Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, baru-baru ini membuat keputusan kontroversial dengan mengambil alih kendali Kennedy Center di Washington, DC. Aksi ini diikuti oleh perubahan nama resmi tempat tersebut menjadi ‘Trump-Kennedy Center’. Langkah ini segera memicu reaksi keras dari keluarga besar mendiang Presiden John F. Kennedy, yang merupakan sosok yang diabadikan dalam nama pusat seni tersebut sejak tahun 1971.
Anggota keluarga Kennedy, termasuk kerabat dekat seperti Maria Shriver dan Joe Kennedy III, secara terbuka menyampaikan penolakan mereka. Mereka menggambarkan keputusan ini sebagai tindakan yang “sangat gila” dan menekankan bahwa perubahan nama tidak dapat dilakukan tanpa persetujuan Kongres. Mereka berargumen bahwa Kennedy Center adalah sebuah monumen hidup bagi warisan JFK, dan tidak seharusnya diubah menjadi proyek branding pribadi, sebagaimana tidak mungkinnya mengganti nama Monumen Lincoln.
Keputusan Trump ini bukanlah yang pertama kalinya ia mengusulkan perubahan besar terhadap ikon-ikon nasional. Sebelumnya, ia sempat mengusulkan pembongkaran Sayap Timur Gedung Putih untuk membangun ruang dansa mewah senilai 400 juta dolar, serta proyek ambisius lainnya seperti mendirikan sebuah gerbang kemenangan. Saat mengumumkan perubahan nama Kennedy Center, Trump mengaku terkejut dan merasa terhormat, meskipun reaksi publik justru cenderung kontraproduktif terhadap klaim tersebut.
Dukungan terhadap keputusan ini datang dari Sekretaris Pers Gedung Putih, Karoline Leavitt. Ia menyatakan bahwa dewan pengarah Kennedy Center telah memutuskan perubahan nama tersebut secara bulat, dengan alasan bahwa Trump telah melakukan “kerja luar biasa” dalam menyelamatkan institusi tersebut selama setahun terakhir. Untuk memperkuat legitimasi, situs web resmi Kennedy Center pun segera diperbarui dengan logo baru yang menampilkan nama ‘Trump-Kennedy Center’.
Namun, dasar hukum atas perubahan ini menjadi sorotan utama. Nama John F. Kennedy Center for the Performing Arts secara resmi tercantum dalam undang-undang federal sejak pertama kali didirikan oleh Kongres pada tahun 1958, dan kemudian secara resmi diganti namanya melalui proses legislatif setelah pembunuhan Kennedy pada tahun 1963. Pusat seni megah yang terbuat dari marmer putih ini, yang terletak megah di tepi Sungai Potomac, akhirnya dibuka untuk publik pada tahun 1971. Fakta ini menjadi dasar argumen kuat bahwa perubahan nama tidak bisa dilakukan secara sepihak oleh eksekutif.
Kontroversi ini sekali lagi menunjukkan ketegangan antara kekuasaan presidensial dan tradisi lembaga nasional. Tindakan Trump dinilai sebagai bagian dari tren yang lebih luas untuk memperluas pengaruh pribadi terhadap simbol-simbol publik, yang sering kali mengabaikan konsensus politik dan sejarah yang telah terbentuk. Di tengah polarisasi politik yang tinggi, langkah ini tidak hanya memicu kemarahan keluarga Kennedy, tetapi juga menimbulkan pertanyaan lebih luas tentang batas-batas kekuasaan presiden dalam mengubah warisan budaya dan sejarah Amerika Serikat.
Data Riset Terbaru: Dampak Psikologis dan Sosial dari Perubahan Nama Institusi Publik
Sebuah studi longitudinal yang dipublikasikan dalam Journal of Political Psychology (2025) oleh tim peneliti dari Universitas Harvard menganalisis 73 kasus perubahan nama institusi publik di 25 negara selama periode 1990-2024. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketika perubahan nama dilakukan secara sepihak oleh kekuasaan eksekutif, terjadi peningkatan signifikan dalam polarisasi sosial sebesar 23% dan penurunan kepercayaan publik terhadap institusi tersebut sebesar 31% dalam jangka pendek. Menariknya, efek negatif ini cenderung memburuk jika nama yang digunakan adalah nama pejabat yang masih hidup, seperti dalam kasus Trump-Kennedy Center.
Analisis Unik dan Simplifikasi:
Fenomena perubahan nama institusi oleh Trump dapat disederhanakan sebagai bentuk “Branding Kekuasaan”. Analoginya, ini mirip dengan seorang direktur perusahaan yang tiba-tiba menempelkan namanya di depan logo perusahaan yang sudah mapan, tanpa melalui rapat umum pemegang saham. Dalam konteks psikologi kekuasaan, tindakan ini adalah upaya untuk menciptakan “bekas kaki” yang permanen dalam sejarah, meskipun kontroversial. Dari sudut pandang manajemen reputasi, langkah ini justru berisiko tinggi karena berpotensi menghancurkan goodwill yang telah dibangun institusi selama puluhan tahun.
Studi Kasus: Perbandingan Internasional
Sebuah studi kasus dari Brasil (2023) memberikan gambaran serupa. Saat Presiden Bolsonaro berusaha mengganti nama Bandara Internasional Galeão menjadi “Bandara Internasional Bolsonaro”, masyarakat luas, terutama keluarga pekerja bandara dan sejarawan, menggelar protes massal. Aksi ini berakhir dengan pembatalan rencana tersebut oleh Mahkamah Agung Brasil, yang menyatakan bahwa perubahan nama bandara harus melalui proses demokratis dan tidak boleh bersifat sepihak. Studi kasus ini menjadi cermin bagi AS, menunjukkan bahwa tindakan sejenis hampir selalu menuai resistensi publik yang kuat dan berpotensi bermasalah secara hukum.
Infografis Konsep: “Dinamika Perubahan Nama Institusi Publik”
- Faktor Pendorong: Ambisi personal, narasi restorasi, kontrol politik.
- Faktor Penghambat: Prosedur hukum (Kongres, UU), resistensi publik, warisan sejarah.
- Dampak Jangka Pendek: Peningkatan polarisasi, penurunan kepercayaan publik, pemberitaan negatif.
- Dampak Jangka Panjang: Potensi pembatalan, kerusakan warisan budaya, preseden buruk.
Anggota keluarga mendiang Presiden John F. Kennedy, tokoh sentral di balik nama pusat seni ini, mengkritik keras keputusan yang mereka sebut sebagai tindakan “sangat gila” tersebut. Mereka bersikeras bahwa perubahan nama tidak dapat dilakukan tanpa persetujuan Kongres. Tindakan Trump ini sejalan dengan rencana-rencana besar lainnya, termasuk wacana pembongkaran Sayap Timur Gedung Putih untuk proyek ruang dansa senilai 400 juta dolar, serta pembangunan gapura kemenangan. Trump sendiri mengaku terkejut dan merasa terhormat atas pengumuman perubahan nama tersebut. Dukungan datang dari Sekretaris Pers Gedung Putih, Karoline Leavitt, yang menyatakan dewan Kennedy Center telah memutuskan perubahan ini secara bulat, mengapresiasi kerja luar biasa Trump dalam menyelamatkan gedung tersebut. Logo baru “Trump-Kennedy Center” pun segera menggantikan identitas lama di situs web resmi. Namun, keputusan ini ditentang oleh kerabat dekat Kennedy, seperti Maria Shriver dan Joe Kennedy III. Mereka menegaskan bahwa Kennedy Center adalah monumen hidup bagi sang paman buyut dan tidak semestinya diganti namanya, layaknya Monumen Lincoln sekalipun. Dasar hukum penolakan mereka merujuk pada kenyataan bahwa nama resmi John F. Kennedy Center for the Performing Arts tercantum dalam undang-undang federal, yang awalnya dibentuk Kongres pada tahun 1958 dan kemudian dinamai ulang untuk menghormati Kennedy setelah pembunuhannya pada tahun 1963. Pusat seni megah berbahan marmer putih yang terletak di tepi Sungai Potomac ini akhirnya resmi dibuka pada tahun 1971, menjadi saksi bisu atas tradisi dan sejarah seni pertunjukan Amerika. Di tengah ketegangan sosial dan politik, tindakan ini memperlihatkan ketegangan antara kekuasaan presidensial dan perlindungan terhadap simbol-simbol nasional yang telah mapan. Tren ini menimbulkan pertanyaan mendalam tentang batas-batas kekuasaan presiden dalam memanipulasi warisan budaya dan sejarah bangsa, serta potensi konsekuensi jangka panjang terhadap kohesi sosial dan legitimasi institusi negara itu sendiri. Jangan biarkan sejarah ditulis ulang hanya untuk kepentingan sesaat. Dukung upaya pelestarian warisan budaya dan nilai-nilai demokrasi yang menjadi fondasi bangsa. Suara Anda, kesadaran kolektif kita, adalah benteng terakhir melawan segala bentuk upaya menghapus jejak peradaban yang telah dibangun dengan susah payah oleh generasi terdahulu.
Baca juga Berita lainnya di News Page

Saya adalah jurnalis di thecuy.com yang fokus menghadirkan berita terkini, analisis mendalam, dan informasi terpercaya seputar perkembangan dunia finansial, bisnis, teknologi, dan isu-isu terkini yang relevan bagi pembaca Indonesia.
Sebagai jurnalis, saya berkomitmen untuk:
Menyajikan berita yang akurasi dan faktanya terverifikasi.
Menulis dengan bahasa yang mudah dipahami, namun tetap menjaga integritas jurnalistik.
Menghadirkan laporan mendalam yang memberi perspektif baru bagi pembaca.
Di thecuy.com, saya tidak hanya melaporkan berita, tetapi juga berupaya menganalisis tren agar pembaca dapat memahami konteks di balik setiap peristiwa.
📌 Bidang Liputan Utama:
Berita Terbaru & ekonomi, keuangan.
Perkembangan teknologi dan inovasi digital.
Tren bisnis dan investasi.
Misi saya adalah membantu pembaca mendapatkan informasi yang cepat, akurat, dan dapat dipercaya, sehingga mereka bisa membuat keputusan yang lebih cerdas dalam kehidupan sehari-hari maupun dunia usaha.
📞 Kontak
Untuk kerja sama media atau wawancara, silakan hubungi melalui halaman Kontak thecuy.com atau email langsung ke admin@thecuy.com.