Menikmati Filsafat Populer di Era Ketidakpastian

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita


                Jakarta - 

Peradaban modern saat ini diwarnai oleh ketidakpastian yang terus-menerus. Stabilitas menjadi sesuatu yang langka. Kita terus dihujani oleh perubahan-perubahan besar, dari hiruk-pikuk media sosial, krisis iklim, konflik bersenjata, goncangan ekonomi global, hingga kemajuan teknologi AI yang memicu kecemasan akan penggantian peran manusia.

Kondisi ini menciptakan tekanan mental yang luar biasa. Kita hidup dalam keadaan waspada penuh, seolah-olah tak pernah ada waktu istirahat. Dalam situasi seperti ini, menjaga keseimbangan mental menjadi sebuah keistimewaan yang sangat berharga. Lalu, bagaimana cara kita mempertahankan kewarasan di tengah hiruk-pikuk dunia?

Setiap orang memiliki strateginya masing-masing. Beberapa orang menemukan ketenangan melalui olahraga lari atau berolahraga di gym. Yang lainnya merasa bahagia dengan mencicipi makanan enak. Cara-cara ini memang efektif untuk meningkatkan suasana hati. Namun, bagi sebagian orang, mereka memilih jalan yang berbeda: mereka menenggelamkan diri dalam buku-buku filsafat populer untuk mencari makna hidup yang lebih dalam.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Filsafat kini tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang menakutkan. Setidaknya, sejak pandemi melanda awal 2020, filsafat menjadi pelarian bagi banyak orang yang lelah dengan pembatasan sosial.

Terkurung di rumah oleh kebosanan, filsafat menjadi oasis spiritual dalam situasi tersebut. Sejak saat itu, bermunculan kelas-kelas zoom yang bertujuan mempopulerkan ‘ibu dari segala ilmu pengetahuan’. Hingga kini, kelas-kelas tersebut masih berlangsung.


ADVERTISEMENT

Tentu saja, kelas-kelas filsafat memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Ada yang berhasil membuat filsafat menjadi lebih dekat dan mudah dipahami oleh masyarakat umum. Namun, ada juga yang masih menggunakan bahasa yang terlalu teknis dan rumit. Hal ini kemudian mendorong minat orang-orang untuk membaca buku filsafat, terlebih lagi dengan banyaknya buku filsafat populer yang diterbitkan oleh berbagai penerbit besar.

Salah satu contohnya adalah buku ‘Filosofi Teras’ karya Henry Manampiring, yang secara khusus membahas filsafat Stoikisme. Buku ini, yang lahir dari pengalaman pribadi penulisnya dalam menghadapi depresi, berhasil menarik minat banyak pembaca. Filsafat menjadi alat bantu yang efektif bagi banyak orang untuk bangkit dari keterpurukan.

Filsafat Tidak Punah, Ia Menjadi Bagian dari Kehidupan

Filsafat juga sempat menjadi bahan perbincangan di media sosial. Namun, yang menjadi perbincangan bukanlah manfaatnya, melainkan justru sebaliknya. Filsafat dianggap sudah mati, bahkan ada usulan agar jurusan filsafat di beberapa kampus dibubarkan karena dianggap tidak memberikan manfaat praktis.

Perdebatan ini kemudian memicu diskusi yang luas. Ada yang setuju, ada pula yang merasa tidak nyaman. Namun, jika dilihat dari sisi positifnya, momen ini justru bisa menjadi kesempatan untuk semakin mempopulerkan filsafat.

Bukti nyatanya adalah buku-buku filsafat yang terus dicetak ulang, salah satunya adalah buku ‘Madilog’ (Materialisme, Dialektika dan Logika) karya Tan Malaka. Meskipun memang buku ini masih tergolong berat untuk ukuran buku filsafat populer.

Saya sendiri sudah mengenal filsafat sejak masa kuliah. Meskipun pada awalnya hanya membaca buku-buku pengantar filsafat atau sejarah filsafat, seperti novel ‘Dunia Sophie’ karya Jostein Gaarder atau buku ‘Berkenalan dengan Eksistensialisme’ karya Fuad Hassan. Perkenalan ini kemudian membuat saya jatuh cinta pada filsafat.

Kini, saya melihat filsafat bukan sekadar sebagai bahan bacaan yang menarik, melainkan sebagai praktik kehidupan sehari-hari. Filsafat menyatu dalam keseharian kita.

Filsafat bukan hanya alat untuk menyusun argumen yang logis. Ia lebih dari itu. Filsafat memberikan kita ruang untuk memaknai ketidakpastian dalam kehidupan sehari-hari.

Senjata Mental di Tengah Ketidakpastian

Filsafat memiliki banyak manfaat, tidak hanya sebagai alat berpikir. Salah satu manfaatnya adalah memberikan kita momen kesadaran di tengah ketidakpastian.

Ada satu buku yang membuka mata saya tentang bagaimana filsafat populer bisa menjadi alat untuk menjernihkan kesadaran di tengah ketidakpastian. Buku tersebut berjudul ‘A Philosophy of Walking’, ditulis oleh Frédéric Gros, seorang pengajar filsafat asal Prancis.

Buku ini mengulas kisah para filsuf besar yang gemar berjalan kaki, seperti Immanuel Kant, Friedrich Nietzsche, dan Jean-Jacques Rousseau. Bagi Gros, berjalan kaki adalah bentuk latihan spiritual yang sama dengan berfilsafat.

“Kebebasan dalam berjalan kaki terletak pada tidak menjadi siapa pun; karena tubuh yang berjalan tidak memiliki sejarah, ia hanyalah bagian dari aliran kehidupan yang tak terelakkan,” tulisnya.

Dengan berjalan kaki, kita mendapatkan jeda dari ketidakpastian. Kita terlepas dari beban masa lalu atau kecemasan akan masa depan. Pada akhirnya, filsafat mungkin bisa menjadi alat bantu bagi sebagian orang—paling tidak bagi saya—untuk bertahan dalam ketidakpastian. Maka, mari rayakan filsafat dengan membaca buku-buku filsafat populer!

Rakhmad HP. Wartawan dan pegiat Thecuy.com Bookclub.

    (rdp/imk)

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan