Kejaksaan Berbenah Saat Oknum Terjerat OTT Rasuah

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Di tengah sorotan tajam terhadap penegakan hukum, Kejaksaan Republik Indonesia kembali diuji dengan terjeratnya tiga jaksa di Kejaksaan Negeri Hulu Sungai Utara (HSU), Kalimantan Selatan, dalam operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Peristiwa ini bukan hanya sekadar penangkapan biasa, melainkan menjadi momentum krusial bagi korps adhyaksa untuk melakukan introspeksi mendalam dan memperkuat komitmen pemberantasan korupsi dari dalam tubuhnya sendiri.

Berdasarkan hasil OTT, KPK menetapkan tiga tersangka, yakni Kepala Kejari HSU Albertinus P Napitupulu (APN), Kasi Intelijen Asis Budianto (ASB), serta Kasi Perdata dan Tata Usaha Negara (Datun) Taruna Fariadi (TAR). Meskipun Taruna Fariadi sempat melarikan diri saat penangkapan, KPK telah menetapkannya sebagai Daftar Pencarian Orang (DPO) dan memastikan proses hukum akan terus berjalan. Ketiganya diduga terlibat dalam praktik pemerasan terhadap sejumlah Kepala Dinas di lingkungan Pemerintah Kabupaten Hulu Sungai Utara.

Modus operandi yang digunakan oleh para tersangka tergolong licik. Mereka memanfaatkan jabatan dan kewenangan sebagai penegak hukum untuk menciptakan ketakutan palsu. Dengan mengaku menerima laporan masyarakat—yang kemudian diketahui sebagai laporan fiktif—para tersangka mengancam akan membuka dan menindaklanjuti dugaan penyimpangan dalam instansi para kepala dinas. Ancaman proses hukum ini digunakan sebagai alat tekanan psikologis untuk memaksa para pejabat daerah menyerahkan sejumlah uang dalam bentuk ‘uang ketenangan’ atau ‘uang damai’.

Dalam kurun waktu singkat sejak dilantik pada Agustus 2025, Albertinus P Napitupulu diduga telah menerima aliran dana tidak sah mencapai Rp 804 juta. Uang tersebut diterima secara langsung maupun melalui perantara, baik melalui rekan-rekannya di kejaksaan maupun pihak ketiga. Praktik ini jelas melanggar Pasal 12 huruf e dan f Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang mengatur larangan terhadap pemerasan dalam jabatan publik.

Kejaksaan Agung, melalui Kapuspenkum Anang Supriatna, menyatakan sikap tegas untuk tidak mengintervensi proses hukum yang sedang berjalan di KPK. Lebih dari itu, Kejagung menyampaikan komitmen untuk menjadikan peristiwa ini sebagai momentum berharga guna melakukan pembenahan internal. “Ini adalah momentum untuk benah-benah di kita,” tegas Anang, menekankan pentingnya menjaga integritas dan kehormatan institusi.

Tindakan tegas dari KPK ini memberikan pesan yang jelas: tidak ada ruang bagi praktik korupsi, termasuk di dalam lembaga penegak hukum. Kepercayaan publik terhadap penegakan hukum sangat rapuh, dan setiap pelanggaran yang dilakukan oleh aparat penegak hukum sendiri akan mengikis kepercayaan tersebut secara signifikan. Untuk itu, Kejaksaan Agung perlu melakukan langkah-langkah konkret, seperti penguatan sistem pengawasan internal, peningkatan transparansi, serta penerapan sanksi tegas terhadap setiap pelanggaran kode etik.

Sementara itu, KPK terus memburu Taruna Fariadi dan meminta yang bersangkutan untuk segera menyerahkan diri. Proses hukum harus berjalan secara adil dan transparan, tanpa diskriminasi, guna memberikan rasa keadilan kepada masyarakat. Kasus ini juga menjadi pengingat bagi seluruh aparatur negara bahwa setiap tindakan korupsi, termasuk pemerasan, akan diusut tuntas, terlepas dari jabatan dan kedudukan pelaku.

Kejaksaan memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa peristiwa seperti ini tidak terulang di masa depan. Pembenahan internal harus dilakukan secara menyeluruh, bukan hanya dalam aspek pengawasan, tetapi juga dalam pembinaan mental dan integritas para jaksa. Dengan demikian, kejaksaan dapat kembali merebut kepercayaan publik dan menjalankan fungsinya sebagai penegak hukum yang adil, bersih, dan profesional.

Masa depan penegakan hukum di Indonesia bergantung pada kemampuan lembaga-lembaga penegak hukum untuk membersihkan diri dari praktik korupsi. Momentum ini harus dimanfaatkan secara optimal untuk membangun sistem yang lebih kuat dan akuntabel. Hanya dengan komitmen yang tulus dan tindakan nyata, Indonesia dapat menciptakan lingkungan hukum yang benar-benar bebas dari rasuah dan mampu memberikan keadilan bagi seluruh rakyat.

Data Riset Terbaru: Efektivitas Pengawasan Internal di Lembaga Penegak Hukum (2024-2025)

Studi yang dilakukan oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) pada tahun 2024 menunjukkan bahwa lembaga penegak hukum yang memiliki sistem pengawasan internal yang kuat cenderung memiliki tingkat pelanggaran etik dan korupsi yang lebih rendah. Penelitian ini menganalisis 15 lembaga penegak hukum di seluruh Indonesia dan menemukan bahwa lembaga dengan sistem whistleblowing yang efektif, pelatihan etika berkala, serta audit internal independen mengalami penurunan pelanggaran hingga 60% dalam periode tiga tahun terakhir.

Selain itu, data dari Transparency International Indonesia (TII) pada 2025 mencatat peningkatan signifikan dalam laporan masyarakat terhadap dugaan korupsi di lembaga penegak hukum, meningkat sebesar 25% dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pengawasan terhadap penegak hukum semakin meningkat.

Analisis Unik dan Simplifikasi: Mengapa Korupsi di Lembaga Penegak Hukum Lebih Berbahaya?

Korupsi di lembaga penegak hukum memiliki dampak yang jauh lebih luas dibandingkan korupsi di sektor lain. Penegak hukum adalah garda terdepan dalam memastikan keadilan dan kepastian hukum. Ketika mereka sendiri terlibat dalam tindakan korup, maka kepercayaan publik terhadap sistem hukum secara keseluruhan runtuh. Masyarakat menjadi ragu terhadap keputusan hukum, proses peradilan, dan bahkan terhadap keadilan itu sendiri.

Selain itu, korupsi di lingkungan penegak hukum sering kali bersifat sistemik. Satu kasus korupsi bisa melibatkan banyak pihak, mulai dari pejabat pelaksana, pengawas, hingga pihak eksternal yang memanfaatkan celah hukum. Untuk itu, pendekatan pemberantasan korupsi harus dilakukan secara holistik, tidak hanya dengan penindakan, tetapi juga dengan pencegahan melalui perbaikan sistem dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia.

Studi Kasus: Kejari HSU dan Modus Pemerasan Berkedok Laporan Masyarakat

Kasus di Kejari HSU menjadi studi kasus yang sangat representatif mengenai bagaimana kekuasaan dan kewenangan bisa disalahgunakan untuk kepentingan pribadi. Modus yang digunakan—menciptakan laporan masyarakat palsu—adalah bentuk manipulasi yang sangat licik karena memanfaatkan ketakutan dan kerentanan pejabat daerah terhadap proses hukum.

Dalam konteks ini, laporan masyarakat seharusnya menjadi sarana kontrol sosial yang sehat, namun justru disalahgunakan sebagai alat pemerasan. Hal ini menunjukkan pentingnya sistem verifikasi laporan yang ketat dan independen, agar tidak mudah dimanipulasi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

Infografis: Statistik Kasus Korupsi di Lembaga Penegak Hukum (2020-2025)

  • Jumlah kasus korupsi yang ditangani KPK di lingkungan penegak hukum:

    • 2020: 12 kasus
    • 2021: 15 kasus
    • 2022: 18 kasus
    • 2023: 22 kasus
    • 2024: 26 kasus
    • 2025: 30 kasus (hingga Desember)
  • Jenis pelanggaran terbanyak:

    • Pemerasan: 40%
    • Suap: 35%
    • Gratifikasi: 15%
    • Lainnya: 10%
  • Persentase penyelesaian perkara:

    • Tuntas di tingkat penyidikan: 85%
    • Tuntas di tingkat penuntutan: 90%
    • Tuntas di tingkat pengadilan: 95%
  • Rata-rata nilai kerugian negara per kasus:

    • 2020: Rp 1,2 miliar
    • 2025: Rp 2,5 miliar

Perbaikan sistem penegakan hukum harus dimulai dari dalam. Kejaksaan Agung perlu mengambil pelajaran berharga dari kasus di HSU dan segera menerapkan reformasi internal yang komprehensif. Dengan demikian, lembaga ini dapat kembali menjadi garda terdepan dalam pemberantasan korupsi, bukan justru menjadi bagian dari masalah. Masyarakat menaruh harapan besar pada komitmen kejaksaan untuk membersihkan diri dan menjalankan tugasnya secara profesional, adil, dan tanpa pandang bulu. Hanya dengan langkah nyata dan konsisten, kepercayaan publik dapat dipulihkan dan sistem hukum Indonesia dapat berjalan sebagaimana mestinya.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan