Kajari dan Kasi Datun Diduga Peras Kepala Dinas di HSU, Terancam Proses Hukum

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Jaksa Tinggi di Hulu Sungai Utara Terlibat Pemerasan Pejabat

Di wilayah Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan, terungkap kasus dugaan pemerasan yang melibatkan pejabat kejaksaan terhadap sejumlah kepala dinas. Albertinus P Napitupulu, yang menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Negeri sejak bulan Agustus, bersama dua anak buahnya diduga melakukan pungutan liar dengan modus ancaman proses hukum.

Metode yang digunakan cukup sistematis, para pejabat dinas didesak memberikan sejumlah uang dengan dalih agar laporan masyarakat yang masuk ke kejaksaan tidak ditindaklanjuti. Pola ini dilakukan terhadap beberapa instansi penting seperti Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, Dinas Pekerjaan Umum, serta Rumah Sakit Umum Daerah.

Berdasarkan temuan KPK, total aliran dana mencurigakan mencapai Rp 804 juta yang diterima selama periode November hingga Desember tahun ini. Pembayaran dilakukan melalui dua perantara utama, yaitu Asis Budianto selaku Kepala Seksi Intelijen dan Taruna Fariadi yang menjabat Kasi Perdata serta Tata Usaha Negara.

Rincian penerimaan menunjukkan Dinas Pendidikan menyumbang Rp 270 juta, RSUD memberikan Rp 255 juta, dan Dinas Kesehatan mengalirkan dana Rp 149,3 juta. Selain itu, Asis Budianto juga menerima tambahan Rp 63,2 juta dari pihak-pihak terkait selama Februari hingga Desember.

Jaringan ini ternyata tidak hanya mengandalkan pemerasan, tetapi juga memotong anggaran institusi. Dana TUP sebesar Rp 257 juta dikabarkan dicairkan tanpa prosedur perjalanan dinas yang sah. Sistem pengelolaan keuangan ini diduga digunakan untuk kepentingan operasional pribadi oknum jaksa tersebut.

Tidak berhenti sampai di situ, aliran dana lain tercatat mencapai Rp 450 juta yang berasal dari transfer ke rekening istri Albertinus. Sumber dana ini berasal dari Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Daerah periode Agustus hingga November.

Yang menarik, Taruna Fariadi ternyata memiliki rekam jejak panjang dalam praktik serupa. Sejak tahun 2022, yang bersangkutan diduga telah menerima aliran dana mencapai Rp 1,07 miliar. Rinciannya, Rp 930 juta berasal dari mantan Kepala Dinas Pendidikan pada tahun 2022, dan Rp 140 juta dari rekanan tahun 2024.

Modus operandi yang digunakan cukup licik. Para kepala SKPD mengaku tidak pernah melakukan pengadaan barang/jasa yang diancam akan diproses. Namun, mereka dipaksa membayar karena diiming-imingi bahwa laporan masyarakat akan dihentikan penanganannya jika memberikan sejumlah uang.

Fakta mengejutkan lainnya menunjukkan bahwa ancaman hukum yang dilakukan sebenarnya tidak memiliki dasar karena tidak ada perkara nyata yang sedang ditangani. Situasi ini dimanfaatkan secara sistematis untuk memeras pejabat-pejabat daerah melalui ketakutan akan proses hukum yang mengancam jabatan mereka.

Dugaan korupsi ini membuka mata publik terhadap potensi penyalahgunaan wewenang di institusi penegak hukum daerah. Pola yang terbentuk menunjukkan adanya jaringan koordinasi antaroknum yang saling bekerja sama untuk mendapatkan keuntungan dari pejabat-pejabat yang seharusnya menjadi mitra dalam penegakan hukum.

Kasus ini menjadi peringatan keras bagi sistem pengawasan internal di lingkungan kejaksaan. Perlunya penguatan kontrol dan transparansi dalam penanganan laporan masyarakat agar tidak dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi oknum-oknum tertentu.

Masyarakat dan instansi terkait perlu waspada terhadap modus serupa yang mungkin terjadi di daerah lain. Sistem pelaporan yang transparan serta perlindungan saksi yang memadai menjadi kunci penting untuk mencegah praktik pemerasan dengan kedok penegakan hukum seperti ini.

Dengan terungkapnya kasus ini, diharapkan dapat menjadi momentum perbaikan sistem pengawasan di institusi penegak hukum, khususnya di tingkat daerah. Penerapan prinsip-prinsip good governance harus ditegakkan tanpa pandang bulu, termasuk terhadap mereka yang seharusnya menjadi penjaga hukum itu sendiri.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan