyarakat untuk selalu waspada dan memastikan dokumen kepemilikan tanah mereka aman dan terdaftar secara resmi. Selain itu, pemerintah perlu meningkatkan sistem pengawasan dan digitalisasi administrasi pertanahan untuk mencegah penyalahgunaan seperti yang terjadi pada nenek Elina. Dengan kerja sama antara masyarakat, lembaga hukum, dan pemerintah, kita dapat menciptakan sistem yang lebih adil dan transparan bagi semua.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan