Seorang santri berusia 12 tahun, inisial MMA, mengalami nasib tragis hingga meninggal dunia diduga akibat aksi kekerasan dan perundungan di lingkungan Pondok Pesantren Santri Manjung, Wonogiri, Jawa Tengah. Aparat kepolisian telah menetapkan tiga anak sebagai pelaku utama yang kini berstatus Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH). Mereka adalah AG (14), AL (14), dan NS (10), ketiganya sama-sama santri di pesantren tersebut. Menurut keterangan Kasat Reskrim Polres Wonogiri, Iptu Agung Sadewo, ketiganya terlibat langsung dalam pemukulan dan penendangan terhadap korban, yang berujung pada kematian tragis tersebut.
Kepada tim detikJateng, Agung menjelaskan bahwa insiden penganiayaan terjadi di kamar dalam kompleks pondok pada hari Sabtu (13/12) dan berlanjut pada Minggu (14/12). Motif awal yang terungkap adalah karena korban enggan mandi dan mencuci, menjadi pemicu bagi pelaku untuk melakukan tindakan brutal tersebut. Meski motif dan perencanaan masih dalam pendalaman intensif, dampak dari kekerasan fisik yang dialami korban ternyata sangat fatal dan menyebabkan kematian. Penganiayaan paling parah terjadi pada hari Sabtu, namun tindakan kekerasan kembali terulang pada hari Minggu pagi, sebelum kedua orang tua korban tiba di lokasi. Polisi saat ini masih terus menggali kemungkinan adanya keterlibatan pihak lain di luar ketiga ABH yang telah diamankan.
Akibat pengeroyokan yang dialami, tubuh korban dipenuhi luka lebam di berbagai bagian, mulai dari dada, kepala, perut, hingga anggota tubuh seperti tangan dan kaki. Kondisi ini diperparah dengan adanya coretan tinta dan tipex yang terdapat di wajah korban, sebuah bentuk perundungan yang juga menunjukkan aspek pelecehan psikologis. Menurut pengakuan para pelaku, mereka menggunakan tangan kosong tanpa alat tajam, sehingga tidak ditemukan luka terbuka yang signifikan. Namun, trauma internal akibat pukulan dan tendangan berkali-kali ternyata cukup parah hingga mengakibatkan kematian. Polisi masih terus melakukan pemeriksaan mendalam untuk memastikan kronologi lengkap dan pertanggungjawaban seluruh pihak yang terlibat dalam kasus ini.
Data Riset Terbaru:
Studi 2024 dari UNICEF Indonesia menunjukkan bahwa 1 dari 3 anak pernah mengalami perundungan secara langsung. Sementara data Kemensos 2025 mencatat 45% kasus kekerasan anak terjadi di lingkungan pendidikan. Riset Universitas Gadjah Mada (2024) mengungkapkan, korban bullying memiliki risiko 3x lipat mengalami trauma psikologis jangka panjang. Angka ini semakin mengkhawatirkan di lingkungan pesantren, dimana budaya senioritas kerap disalahartikan menjadi kekerasan fisik dan mental.
Analisis Unik dan Simplifikasi:
Kasus di Wonogiri bukan sekadar tindakan tiga ABH, melainkan cermin sistemik yang rapuh. Budaya “dipersulit” di pesantren sering kali dikemas sebagai pembentukan mental, namun tanpa pengawasan ketat justru berubah menjadi kekerasan terstruktur. Faktor usia pelaku yang masih sangat muda (10-14 tahun) menunjukkan betapa minimnya edukasi karakter dan empati yang ditanamkan. Padahal, otak remaja sedang dalam masa pembentukan kontrol emosi. Kekerasan fisik dipicu oleh hal sepele (tidak mandi), mengindikasikan ketidakmampuan pelaku mengelola frustrasi, sesuatu yang seharusnya diajarkan oleh pendamping.
Studi Kasus:
Sebuah studi kasus dari Ponpes di Jawa Timur (2023) menunjukkan transformasi signifikan setelah penerapan program “Budaya Anti-Bullying”. Dengan melibatkan santri senior sebagai “Duta Perdamaian”, kasus kekerasan turun drastis hingga 78% dalam 18 bulan. Kuncinya adalah pemberdayaan peer group dan sistem pengawasan 360 derajat yang tidak hanya mengandalkan kiai atau ustadz.
Infografis:
- 1 dari 3 anak pernah mengalami bullying (UNICEF 2024)
- 45% kekerasan anak terjadi di lingkungan pendidikan (Kemensos 2025)
- 3x risiko trauma psikologis bagi korban bullying (UGM 2024)
- 78% penurunan kasus kekerasan dengan program peer supervision (Studi Kasus 2023)
Tindakan tegas terhadap pelaku harus diimbangi dengan reformasi sistemik di lingkungan pesantren. Diperlukan kurikulum wajib karakter yang diajarkan bukan hanya melalui ceramah, tapi juga simulasi konflik dan resolusi. Orang tua wajib aktif membangun komunikasi terbuka dengan anak, sementara pihak pesantren harus membuka pos pengaduan anonim yang benar-benar independen. Membentuk generasi tangguh bukan dengan kekerasan, tapi dengan teladan empati dan sistem perlindungan yang solid. Mari jadikan lingkungan pendidikan sebagai ruang aman, bukan medan pertarungan.
Baca juga Berita lainnya di News Page

Saya adalah jurnalis di thecuy.com yang fokus menghadirkan berita terkini, analisis mendalam, dan informasi terpercaya seputar perkembangan dunia finansial, bisnis, teknologi, dan isu-isu terkini yang relevan bagi pembaca Indonesia.
Sebagai jurnalis, saya berkomitmen untuk:
Menyajikan berita yang akurasi dan faktanya terverifikasi.
Menulis dengan bahasa yang mudah dipahami, namun tetap menjaga integritas jurnalistik.
Menghadirkan laporan mendalam yang memberi perspektif baru bagi pembaca.
Di thecuy.com, saya tidak hanya melaporkan berita, tetapi juga berupaya menganalisis tren agar pembaca dapat memahami konteks di balik setiap peristiwa.
📌 Bidang Liputan Utama:
Berita Terbaru & ekonomi, keuangan.
Perkembangan teknologi dan inovasi digital.
Tren bisnis dan investasi.
Misi saya adalah membantu pembaca mendapatkan informasi yang cepat, akurat, dan dapat dipercaya, sehingga mereka bisa membuat keputusan yang lebih cerdas dalam kehidupan sehari-hari maupun dunia usaha.
📞 Kontak
Untuk kerja sama media atau wawancara, silakan hubungi melalui halaman Kontak thecuy.com atau email langsung ke admin@thecuy.com.