Pada suatu pagi di Jakarta, sebuah video menyebar cepat di media sosial. Rekaman itu memperlihatkan seorang ibu yang kesal karena uang tunainya ditolak oleh kasir sebuah toko roti ternama. Insiden ini memicu perdebatan luas di masyarakat tentang kebijakan pembayaran nontunai yang semakin marak diterapkan oleh berbagai tempat usaha.
Untuk memahami fenomena ini lebih dalam, tim Thecuy.com melakukan penelusuran ke sebuah pusat perbelanjaan di kawasan Jakarta Selatan. Di sana, banyak ditemukan gerai makanan dan minuman yang secara tegas hanya menerima pembayaran digital. Tidak peduli seberapa pas uang tunai yang Anda miliki, transaksi tetap tidak akan dilayani jika tidak menggunakan metode pembayaran elektronik seperti QRIS atau aplikasi dompet digital lainnya.
Kebijakan ini memang menuai pro dan kontra di masyarakat. Di satu sisi, sistem pembayaran digital dianggap lebih praktis, cepat, dan mengurangi risiko kehilangan uang tunai. Namun di sisi lain, tidak semua kalangan masyarakat merasa nyaman atau bahkan mampu menggunakan teknologi ini.
Rudi, seorang pengunjung setia pusat perbelanjaan tersebut, mengungkapkan pandangannya. Menurut pria berusia 61 tahun ini, pengusaha seharusnya bersikap lebih fleksibel terhadap konsumen. Ia menilai bahwa meskipun QRIS merupakan sistem pembayaran modern yang diakui secara internasional, namun tidak semua orang memiliki kemampuan atau akses untuk menggunakannya.
“Harusnya fleksibel lah, dia pake cash boleh, QRIS juga boleh. QRIS kan menurut saya itu kan mengurangi ada uang yang hilang dan lain-lain,” ujarnya dengan nada bijak.
Rudi menambahkan bahwa meskipun sistem pembayaran digital memang canggih, tetapi pengusaha tetap harus mempertimbangkan kenyamanan dan kemampuan konsumen. “QRIS bagus orang dunia aja mengakui, cuman fleksibel lah. Oh, cash nggak bisa, itu nggak bisa. Jangan lagi seperti itu. Kemarin kan ibu-ibu (kasus Roti O) kan nggak mungkin dia pake QRIS, nggak bisa dia.”
Pendapat serupa juga disampaikan oleh Bunga, seorang mahasiswi berusia 25 tahun. Ia berpendapat bahwa penerapan transaksi digital secara penuh belum sepenuhnya tepat di masyarakat Indonesia saat ini. Meskipun sistem QRIS memang memberikan kemudahan dan efisiensi, namun masih ada kesenjangan dalam hal akses dan literasi digital.
“Kalo menurut saya penerapan QRIS full di semua outlet belum sepenuhnya tepat. Emang sih QRIS bikin mudah dan efisien, tapi kan masih ada kesenjangan akses literasi digital di masyarakat. Apalagi nggak semua konsumen punya koneksi internet yang stabil, perangkat memadai, atau ngerti transaksi digital,” jelasnya.
Bunga juga menekankan bahwa uang tunai masih merupakan alat pembayaran yang sah di Indonesia. Oleh karena itu, menurutnya pengusaha sebaiknya tetap menyediakan opsi pembayaran tunai untuk melayani semua lapisan masyarakat.
Di sisi lain, Radot, seorang profesional berusia 41 tahun, memiliki pandangan yang sedikit berbeda. Ia mengakui bahwa sistem pembayaran QRIS memang memberikan kenyamanan karena lebih simpel dan tidak perlu repot membawa uang tunai. Namun, ia juga menekankan pentingnya fleksibilitas dalam menerapkan sistem pembayaran.
“Pengusaha harus tetap menyesuaikan sistem mereka dengan kemampuan konsumen. Artinya, pembayaran menggunakan uang tunai perlu tetap disediakan, sebab bisa menjadi alternatif saat ada gangguan saat melakukan transaksi non tunai,” ujarnya.
Radot menjelaskan bahwa meskipun pembayaran digital memang lebih modern, namun masih ada potensi masalah seperti sinyal internet yang tidak stabil atau bahkan gangguan teknis lainnya yang bisa menyebabkan transaksi gagal. “Mau nggak mau harus menyesuaikan, karena kan nggak bisa dipaksakan juga, yang HP nya nggak memadai QRIS biar bisa. Jadi, sebaiknya ada pembayaran cash. Apalagi kalau sinyal kurang, kemungkinan agak lambat prosesnya, terus kadang-kadang bisa gagal juga kan.”
Fenomena ini memang mencerminkan tantangan dalam era digitalisasi yang semakin pesat. Di satu sisi, kemajuan teknologi membawa banyak kemudahan dan efisiensi. Namun di sisi lain, tidak semua lapisan masyarakat siap atau mampu mengikuti perubahan ini dengan cepat.
Data riset terbaru dari Lembaga Survei Independen (LSI) menunjukkan bahwa meskipun penetrasi smartphone di Indonesia telah mencapai 75%, namun tingkat literasi digital masih berada di angka 58%. Artinya, masih ada sekitar 42% masyarakat yang belum sepenuhnya memahami atau mampu menggunakan teknologi digital secara optimal.
Sebuah studi kasus menarik datang dari sebuah kota kecil di Jawa Tengah, di mana sebuah warung makan sukses menerapkan sistem pembayaran hybrid. Mereka menyediakan opsi pembayaran tunai dan digital secara bersamaan. Hasilnya? Penjualan mereka meningkat sebesar 35% dalam waktu 6 bulan, dengan kontribusi yang seimbang antara transaksi tunai dan digital.
Infografis yang dirilis oleh Bank Indonesia menunjukkan bahwa sejak dicanangkannya Gerakan Nasional Non Tunai pada tahun 2014, penggunaan pembayaran digital di Indonesia mengalami peningkatan yang signifikan. Namun demikian, uang tunai masih mendominasi transaksi sehari-hari, terutama di daerah-daerah pedesaan dan kalangan usia lanjut.
Perdebatan tentang kebijakan pembayaran nontunai ini sebenarnya bukan sekadar soal teknologi, melainkan juga tentang inklusi sosial dan keberpihakan terhadap semua lapisan masyarakat. Di tengah upaya modernisasi, penting bagi para pelaku usaha untuk tetap mempertimbangkan aspek humanis dalam pelayanan mereka.
Inovasi memang penting, namun bukan berarti harus mengorbankan kenyamanan dan aksesibilitas bagi sebagian besar masyarakat. Sebuah pendekatan yang seimbang, yang menggabungkan kemajuan teknologi dengan kepekaan sosial, mungkin merupakan solusi terbaik untuk menghadapi tantangan ini.
Pertanyaannya sekarang adalah: bagaimana cara kita memastikan bahwa kemajuan teknologi benar-benar menjadi berkah bagi seluruh lapisan masyarakat, bukan malah memperlebar jurang ketimpangan? Jawabannya mungkin terletak pada kemampuan kita untuk beradaptasi tanpa kehilangan nilai-nilai kemanusiaan dalam prosesnya.
Baca Berita dan Informasi Finance lainnya di Finance Page

Saya adalah jurnalis di thecuy.com yang fokus menghadirkan berita terkini, analisis mendalam, dan informasi terpercaya seputar perkembangan dunia finansial, bisnis, teknologi, dan isu-isu terkini yang relevan bagi pembaca Indonesia.
Sebagai jurnalis, saya berkomitmen untuk:
Menyajikan berita yang akurasi dan faktanya terverifikasi.
Menulis dengan bahasa yang mudah dipahami, namun tetap menjaga integritas jurnalistik.
Menghadirkan laporan mendalam yang memberi perspektif baru bagi pembaca.
Di thecuy.com, saya tidak hanya melaporkan berita, tetapi juga berupaya menganalisis tren agar pembaca dapat memahami konteks di balik setiap peristiwa.
📌 Bidang Liputan Utama:
Berita Terbaru & ekonomi, keuangan.
Perkembangan teknologi dan inovasi digital.
Tren bisnis dan investasi.
Misi saya adalah membantu pembaca mendapatkan informasi yang cepat, akurat, dan dapat dipercaya, sehingga mereka bisa membuat keputusan yang lebih cerdas dalam kehidupan sehari-hari maupun dunia usaha.
📞 Kontak
Untuk kerja sama media atau wawancara, silakan hubungi melalui halaman Kontak thecuy.com atau email langsung ke admin@thecuy.com.