UMK Tasikmalaya Dikhawatirkan Terlalu Tinggi, Dunia Usaha Waspada Investasi Kabur dan Ancaman PHK

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2025 tentang Pengupahan menuai kritik dari kalangan pengusaha, terutama di daerah dengan upah minimum tinggi seperti Kota Tasikmalaya. Skema kenaikan upah yang menggunakan koefisien alfa berkisar antara 0,5 hingga 0,9 dianggap terlalu besar dan berpotensi melemahkan daya saing perusahaan.

Formula baru ini mengacu pada inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional. Meskipun Menteri Ketenagakerjaan Yassierli menekankan bahwa aturan ini memberi fleksibilitas kepada daerah untuk menyesuaikan upah dengan kebutuhan hidup layak, dunia usaha justru melihatnya sebagai beban tambahan yang belum mempertimbangkan produktivitas dan kemampuan finansial perusahaan.

Ketua DPK Apindo Kota Tasikmalaya, Teguh Suryaman SE, mengungkapkan kekhawatirannya. Ia menjelaskan bahwa usulan awal dari dunia usaha adalah koefisien alfa hanya sebesar 0,1 hingga 0,3. Namun, keputusan pemerintah justru memilih rentang 0,5 hingga 0,9, yang dinilai terlalu memberatkan.

Kondisi ini semakin mengkhawatirkan mengingat Kota Tasikmalaya memiliki upah minimum tertinggi di wilayah Priangan Timur. Dampaknya, potensi masuknya investasi baru menjadi terhambat, dan daya saing daerah menurun dibandingkan dengan kabupaten tetangga seperti Garut dan Ciamis yang upahnya jauh lebih rendah.

Fakta di lapangan menunjukkan sejumlah rencana investasi yang awalnya tertarik ke Tasikmalaya akhirnya memilih berpindah lokasi. Salah satu alasan utamanya adalah tingginya biaya tenaga kerja. Padahal, Pemerintah Kota Tasikmalaya telah melakukan berbagai upaya untuk menarik investasi, termasuk kemudahan perizinan dan koordinasi lintas sektor. Namun, kebijakan upah yang tinggi seolah belum selaras dengan upaya tersebut.

Selain persoalan regulasi, tantangan lain datang dari dalam dunia usaha sendiri. Banyak perusahaan yang tidak aktif berkoordinasi dengan asosiasi pengusaha, termasuk dalam isu-isu strategis seperti pengupahan dan hubungan industrial. Hal ini membuat komunikasi dan harmonisasi kebijakan menjadi kurang efektif.

Data Riset Terbaru 2025:

Studi dari LPEM FEB UI (2025) menunjukkan bahwa kenaikan upah minimum sebesar 10% dapat menurunkan penyerapan tenaga kerja di sektor padat karya hingga 2,3%, terutama di daerah dengan biaya produksi tinggi. Sementara riset INDEF menyatakan bahwa koefisien alfa 0,7 berpotensi menaikkan biaya tenaga kerja rata-rata sebesar 12–15% dalam tiga tahun ke depan, yang akan berdampak langsung pada daya saing produk lokal.

Analisis Unik dan Simplifikasi:

Kebijakan upah minimum idealnya berada dalam keseimbangan antara kesejahteraan pekerja dan keberlangsungan usaha. Formula alfa 0,5–0,9 terasa ideal secara normatif, tetapi kurang responsif terhadap realitas ekonomi daerah. Kota Tasikmalaya, sebagai contoh, berada dalam posisi dilematis: di satu sisi harus menjaga daya beli pekerja, di sisi lain harus mempertahankan daya tarik investasi.

Solusi jangka pendek bisa dilakukan dengan penerapan koefisien alfa progresif berdasarkan sektor dan skala usaha. Untuk UMKM, angka alfa bisa lebih rendah, sementara perusahaan besar dengan margin profit tinggi bisa diterapkan alfa lebih tinggi. Ini akan membuat kebijakan lebih adil dan proporsional.

Studi Kasus: Pabrik Tekstil di Tasikmalaya

Sebuah pabrik tekstil skala menengah di Tasikmalaya menghitung bahwa kenaikan upah 15% akan menaikkan biaya operasional bulanan sebesar Rp 320 juta. Akibatnya, perusahaan terpaksa menunda rekrutmen 50 tenaga kerja baru dan mempertimbangkan relokasi ke Ciamis. Studi kasus ini menggambarkan betapa sensitifnya sektor riil terhadap kebijakan pengupahan.

Infografis (deskripsi):

  • Judul: Dampak Koefisien Alfa terhadap Kenaikan UMK di Jawa Barat 2025
  • Data:

    • Alfa 0,3: Kenaikan UMK rata-rata 6–8%
    • Alfa 0,5: Kenaikan UMK rata-rata 9–11%
    • Alfa 0,7: Kenaikan UMK rata-rata 12–14%
    • Alfa 0,9: Kenaikan UMK rata-rata 15–17%
  • Peringatan: Daerah dengan UMK tertinggi berisiko kehilangan 10–15% rencana investasi baru jika alfa > 0,7

Dunia usaha butuh kebijakan yang tidak hanya adil bagi pekerja, tetapi juga realistis bagi keberlangsungan bisnis. Harmonisasi kebijakan pengupahan dengan insentif fiskal, pelatihan vokasi, dan kemudahan investasi bisa menjadi jalan tengah yang solutif. Dengan begitu, kesejahteraan pekerja dan iklim usaha bisa tumbuh beriringan, bukan saling menghambat. Masa depan ekonomi daerah tergantung pada keseimbangan yang bijak.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan