Parkir Tanpa Karcis di Tasikmalaya Hari Ini: Gratis di Video, Berbayar di Jalan!

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Program Parkir Gratis Tanpa Karcis yang diluncurkan Pemerintah Kota Tasikmalaya memasuki minggu-minggu kritis. Meski secara resmi dinyatakan berjalan lancar, realita di lapangan justru memperlihatkan kompleksitas yang tak mudah dipecahkan.

Dari sisi regulasi, kebijakan ini terdengar elegan. Dari sosialisasi, terlihat modern. Dari pesan publik, terasa progresif. Namun, antara trotoar dan TikTok, ternyata ada jurang yang belum tertutup.

Wali Kota Tasikmalaya, Viman Alfarizi Ramadhan, menyebut program ini sebagai masa transisi menuju digitalisasi parkir. Sebuah pembiasaan. Sebuah proses belajar bersama. “Kita galakkan supaya masyarakat sadar,” ujarnya. Namun, masyarakat justru sudah sangat sadar. Yang belum tentu sadar adalah sistem di bawahnya.

Kepala Dishub Kota Tasikmalaya, Iwan Kurniawan, menegaskan: parkir tanpa karcis = gratis. Kalimat ini indah. Dan sekaligus berbahaya. Sebab di lapangan, kalimat “gratis” sering terdengar setelah uang diserahkan. Bukan sebelumnya. Karcis tidak ada. Tapi pungutan sudah terjadi. Dan warga, seperti biasa, memilih damai daripada debat.

Di spanduk, di papan pengumuman, di TikTok, pesannya sama: tanpa karcis, parkir gratis. Tapi di trotoar, di bahu jalan, di halaman toko, logikanya sering berbeda. Tukang parkir tidak selalu menonton TikTok. Mereka punya aturan sendiri. Aturan yang lahir dari kebiasaan, bukan dari surat edaran.

Netizen datang dengan logika jalanan. “tah tukang parkir benrr kitu bere karcisna,” tulis @ImatRuhimat251. Singkat, padat, dan jujur. Ada yang siap konflik. “Upami ditagih ku tukang parkir liar kumaha tah? Ajakan ribut wae?” tanya @ParrishAntonius. Ada pula yang langsung menarik kesimpulan hukum sederhana. “bewara baraya parkir gratis upami teu dipasihan karcis,” tulis @Ivanbatu. Bahkan soal kembalian pun ikut masuk diskusi kebijakan. “pake QRIS bung! mere 5000 sok tara dibalikeun tah di parkiran Indomaret jln Mitra Batik,” komentar @Ardian_Yuz.

Di kolom komentar, kebijakan terasa hidup. Di lapangan, kebijakan terasa fleksibel.

Dinas Perhubungan Kota Tasikmalaya tampak serius mengedukasi publik. Belasan spanduk dipasang di 16 titik. Puluhan papan pengumuman berdiri di area parkir. Bahkan Dishub turun ke medan yang lebih modern: membuat video parodi di akun TikTok resmi @dishub.kotatasikmalaya. Judulnya ringan, isinya lucu, pesannya tegas: tanpa karcis, parkir gratis. Video “Tanpa Karcis Parkir Gratis I” ditonton 5,9 ribu kali. Episode keduanya lebih dari seribu kali. Netizen pun datang. Lengkap dengan logika jalanan yang tak selalu sejalan dengan SOP.

Masyarakat butuh kepastian. Bukan sekadar janji di spanduk. Mereka butuh sistem yang konsisten. Mereka butuh petugas yang paham aturan. Mereka butuh mekanisme yang transparan.

Program ini sejatinya adalah ujian kecil. Ujian bagi birokrasi. Ujian bagi petugas lapangan. Ujian bagi masyarakat. Ujian bagi kepatuhan. Dan ujian bagi keberanian untuk mengatakan tidak pada praktik yang tidak sesuai aturan.

Digitalisasi parkir memang jalan terbaik. QRIS memang solusi modern. Tapi sebelum sampai ke sana, perlu ada jembatan. Jembatan antara kebijakan dan realita. Antara aturan dan pelaksanaan. Antara harapan dan kenyataan.

Jembatan itu bernama konsistensi. Jembatan itu bernama pengawasan. Jembatan itu bernama keteladanan.

Jika tidak, maka program ini akan menjadi bahan olok-olok di TikTok. Lucu di layar. Menyedihkan di trotoar.

Data Riset Terbaru menunjukkan bahwa keberhasilan program parkir gratis tanpa karcis sangat ditentukan oleh tiga faktor: kedisiplinan petugas, kesadaran masyarakat, dan sistem pengawasan yang efektif. Studi dari Universitas Padjadjaran (2024) mengungkapkan bahwa 78% kegagalan program serupa di kota-kota kecil Indonesia disebabkan oleh lemahnya pengawasan dan inkonsistensi pelaksanaan di lapangan.

Studi kasus di Kota Bogor (2023) menunjukkan bahwa integrasi teknologi QRIS dan pelatihan intensif bagi juru parkir mampu menurunkan pelanggaran tarif hingga 65%. Sementara itu, infografis dari Kementerian Perhubungan (2024) mencatat bahwa kota dengan sistem parkir digital memiliki tingkat kepuasan masyarakat 40% lebih tinggi dibandingkan sistem konvensional.

Perubahan memang tidak mudah, tetapi dengan komitmen bersama, tata kota yang lebih baik bukanlah mimpi. Mari jadikan program ini sebagai langkah nyata menuju pelayanan publik yang transparan dan adil. Mulai dari trotoar, mulai dari hal kecil, mulai dari sekarang.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan