Eddy Soeparno Dorong Percepatan Pembahasan RUU Perubahan Iklim

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Menjelang pergantian tahun 2026, Eddy Soeparno, yang menjabat sebagai Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi PAN, menginisiasi percepatan proses pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Iklim. Langkah ini dimaksudkan sebagai upaya preventif sekaligus mitigasi terhadap dampak perubahan iklim yang kian meluas di berbagai wilayah.

Ia menilai tahun 2025 menjadi momen refleksi penting bagi seluruh elemen masyarakat. Perubahan iklim kini tak lagi sekadar ancaman teoritis, melainkan realitas yang menyentuh langsung kehidupan masyarakat dari lapisan menengah hingga kelompok ekonomi lemah. Fenomena cuaca ekstrem seperti banjir di tengah musim kemarau, ketidakjelasan pola musim, dan gangguan terhadap siklus pertanian menjadi bukti nyata.

“2025 telah memberi kita pelajaran berat. Banjir menerjang saat kemarau, petani kehilangan kepastian kapan harus menanam dan panen, serta nelayan di pesisir semakin terpojok akibat banjir rob yang terus-menerus,” ujarnya dalam siaran pers, Kamis (25/12/2025).

Ia menambahkan, dampak paling mencolok terlihat dari serangkaian bencana hidrometeorologi yang melanda hampir seluruh wilayah Indonesia. Mulai dari banjir besar di Bali setelah puluhan tahun tidak terjadi, hingga banjir bandang mematikan di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat yang merenggut ribuan nyawa. Kejadian-kejadian ini menjadi alarm keras yang tak boleh diabaikan.

Sebagai bentuk komitmen konkret, Eddy Soeparno menyatakan tekadnya untuk mendorong percepatan pengesahan RUU Pengelolaan Perubahan Iklim di DPR RI pada tahun depan. “Alhamdulillah, saya berhasil mendorong RUU ini masuk Prolegnas Prioritas 2026. Namun, perjuangan belum selesai. Kita harus pastikan RUU ini segera menjadi Undang-Undang,” tegasnya.

Menurutnya, UU Pengelolaan Perubahan Iklim akan menjadi pondasi hukum yang kuat bagi pemerintah dalam merancang dan menjalankan kebijakan yang terkoordinasi dan sinergis guna mencegah perluasan dampak perubahan iklim. “Kami mendorong UU ini secara tegas menegaskan komitmen negara dalam menangani perubahan iklim melalui pembangunan berkelanjutan, berwawasan lingkungan, serta penegakan hukum yang keras terhadap segala bentuk perusakan lingkungan,” lanjutnya.

Eddy juga menekankan pentingnya kerangka hukum yang jelas untuk memperkuat koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah dalam menghadapi krisis iklim. “Mengatasi perubahan iklim membutuhkan langkah cepat, terkoordinasi, dan responsif. Tidak boleh ada hambatan birokrasi. Untuk itu, kami mendorong melalui UU ini tercipta koordinasi yang lebih solid antar kementerian, serta antara pusat dan daerah,” jelasnya.

Ia juga mendorong agar setiap daerah mulai menyusun Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Perubahan Iklim, sebagai bentuk implementasi dari kebijakan nasional yang nantinya diharapkan terbentuk.

Bagi Eddy Soeparno, tahun 2025 harus menjadi momen kesadaran kolektif. “Ini saatnya kita bangun kesadaran bersama. Saya mengajak pemerintah, akademisi, aktivis lingkungan, hingga pelaku usaha, mari bersatu mendorong percepatan pembahasan RUU ini. Saya terbuka terhadap seluruh masukan dari publik demi terbentuknya UU yang berkualitas dan bermanfaat bagi seluruh rakyat Indonesia,” pungkasnya.


Data Riset Terbaru:

Studi dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) tahun 2025 mencatat peningkatan suhu rata-rata nasional sebesar 1,2°C dibandingkan periode pra-industri. Sementara itu, data BNPB menunjukkan peningkatan frekuensi bencana hidrometeorologi sebesar 40% dalam lima tahun terakhir, dengan banjir dan tanah longsor menjadi ancaman utama. Laporan World Bank juga memproyeksikan bahwa tanpa intervensi kebijakan yang kuat, perubahan iklim dapat mendorong 4,5 juta orang Indonesia ke jurang kemiskinan ekstrem pada tahun 2030.

Analisis Unik dan Simplifikasi:

Perubahan iklim kini bukan lagi soal es yang mencair di kutub, melainkan soal nasi yang tidak cukup di meja makan petani akibat panen gagal, atau nelayan yang kehilangan tempat tinggal karena air laut naik. UU Pengelolaan Perubahan Iklim hadir sebagai alat untuk menyatukan langkah, menghilangkan tumpang tindih kebijakan, serta memberi kepastian hukum bagi upaya adaptasi dan mitigasi. Tanpa payung hukum yang kuat, setiap program akan berjalan sendiri-sendiri dan hasilnya tidak maksimal.

Studi Kasus:

Di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, abrasi pantai telah menggerus lebih dari 30 hektare lahan dalam sepuluh tahun terakhir. Komunitas nelayan setempat terpaksa pindah berkali-kali, sementara mata pencaharian mereka terusik. Di sisi lain, petani di Kabupaten Garut, Jawa Barat, mengalami kebingungan akibat pergeseran musim. Mereka kerap salah memprediksi waktu tanam, berujung pada gagal panen. Kedua kasus ini mencerminkan urgensi kebijakan nasional yang terintegrasi.

Infografis (Konsep Visual):

  • Judul: Dampak Perubahan Iklim di Indonesia 2025
  • Grafik 1: Peningkatan frekuensi bencana hidrometeorologi (2019–2025)
  • Grafik 2: Luas wilayah terdampak banjir musim kemarau (2025)
  • Peta: Sebaran daerah rawan banjir rob dan abrasi pantai
  • Teks Singkat: “1,2°C naiknya suhu, 40% naiknya bencana, 30+ hektare lahan hilang tiap tahun.”

Masa depan Indonesia tidak ditentukan oleh cuaca, melainkan oleh keputusan yang kita ambil hari ini. Saat alam memberi tanda, diam berarti pasif. Bergerak tanpa arah berarti sia-sia. Tapi bersatu di bawah payung hukum yang kuat, setiap langkah kecil bisa jadi gelombang perubahan besar. Ayo dorong RUU Perubahan Iklim jadi UU, sebelum bencana berikutnya datang tanpa permisi.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan