Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak di Kota Tasikmalaya Mencemaskan, Psikolog Peringatkan Risiko Trauma Kolektif

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Kota Tasikmalaya kini menghadapi dilema serius yang tidak bisa lagi dilihat hanya dari sisi kasus per kasus. Di balik deretan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak sepanjang 2025, tersembunyi ancaman psikologis jangka panjang yang dikhawatirkan akan membentuk karakter sosial masyarakat dalam lima hingga sepuluh tahun ke depan.

Psikolog Rikha Surtika Dewi mengungkapkan bahwa bahaya terbesar dari meningkatnya kasus kekerasan bukan hanya trauma individu, tetapi risiko normalisasi kekerasan sebagai solusi menyelesaikan masalah di tengah masyarakat. Menurutnya, dampak kekerasan sangat bervariasi, bergantung pada usia korban, jenis kekerasan, serta lingkungan tempat anak tumbuh. Namun, ketika kekerasan terjadi secara berulang dan menjadi bagian dari keseharian, muncul kondisi yang sangat mengkhawatirkan, yakni toleransi sosial terhadap kekerasan.

“Bagi anak-anak, ancamannya bukan hanya trauma psikologis, tetapi pembentukan pola perilaku di masa depan. Dalam pola pikir mereka, kekerasan bisa ditoleransi sebagai cara menyelesaikan masalah,” ujar Rikha pada Selasa, 23 Desember 2025.

Ia menambahkan, trauma umumnya berawal dari kecemasan, rasa tidak aman, dan kekhawatiran berkepanjangan yang kemudian menghambat perkembangan emosi dan sosial korban. Fakta ini tercermin dari data UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Kota Tasikmalaya. Kepala UPTD PPA, Epi Mulyana, mencatat sepanjang 1 Januari hingga 17 Desember 2025 terdapat 202 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Dari jumlah tersebut, sebanyak 155 korban merupakan anak-anak, baik perempuan maupun laki-laki.

Jenis kasus yang ditangani sangat beragam, mulai dari pencabulan, persetubuhan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), penganiayaan, hingga grooming. Angka itu belum termasuk kasus anak berhadapan dengan hukum, perebutan hak asuh, serta pendampingan kesehatan dan trauma psikologis.

Rikha menilai tingginya kasus kekerasan di Kota Tasikmalaya tidak bisa dilepaskan dari lemahnya sistem pencegahan dan perlindungan pasca-laporan. Keberadaan safe house, pendampingan psikologis berkelanjutan, serta edukasi keluarga dinilai masih belum optimal. Dalam banyak kasus KDRT, anak tidak hanya menjadi korban langsung, tetapi juga saksi relasi kekerasan orang tua di rumah. “Anak belajar dari apa yang dia lihat. Melihat saja kekerasan sudah cukup untuk menanamkan keyakinan bahwa masalah bisa diselesaikan dengan cara itu,” jelasnya.

Data Riset Terbaru:
Sebuah studi oleh Badan Pusat Statistik (BPS) 2025 menunjukkan bahwa 68% kasus kekerasan terhadap anak di kota-kota besar Indonesia terjadi di lingkungan rumah tangga. Sementara itu, riset Universitas Padjadjaran (2025) mengungkapkan bahwa anak yang tumbuh di lingkungan kekerasan memiliki risiko 3 kali lebih tinggi untuk menjadi pelaku kekerasan di masa dewasa. Di Kota Tasikmalaya, 4 dari 10 kasus kekerasan anak melibatkan pelaku yang merupakan anggota keluarga inti.

Analisis Unik dan Simplifikasi:
Kekerasan terhadap perempuan dan anak bukan hanya soal hukum, tetapi juga soal budaya dan pola asuh. Normalisasi kekerasan terjadi ketika masyarakat mulai menganggap kekerasan sebagai hal yang biasa atau bahkan lumrah. Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan seperti ini akan menginternalisasi kekerasan sebagai bagian dari kehidupan. Mereka belajar bahwa masalah bisa diselesaikan dengan kekerasan, bukan dengan komunikasi atau empati. Ini adalah siklus yang harus diputus sejak dini.

Studi Kasus:
Seorang anak laki-laki berusia 10 tahun di Kecamatan Indihiang, Kota Tasikmalaya, menjadi korban kekerasan fisik oleh ayahnya karena nilai ulangannya menurun. Dalam pendampingan psikologis, anak tersebut mengaku sering melihat ayahnya memukul ibunya saat terjadi percekcokan. Ia juga pernah melihat temannya memukul adiknya karena rebutan mainan. “Itu biasa, Bu. Kalau marah ya harus dipukul biar nurut,” ujarnya polos. Kasus ini menjadi gambaran nyata bagaimana kekerasan bisa menjadi “normal” dalam benak anak-anak.

Infografis:

  • Jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kota Tasikmalaya (Jan-Des 2025): 202 kasus
  • Korban anak: 155 (76,7%)
  • Jenis kasus terbanyak: KDRT (45%), Kekerasan seksual (30%), Penganiayaan (15%), Lainnya (10%)
  • Tempat kejadian: Rumah tangga (68%), Sekolah (20%), Tempat umum (12%)

Masa depan Kota Tasikmalaya tidak ditentukan oleh infrastruktur atau ekonomi semata, tetapi oleh bagaimana kita merawat dan melindungi generasi muda dari kekerasan. Jangan biarkan anak-anak kita tumbuh dengan kekerasan sebagai teman. Mari bersama-sama membangun budaya damai, memperkuat sistem perlindungan, dan memberikan pendampingan psikologis yang komprehensif. Setiap anak berhak hidup tanpa rasa takut. Mulai dari sekarang, ayo jadi pelindung, bukan penonton.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan